BAB - 04

1107 Kata
"Berhenti kalian berdua!" Zetta dan Jason berhenti dan berbalik lalu kaget melihat Alva Alexander. "Kenapa, Pak? Saya mau pulang." Alva mendekat dan berhenti tepat di depan Jason. Tinggi dan postur tubuh mereka hampir sama. "Jadi, kau pacarnya Arzetta seperti yang dikatakan Jeremy?" Zetta tersentak kaget, sementara Jason mengerutkan kening lalu kembali menatap Alva ."Kalau iya memangnya kenapa?" Alva nampak mengamati tautan tangan mereka lalu menggertakkan giginya kesal, membuat Zetta bingung. "Aku hanya mau memastikan saja. Kenalkan, Aku Alva Alexander bos—" "Yeah, aku tahu. Kau yang ketahuan me sum sama mantan sekretarismu di restoranku." Alva menatap tajam Jason, "Restoranmu?" "Ya. Terus maumu apa? Kalau tidak ada kami mau pulang!" Alva berdecak, "Ada satu hal yang mau aku minta dari kalian berdua supaya aku yakin. Dan kalian tidak boleh pulang sebelum melakukannya." Zetta mengerjapkan matanya, "Pak, jangan aneh-aneh deh. Saya capek mau pulang. Besok aja ya dramanya." Zetta kesal saat Alva mengacuhkanya malah menatap tajam Jason, "Yakinkan aku kalau kalian memang sepasang kekasih. Sekarang." “….” Zetta dan Jason kaget mendengarnya. "Alasan pertama, aku tidak terima kalau Zetta tidak bisa aku sentuh, sedangkan kau bisa menyentuhnya sesuka hati—" "Oh, jadi kau iri," sela Jason yang langsung mengambil genggaman tangan Zetta yang nampak kaget melihat perilaku Jason dan membawanya ke b ibir mengecupnya lama, pelan dan dihayati. Alva mengepalkan tangannya. "Coba kau cium b ibirnya?" perintah Alva jelas tidak terbantahkan. Zetta berteriak, "APA?!" Alva menyeringai. Zetta memijit pelipisnya karena tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin selama ini Jason memang sering memeluknya, tapi ciuman di b ibir jelas tidak pernah mereka lakukan. Jason lebih suka bibir Austin—pasangannya, dari pada bibirnya. "Lakukan sekarang juga karena tadi aku sudah melakukannya duluan. Mengecup bibir Zetta yang manis menggoda itu!" Permintaan Alva membuat Zetta bingung. Namun, dia lebih bingung lagi saat melihat Jason menggeram marah menatap penuh bara ke Alva. “Cepat lakukan!” Alva tidak sabaran sementara Zetta dan Jason saling berpandangan sampai suara wanita di belakang mereka menginterupsi. “Alva, sayangku.” ** “Dasar bos gila! Ngapain juga dia minta pembuktian segala!” Zetta menghembuskan napas lega karena tidak perlu menuruti permintaan gila Alva tadi yang menyuruhnya dan Jason berciuman karena kadatangan Eliana yang mengejutkan. Untung saja Jason langsung membawanya pergi, tidak peduli dengan teriakan Alva. Sekarang, Zetta sedang mengeringkan rambutnya yang basah dengan hair dryer di depan meja rias kamarnya. Sebenarnya, permintaannya sama sekali tidak aneh tapi melihat Jason lah lelaki yang di maksud, Zetta mau tidak mau kaget. Kalau saja Jason normal, meskipun mereka bukan sepasang kekasih, maka Zetta yang akan mencium lelaki itu duluan, tapi kalau keadaannya seperti ini, Zetta hanya takut membuat Jason tidak nyaman. Ada sedikit rasa penasaran di dalam hatinya tentang Alva. Laki-laki itu memang b******k dan playboy, tapi tatapan mata abu-abunya yang memberikan kesan kesendirian yang kuat membuat Zetta kadang memikirkan alasan di balik semua perilaku Alva saat ini. Meskipun dia bisa menebak pasti ada sangkut pautnya dengan cinta masa lalu. ‘Hush, ngapain juga aku mikirin dia!’ Zetta menggelengkan kepala mencoba mengusir bayangan Alva. Dia mengeringkan rambutnya dengan cepat lalu keluar dari kamar dan menemukan Jason yang sudah duduk di depan televisi yang menayangkan acara football favoritnya hanya mengenakkan celana pendek selutut tanpa baju. Sebagai seorang wanita normal, pemandangan d**a bidang itu begitu menggoda. Tubuh Jason yang sempurna itu seolah memanggil Zetta untuk merebahkan kepalanya di sana. "Makan dulu, Sayang." Jason mengunyah nachos dengan tatapan yang tidak teralihkan saat Zetta lewat di belakang sofanya. "Aku masih kenyang." Zetta memilih mengambil coklat favorit pemberian Jason di kulkas dan dua kaleng bir dingin lalu membawanya ke meja duduk di samping Jason. "Jadi, apa yang dikatakan oleh Om Jeremy?" "Dia hanya bilang kalau aku sudah punya pacar yang bisa leluasa menyentuhku dan tidak terpengaruh dengan trauma masa laluku.” Zetta berbicara jujur. Detik berikut, raut wajahnya berubah merasa bersalah. “Maafkan Om Jeremy ya sampai berbicara seperti itu." Jason tertawa, "Kenapa kau harus minta maaf? Biarkan saja Alva mengira aku kekasihmu." Zetta tersedak dan langsung mengambil bir yang sudah terbuka, "Kau bercanda?" "Tidak." Zetta mengerjapkan mata mencoba mengurai ekspresi serius di wajah Jason yang memandanginya. "Kalau itu bisa membuat Alva menjaga jarak denganmu, akan aku lakukan. Aku tidak suka membayangkan kau bekerja di bawah tatapan mesumnya." Zetta tertawa, "Aku sudah memberinya beberapa kali pelajaran karena mencoba untuk mendekatiku. Aku pikir status tidak penting. Aku bisa menanganinya." "Arzetta, mulai saat ini aku akan menjadi kekasihmu. Terserah kau mau menerimanya atau tidak." "Hah?!” "Biarkan dia mengira aku adalah kekasihmu." "Austin?" Jason terdiam, Zetta diam-diam berharap. "Jangan sampai Alva tahu tentang dia." Zetta rasanya ingin tertawa. Apakah tadi dia berharap bahwa Jason yang beberapa tahun ini sudah bersama dengan Austin tiba-tiba sembuh dalam sekejap? Sepertinya itu keinginan semu. Semua ini hanyalah status. Zetta mengangguk, "Okelah. Mulai malam ini kita sepasang kekasih di depan Alva." Jason tersenyum, Zetta kembali memakan coklatnya. Zetta yang merasa Jason memandanginya nampak salah tingkah. "Kenapa?" "Aku ingin melakukan sesuatu." Zetta memekik saat Jason menarik pinggangnya mendekat ke d**a bidangnya dan mengurungnya di lengannya yang kekar. Zetta bahkan menahan napasnya dari tadi. "Apa yang—" Jason menggeleng, "Jangan berbicara." Jason menarik tangannya yang masih memegang coklat dan mendekatkan wajahnya. Tak lama, dia merasakan bibir sexy lelaki itu menyapu sudut bibirnya dengan lembut. Zetta memejamkan mata dan merasakan sensasinya. Ada rasa takut di dalam hatinya tapi Zetta bisa menanganinya. Lelaki di hadapannya ini Jason bukan orang jahat. "Manis," gumam Jason. Zetta membuka mata dan menemukan tatapan jahil Jason yang bibirnya nampak noda kecoklatan. Refleks, Zetta mengusap bibirnya dengan tangan. Jason tertawa, "Tadi coklatnya belepotan." Zetta memukul bahu Jason setelah meletakkan sisa coklatnya ke meja. "b******k!" Jason tertawa. Zetta sudah jantungan sejak tadi. Belum usai keterkejutan akibat ciuman tadi, tiba-tiba Jason menggendongnya hingga dia duduk di atas paha lelaki itu berhadapan. Zetta mengerjapkan mata karena kaget. Jason tersenyum, "Malam ini aku ingin bersama kekasihku." Belum sempat Zetta protes, bibirnya sudah dibungkam—lagi—dengan bibir lelaki itu. Zetta yang awalnya kaget mencoba menerima. Jason semakin memeluknya erat dan mengeksplor bibirnya dengan bernapsu. Zetta terhanyut di sana dengan permainan Jason yang membuatnya mengerang bahkan tangannya tidak tinggal diam. Desahan Jason bahkan terdengar di telinganya hingga Zetta merasakan ada yang tidak beres dengan sesuatu yang terasa di pangkal pahanya. Zetta membuka mata lalu menarik bibirnya dan melepaskan diri membuat Jason kaget. "Aku mengantuk." Jason nampak kaget dengan perubahan sikapnya yang langsung turun dan meninggalkannya sendirian. Setelah menutup pintu kamarnya dengan rapat, Zetta duduk di pinggir tempat tidurnya. Berbagai macam pertanyaan berkelebat di kepalanya. Bukankah seorang gay tidak pernah berhasrat dengan wanita? Dia harus mencari tahu yang sebenarnya, karena jelas, bukti g airah Jason tersulut naik tadi sempat dirasakannya. "Sial!” bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN