Sudah tiga hari berlalu, Hana masih melakukan pencarian apartemen yang bisa dia jangkau menggunakan uang tabungan sementaranya sebelum dia menemukan sebuah pekerjaan.
Mencari di internet selama berhari-hari akhirnya Hana menemukan tempat yang tepat. Apartemen terletak di pinggiran kota dengan badget yang bisa dia jangkau. Tanpa berlama-lama Hana pun mencoba menghubungi pihak apartemen untuk menanyakan apakah ada unit yang kosong untuknya.
"Maaf, Nona. Semua unit sudah penuh," kata si penerima panggilan tersebut. Terlihat wajah Hana yang kecewa. Seharusnya dia tau karena tempat itu ada di pinggiran kota dan harganya cukup mura. "Tapi, ada beberapa orang yang sudah membeli unit apartemennya. Jika mau, Anda bisa menghubungi orang-orang ini," lanjut seseorang di seberang sana.
Hana masih memiliki harapan. Orang tersebut pun memberikan sebuah nomor telepon pada Hana. Hana menerimanya dengan baik. Menurut info, orang yang akan ia hubungi itu sudah memiliki beberapa unit apartemen, tapi ternyata tidak digunakan untuk ditempati sendiri.
Hana menekan sederet nomor yang tertera, kemudian di tempelkannya benda pipih tersebut ke indra pendengarnya. Satu panggilan belum terjawab, hingga ketika Hana hendak menghubungi lagi, ternyata ada panggilan masuk. Itu adalah nomor yang barusan dia hubungi.
"Halo, selamat pagi."
"Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" jawab seorang pria di seberang sana.
"Maaf mengganggu waktunya sebentar. Saya mendapat info jika katanya Anda bisa menyewakan satu unit apartemen di area pinggiran kota ini. Apakah itu benar?"
"Ah, iya iya. Apakah Anda berminat untuk menyewanya? Kebetulan sekali masih ada satu unit kosong sekarang," kata si penelepon. Ekspresi senang pun terpancar di wajah Hana saat itu.
"Ya, saya berminat, Pak. Bisakah kita bertemu untuk melanjutkan pembicaraan perihal sewa apartemen ini?" seloroh Hana saat itu.
"Baiklah. Kapan Anda bisa bertemu?"
"Kapan pun saya bisa, Pak."
"Bagaimana dengan besok pagi? Saya saat ini sedang banyak pekerjaan jadi belum bisa bertemu. Dan juga saya perlu menyiapkan berkasnya."
"Baiklah. Besok lebih baik. Terima kasih sebelumnya dan maaf karena sudah mengganggu waktu Anda."
"Sama-sama. Nanti akan saya kirim alamat untuk bertemu."
"Baiklah."
Panggilan pun ditutup. Hana tampak lega saat ini. Dia harus bersiap. Hana pun mulai mengemasi barang-barangnya untuk pindah tempat besok atau lusa mungkin.
Setelah berkemas, Hana memutuskan untuk berkeliing kota Paris. Sungguh tak menyenangkan bila dia tidak berkeliling tempat itu.
Tempat pertama yang dia kunjungi adalah Arc de Triomphe atau yang biasa disebut sebagai gapura kemenangan. Gapura ini hampir sama seperti yang ada di Simpang Lima Gumul Kediri. Bangunan yang ada di Paris ini merupakan simbol kemenangan di dunia.
Hana mengambil beberapa foto di sana. Bangunannya terlihat real dan besar. Hana memutuskan untuk tidak ke Menara Eiffel karena jika dia ke sana pasti akan ada banyak muda mudi yang bersama. Bukannya iri, tetapi Hana tidak ingin mengingat masa lalu.
Wanita ini berjalan kaki untuk mengambil spot-spot foto yang bagus. Kakinya pun menjadi lelah, ia memutuskan untuk istirahat sejenak sembari menikmati suasana di sana.
Sebenarnya tempat itu cukup panas bila dikunjungi sekarang. Mungkin di malam hari suasananya lebih dingin dan nampak indah karena gapura tersebut akan disorot oleh lampu-lampu yang mengelilinginya.
Sembari beristirahat, perhatian wanita ini beralih pada sosok bocah remaja yang berkeliling sembari menjajakan koran.
"Hei!" panggial Hana. Bocah yang merasa dirinya dipanggil pun langsung mendekati wanita itu dengan cepat. "Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Hana.
"Berjualan koran. Apakah Anda mau membelinya?" tanya bocah remaja itu dengan penuh harap.
Hana menggeleng, bocah tersebut memberikan satu koran. Hana memberikan uang pembeliannya. "Tidak usah, ambil saja," kata Hana yang tak menerima kembalian tersebut. "Apa kamu sudah makan?" tanya wanita ini lagi.
Bocah tersebut menggeleng. Hana tersenyum dan langsung berdiri dari tempatnya. "Ayo, biar aku yang traktir. Kebetulan sekali aku belum makan," tutur Hana.
"Apakah boleh?" tanya bocah itu sedikit ragu.
"Sure. Ayo," jawab Hana. Bocah itu pun memutuskan untuk mengikuti wanita ini.
Hana menuju ke kedai makanan yang ada di dekat sana. Baru saja dia dan bocah itu hendak masuk, dirinya dihadang oleh penjaga kedai.
"Maaf, di sini dilarang berjualan," kata pria dengan pakaian waiter nya. Hana pun memutar bola matanya malas.
"Maaf, tapi kami ke sini untuk makan, bukan untuk berjualan," sahutnya. Sungguh ini melukai harga diri mereka. Ya meskipun bocah remaja itu tetap diam, tetapi tetap saja Hana cukup kesal dengan tuduhan tersebut.
"Tapi dia membawa koran-koran. Silakan untuk meletakkan barang bawaannya lebih dulu," kata si penjaga temlat tersebut.
Hana langsung menarik bocah remaja tersebut untuk pergi. Orang-orang di Paris sungguh tak berperasaan. "Apakah mereka pikir aku tidak mampu membayar? Sungguh arogan," omel Hana. Mereka pun berjalan untuk mencari minimarket. "Kamu tunggu di sini dulu. Aku akan ke dalam untuk membeli makanan," perintah Hana. Bocah itu pun hanya mengangguk dan duduk diam di kursi depan toko.
Hana memasuki minimarket tersebut. Dia langsung menuju ke bagian roti. Dia mengambil beberapa roti di sana yang mungkin bisa dijadikan makan hari ini. Tak ketinggalan Hana juga mengambil minuman di sana.
Baru saja dia hendak mengambil dua botol air mineral, dirinya dikejutkan dengan terulurnya sebuah tangan kekar dari arah samping yang ikut mengambil air mineral di sana. Hana menoleh, matanya bersinggungan dengan netra biru pria itu. Hana sempat terpana karena warna matanya benar-benar menakjubkan.
Pria itu langsung pergi meninggalkan Hana dengan kediamannya. Sadar bila di luar bocah itu masih menunggunya, Hana pun bergegas ke kasir. Dan kebetulan pria yang dia temui di bagian rak minuman ikut mengantri di depannya.
Giliran pria itu untuk membayar. Hana mencoba cuek, tapi entah kenapa mata pria itu terus ada di pikirannya. Memang ada banyak orang yang memiliki warna biru demikian, tapi tetap saja ini adalah kali pertama Hana melihatnya secara langsung dan cukup dekat.
"Nona?"
Teguran dari sang kasir pun membuat Hana tersadar. Dilihatnya pria tadi sudah tak ada di depannya, sungguh cepat sekali. Setelah membayar, Hana segera keluar untuk menemui bocah tadi.
Hana mengambil air mineralnya dan satu roti saat itu, sisanya dia berikan pada bocah remaja tersebut. "Ini kamu bawa saja semuanya. Lumayan bisa kamu gunakan makan siang juga. Maaf ya kita tidak jadi makan di kedai tadi, penjaganya menyebalkan," kata Hana diiringi sebuah tawa di sana.
"Tidak apa-apa. Terima kasih banyak."
"Sama-sama. Kalau begitu aku pergi dulu ya. Jangan lupa rotinya dimakan." Hana pun pamit dan pergi meninggalkan bocah remaja tersebut.
Tanpa Hana sadari, pria dengan netra berwarna biru nampak memperhatikan interaksinya dengan bocah tadi melalui kaca spion mobilnya. Dia pun menyunggingkan senyumnya sebelum akhirnya dia menancapkan gas mobil dan pergi dari tempat itu.
Hari makin siang, Hana memutuskan untuk kembali ke hotel sembari menunggu malam datang. Rencananya dia akan ke Sungai Seine. Menurut di internet, tempat tersebut bagus dikunjungi malam hari karena banyak lampu-lampu yang menyorot indah.
Seorang pria baru saja turun dari mobil mewahnya untuk memasuki sebuah kantor besar dengan kebersihan dan keamanan yang cukup tinggi. Dia tak perlu repot-repot memarkirkan mobilnya karena akan ada yang memarkirkan benda tersebut.
"Panggilkan Harry ke ruanganku," perintah pria tersebut kepada seorang karyawan yang kebetulan lewat di depannya. Langkah kaki pria ini membawanya ke lift khusus petinggi perusahaan. Ada dua lift, untuk karyawan dan satu lagi khusus untuk petinggi perusahaan dan tamu-tamu.
Setelah pintu lift terbuka dan sampai di lantai paling atas, pria dengan tubuh tegapnya itu pun langsung menuju ke ruangan miliknya. Dan jika dia sudah berada di lantai ini, maka secara otomatis seorang wanita dengan pakaian kantornya langsung mengikuti pria tersebut dari belakang. Wanita ini bertindak sebagai sekretarisnya. Sudah hampir sebulan dia bekerja di sini.
"Berikan hasil diskusi kemarin dengan perusahaan yang kita datangi," perintah pria tersebut yang sudah duduk di kursi kebesarannya.
Sang sekretaris hanya menunduk dan tak berani menatap sang atasan. "Baik, Pak. Besok akan saya kirim kepada Anda," jawab sang sekretaris.
"Besok? Apakah kau benar-benar lelet dalam bekerja, Ana?" tegur pria ini dengan pandangan tajamnya. "Hari ini. Aku menginginkan laporan itu hari ini juga," imbuhnya dengan nada mutlak dan tidak ingin dibantah.
Wajah sang sekretaris pun mendongak. Terlihat kantung mata di sekitar bagian bawah mata wanita itu. Tentu saja wanita ini kurang tidur karena banyaknya pekerjaan yang harus dia selesaikan.
"Bisakahan Anda memberikan saya waktu untuk besok saja, Pak? Saya harus menyelesaikan tugas lain dari Anda mengenai kerja sama dengan perusahaan asing."
Pria yang duduk dengan santai itu pun menyunggingkan senyumnya. "Kau berani memerintahku, Ana?" desisnya dengan dingin.
Wajah Ana pun memucat. "Ti-tidak, Pak. Saya tidak memerintah Anda. Sa-saya hanya meminta waktu untuk bisa menyelesaikan tugas-tugas sebelumnya."
"Tidak ada. Tidak ada waktu lagi yang bisa aku berikan padamu. Mulai hari ini kau aku bebas tugaskan. Keluar dari kantorku sekarang!" usirnya dengan keras. Ana terlihat terkejut, wajahnya nampak sedih karena baru kehilangan pekerjaan. Tetapi dia tidak membantah jika sang atasan sudah memutuskan. Ana pun keluar dari ruangan tersebut.
"Apa lagi sekarang?" tanya seorang pria yang baru saja datang tepat ketika Ana keluar. Harry. Dia melihat jelas jika Ana menahan tangisnya. Pasti ada yang tidak beres.
"Dari mana kau mencari sekretaris tidak becus sepertinya?" sindir pria di depan Harry ini. Harry memutar bola matanya malas ketika paham situasi apa yang sedang terjadi.
"Apakah kau memecat sekretaris lagi?" tebah Harry yang tentu tepat sasaran. "Kau benar-benar membuaku kesal, Saddam," sembur Harry. Saddam, pria di depannya hanya bisa tertawa kecil di mana Harry akan kebingungan lagi mencari sekretaris yang tepat untuk atasan sekaligus sahabatnya ini.
"Sudah aku katakan jika aku tidak butuh sekretaris, Harry. Kau pun bisa melakukan pekerjaan sekretaris untukku," kata Saddam dengan enteng.
"Tidak. Aku tidak ingin menjadi sekretarismu," tolak Harry langsung. Hanya dia yang berani bersikap seperti ini kepada Saddam. "Sekarang aku sudah lelah mencarikan sekretaris untukmu. Lebih baik kau tidak usah menggunakan sekretaris jika pekerjaanmu hanya memecati mereka, Saddam," lanjut Harry.
“Aku juga tidak membutuhkan sekretaris, Harry. Aku bisa menghandle segalanya sendiri,” jawab Saddam dengan percaya diri.
“Lantas kenapa kau memanggilku ke sini?”
Fahri memberikan sebuah map di sana. “Handle proyek itu untukku. Besok kau bisa melakukan survei,” perintahnya. Harry langsung mengambilnya.
“Tidak sampai siang hari, kan?” tanya pria di depan Saddam itu.
“Entah.”
“Besok siang aku sudah ada janji temu dengan seseorang,” ungkap Harry yang langsung mendapat perhatian penuh dari Saddam.
“Wanita?” tanya Saddam yang diangguki oleh Harry. Seketika Saddam pun mengeluarkan senyum jahilnya. Harry memutar bola mata malas. “Hapus pikiran kotormu itu, Saddam. Aku akan bertemu dengan wanita yang akan menyewa apartemen,” ungkap Harry.
“Bukankah kau bilang apartemennya sudah habis?”
Harry menggeleng. “Tinggal satu tempat saja.”
Saddam mengernyit, Kemudian menghitung unit yang ia miliki dan mengingat kembali sudah berapa yang ia sewakan. “Sudah habis, seingatku demikian,” ucapnya lagi.
“Masih ada. Lebih tepatnya itu apartemen yang dulu sering kau gunakan,” jawab Harry santai.
“Apa?! Sudah aku katakan jika sisakan satu untukku,” protes Saddam kepada pria tersebut.
“Aku rasa itu tidak perlu. Toh dirimu punya rumah.”
“Rumah orang tuaku,” potong Saddam jengah.
“Ya, itu maksudku. Dan juga kau tidak perlu apartemen, kau bisa pulang ke rumah. Sudahlah, mending disewakan saja biar jadi duit,” terang Harry dengan mudah. Saddam hanya mampu mengembuskan napas beratnya. Berdebat dengan Harry tak akan ada habisnya. Kadang dia bertanya siapa bos di sini.