KESAN PERTAMA

1479 Kata
“Sorry, guys! Gue telat!” seru pria bertubuh atletis itu dengan langkah tergesa serta suara nafas putus-putus. “Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga ... cepat duduk!!” seru uncle Jun. Sang pemeran utama pria bergerak maju menuju kursinya, tepat di sisi Ishya. ‘Abinawa … Brahmana?’ Ishya kian gugup saat langkah itu mulai mendekat. ‘Astaga, ada apa dengan jantungku?’ Tangan yang masih memegang script terlihat gemetar. Tepat saat Abinawa mendaratkan bokongnya di kursi, Ishya tak sengaja menumpahkan gelas yang ada di atas meja hingga membuat pakaian pria itu terciprat air. “Astaga!” Ishya bangkit dan membuat semua semakin kacau. Beberapa pasang mata mengamati Ishya dengan penuh tanda tanya. Ada apa dengan gadis itu? Pikir sebagian dari mereka. “Ishya, ada apa?” bisik Neha gegas mendekati sang adik. “Ah … ga apa-apa, Kak.” Abinawa yang datang disambut dengan kekacauan membuat keningnya mengkerut tak suka. Ia memandang Ishya dengan dingin. Kesan pertama terhadap pemeran utama wanitanya sungguh buruk. Ia berdesis pelan. Beberapa barang di atas meja pun tersiram air. Kru lantas membantu Ishya membersihkannya. “It’s okay, Ishya … duduklah!” Suara lembut uncle seketika membuatnya tenang. Ishya sesekali melirik Abinawa yang bersikap dingin padanya. Selang beberapa menit, Abinawa dan Ishya kembali duduk. Kekacauan pun berlalu. Pembacaan script akhirnya dimulai. Para aktor mulai mengambil peran masing-masing, membaca script lalu mendalaminya sesuai karakter. Ishya acap kali kesulitan ketika berdialog dengan Abinawa. Sepanjang waktu ia selalu membuat kesalahan yang menyebabkan pria tersebut kesal dan merasa tak nyaman. “Lo bisa akting ga sih?” tanya Abinawa terang-terangan. Seluruh mata kini memandang mereka, begitu pula uncle Jun dan Akara yang merasa Abinawa tak menyukai wanita itu. “Ya?” “Dari tadi lo ga fokus dan selalu lupa dialog … apa begini cara kerja lo?” “Abi—” Uncle Jun memandang pria itu sementara Akara tetap bergeming merasakan atmosfer tak menyenangkan disana. Mata Abinawa berkilat dengan nada bicara yang terasa dingin menusuk tulang. “Gue minta jeda sebentar.” Baru datang namun Abinawa lekas beranjak tanpa menghargai jajaran kru. Dibersamai langkah kakinya, terdengar samar-samar gunjingan kru yang membuat Ishya berpikir bahwa sikap Abinawa tak sebaik di hadapan publik. “Baiklah … kita jeda sepuluh menit.” Uncle Jun mengekori langkah Abinawa yang semakin menjauh. Sementara Ishya merasa hatinya terluka atas sikap pria itu. “Kamu ga apa-apa?” Ishya menggeleng. “Kita bicara di luar.” Neha mencekal lengan sang adik lalu mengajaknya keluar dari ruangan reading. *** Di sebuah rooftop rumah produksi, Abinawa menghisap rokok lalu menghembuskan asapnya ke udara. Wajahnya mendongak dan merasakan angin membelai kulitnya. “What's up, boy?” Abinawa menoleh ke sumber suara. Seorang pria paruh baya berdiri di ujung pintu darurat. “Ga ada.” Abinawa membuang puntung rokok lalu menginjaknya tanpa perasaan. “Lo keliatan ada masalah,” terka pria itu yang tak ingin percaya begitu saja dengan ucapan Abinawa. Tak merespon, Abinawa justru tertawa pelan. “Lho, kok malah ketawa?” Abinawa mengulum senyumnya tipis. “Honestly, gue jenuh.” “Why?” “Ga suka sama peran ini.” “Tapi lo berbakat, gue yakin seorang Abinawa bisa bawain film ini dengan perfect.” Pria bertubuh gemuk itu berdiri sejajar lalu menyandarkan punggungnya di pembatas beranda tersebut. “Kalau bukan karena uncle yang minta … mungkin gue akan tolak.” “Hmm, lo nyesel ceritanya?” “Ga juga.” “Kalau gitu jalanin ….” Abinawa tersenyum tipis. Ada di puncak karir saat ini adalah berkat usahanya sendiri. Ia tak pernah sekalipun ingin bergantung pada sang ayah yang memiliki segalanya. Berkecimpung di dunia hiburan, Abinawa ingin membuktikan pada sang ayah bahwa dirinya bisa sukses dengan usaha sendiri. Sejak kematian ibunya di usia remaja, Abinawa dan sang ayah memiliki gap yang begitu jauh. Abinawa terbiasa mandiri menghadapi permasalahan hidupnya. Jika bukan karena dukungan moril yang Jun berikan selama ini, mungkin Abinawa sudah kehilangan arah. “Uncle—” “Hmm ….” “Harus banget ya perempuan itu yang jadi lawan main gue?” “Memangnya kenapa?” “Dia sama sekali ga berbakat.” Junadi tertawa terbahak-bahak. Baru kali ini ia mendengar seorang aktor menilai lawan mainnya. Setinggi apa ilmunya sampai-sampai bisa menyudutkan kemampuan seseorang. Pria paruh baya itu berdecak sinis. “Lo tahu darimana dia ga berbakat?” “Tadi pas reading.” “Gue ada pas dia casting. Menurut gue … not bad-lah.” “Tsk. Uncle itu cuma liat visual-nya aja ‘kan?” tuduh Abinawa. “Hmm … itu salah satunya sih ….” “Tuh ‘kan!” “Tapi jujur … doi memang punya bakat dan gue lagi menantang diri sendiri dengan melibatkan seseorang model di proyek ini.” ‘Sorry, Bi. Someone planned all of that!’ “Uncle ini terlalu percaya diri!” Abinawa menertawakan Junadi yang sudah dianggap paman olehnya. Abinawa Brahmana, aktor yang selalu dikaitkan dengan seorang wanita nyatanya memiliki sisi yang tak pernah diketahui oleh orang lain. Hanya pada Junadi, Abinawa bisa menceritakan semuanya, termasuk gap-nya dengan sang ayah. Di tempat lain… “Apa yang salah dariku, Kak?” Ishya tak bisa menahan tangis. Usianya yang baru menginjak 22 tahun, tak mampu menerima perlakuan yang menyakitkan dari Abinawa. Sesungguhnya, Ishya tak pantas berkecimpung di dunia entertainment mengingat sifatnya yang polos dan clumsy. “Kamu ga salah … memang laki-laki itu aja yang brengseek! Dasar angkuh!” Ibu jari sang kakak menghentak ke sembarang arah. Mengingat ucapan pria itu membuat emosi Neha berapi-api. Ternyata salah jika dirinya menyebut Abinawa sosok yang hebat dan humble. Nyatanya, pria itu sangat arogan. “Lalu aku harus gimana?” “Kalau kamu ga suka peran ini, Kakak bisa batalin sekarang juga … sebelum proses syuting dimulai.” Ishya menoleh. Pernyataan Neha memang benar. Namun, sorot matanya tak membenarkan tindakan itu. “Ga mungkin.” “Apanya yang ga mungkin?” “Batalin semua ini.” “Jelas mungkin … kamu ini model dengan pencarian teratas di seluruh Asia, Ishya. Peran kecil kaya gini ga akan buat nama kamu redup.” “Kakak ….” “Apa Kakak salah?” Ishya menggeleng. Neha mendengus. Entah mengapa melihat adiknya diperlakukan dengan angkuh membuat jiwa pahlawannya meronta. “Aku ga mau dianggap amatiran.” “Kalau begitu ga perlu ambil pusing.” Neha bersedekap. Wajahnya berpaling dan menghela nafas kasar. “Kakak … thanks,” ucap Ishya memeluk sang kakak dari samping. Hidup berdua di negeri orang membuat Ishya hanya bisa bergantung pada Neha. Tanpa wanita itu, Ishya pasti sudah hancur berkeping dengan banyaknya persaingan serta mulut pedas netizen di industri yang digelutinya. “Ya sudah, waktunya kembali.” *** Sesi reading berakhir waktu menunjukkan pukul 21.00 wib. Ishya dan Neha baru saja keluar lobi menuju mobil yang terparkir di halaman depan kantor AE Entertainment. Namun, keduanya telah disambut oleh beberapa orang yang diyakini dari para pemburu berita. ‘Kak Ishya gimana rasanya bakal terjun ke dunia peran?’ ‘Tanggapan Kakak dong saat tau dipasangin sama Abinawa Brahmana?’ ‘Ini pertama kalinya reading, apa sudah tercipta chemistry antara Kak Ishya dengan Abinawa?’ Jengkel dengan beberapa pertanyaan wartawan membuat Neha ingin menuntaskannya dengan jalan pintas. Namun, mengingat ini pertama kali Ishya berada di industri seni peran, Neha ingin menciptakan citra yang baik untuk sang adik. Meski langkahnya terus mendekati mobil mereka, Neha pun akhirnya menjawab pertanyaan wartawan secara general. “Mohon doanya saja supaya semua berjalan lancar.” Neha tersenyum manis, begitu pula Ishya yang bersembunyi di balik tubuh sang kakak yang lebih tinggi darinya. “Support terus ya,” pinta Ishya pelan. Dari kejauhan sepasang mata memandang dari jendela lantai tiga. Matanya menatap tajam punggung kedua wanita yang hampir berhasil menembus kerumunan warta media dan menghilang setelah memasuki mobil SUV berwarna hitam. ‘Gue penasaran apa yang buat Uncle pilih dia di proyek ini. Semenarik apa sih perempuan itu?’ Di lantai yang sama, sebelah ruang itu seorang pria sebayanya pun memandang kepergian mereka dengan senyum tak biasa. Dalam perjalanan… Mobil SUV melaju dengan kecepatan diatas rata-rata. Seorang wanita mendesah saat mengulang pertanyaan dari beberapa warta media tadi. “See … belum apa-apa wartawan udah heboh!” “Sabar aja,” Neha tetap tenang menyetir mobil itu. “Aku takut, Kak.” “Takut kenapa?” “Takut dia ga memperlakukan aku dengan baik.” “Tenang aja … dia ga mungkin kayak gitu.” “Buktinya pas reading?” “Mungkin dia lagi ada masalah kali, ya.” “Kok Kakak jadi bela dia?” Neha menghembuskan nafas putus asa. “Kakak bukan bela dia,” tegas Neha. “Terus?” “Ga ada terusan, udah, titik.” Ishya mendengus. Memandang sikap dingin Abinawa saat reading membuat Ishya takut jika tak bisa membangun chemistry yang baik. ‘Berharap ga terlibat satu proyek sama pembuat skandal itu … eh Tuhan langsung bayar tunai. Tsk! Bagai buah simalakama.’ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN