Calon Ipar

1030 Kata
Zea baru saja mengerjakan PR bahasa Inggris tentang topik debat seputar penggunaan kendaraan bermotor, saat tiba-tiba Senia, kakaknya, mengetuk pintu kamar dengan tak sabar.  "Zea, turun bentar, Sayang. Ada temen Kakak yang perlu Kakak kenalin ke kamu!"  Zea menatap kosong ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Setiap kali dia mendengar kakaknya mengatakan, "Ada temen Kakak yang perlu Kakak kenalin!" Itu sudah pasti pertanda buruk. Tak berbeda seperti kejadian-kejadian berulang di masa lalu.  Zea beralih menatap lantai di bawahnya, menimbang-nimbang bisakah lantai ini menelannya sebentar. Tampaknya keajaiban tidak semudah di dalam film. Mau tak mau Zea harus menerima kehadiran kakaknya, mengikuti kemauan Kak Senia.  "Zea!" Suara ketukan semakin tak sabar di balik pintu.  Setelah menolak pura-pura tidur, Zea akhirnya bangkit berdiri, membuka daun pintu dengan gerakan enggan.  "Ya?"  "Kamu belum makan, kan? Ayo makan. Ada temen Kakak yang perlu kamu kenal!"  Kakakku yang baik, bisakah kamu tidak memintaku mengenal orang lagi? Terakhir kamu mengatakannya, dua tahun lalu, Kakak, kamu membawa calon suami barumu, kemudian bercerai beberapa bulan kemudian. Sebelumnya, empat tahun lalu, pun juga sama. Mundur lagi, lima tahun lalu, pernikahanmu bahkan hanya bertahan hitungan minggu. Jadi, kali ini apalagi? Zea mendesah frustasi.  Jika ada satu kelebihan yang Tuhan berikan pada Senia, kakaknya, itu adalah pesona tiada akhir. Dan pesona ini digunakan kakaknya untuk menikah dari satu lelaki ke lelaki lain. Hingga Zea khawatir pernikahan bagi kakaknya dianggap sebagai hobi seumur hidup.  "Bisa nggak Zea di kamar aja? Liat! Kamar Zea berantakan. Perlu dibenahi lagi. Zea rapi-rapi kamar, aja, ya!" pinta Zea, melancarkan diplomasi langsung.  Senia melihat kamar adiknya dengan seksama. Ranjang dengan lapisan seprai biru muda yang rajin, permukaannya tak ada kerutan sama sekali. Bantal-bantal yang tertata rapi, meja belajar yang tak ada satu pun sampah di atasnya. Meja make up dengan banyak botol-botol berjejer, dan lantai kamar yang bisa dibuat bercermin. Bagaimana kamar seperti ini dikatakan kotor?  "Apa yang perlu dibenahi lagi?" Senia mengangkat kedua bahunya, bertanya pada adik satu-satunya.  Menyapukan pandangan ke sekeliling, akhirnya tatapan Zea berhenti pada ujung jendela besar. "Liat! Di sana ada debu! Di sana! Di sana! Di sana!" Zea menunjuk sudut langit-langit, sudut bawah ranjang, dan sudut tempat obat nyamuk listrik yang disambungkan dengan stop kontak.  "Cukup! Kamu turun sekarang! Makan malam!" Tidak ada yang perlu dibenahi lagi di kamar ini, kecuali Zea pengidap obsesif kompulsif yang parah.  "Kak!"  "Sekarang!"  Tampaknya negosiasi gagal. Menelan kekalahan yang tersisa, Zea mencoba membangun mentalnya kembali dengan cepat. "Teman Kakak yang mana yang kali ini berkunjung?"  "Ah. Jadi gini, Sayang … Kakak akhirnya menemukan belahan hati Kakak. Cinta yang Kakak cari-cari selama ini!" Rambut Senia yang diikat bergoyang indah, melengkapi binar-binar matanya yang berseri-seri.  Belahan hati. Lagi? Zea bergidik ngeri. Betapa simpel kakaknya dalam mendefinisikan cinta.  "Kakak yakin kali ini belahan hati yang sesungguhnya?" Ingat tiga kali sebelumnya. Kakak mengatakan kalimat serupa. Zea mengingatkan dalam hati.  "Dia laki-laki yang baik. Lembut. Dewasa. Mengayomi. Romantis. Kali ini, Kakak nggak salah pilih. Ini yang Kakak cari selama ini. Dia calon suami Kakak. Suami yang terakhir, hingga akhir hayat!"  Terakhir juga seperti itu. Bahkan Senia berkata lebih menggebu-gebu lagi tentang calon suaminya. Tapi akhirnya … sudahlah. Kakak sudah dewasa. Tidak selayaknya Zea terlalu mencampuri keputusan kakaknya.  "Kakak serius. Kali ini dia yang terakhir. Oh iya, suami Kakak punya adik juga. Kamu baik-baik ya sama mereka!"  "Oh!" Tak bisa mengatakan apa-apa lagi, Zea hanya bisa mengangguk setuju. Bukan pertama kalinya dia harus beradaptasi dengan saudara ipar baru.  Mereka berdua tiba di ruang makan dengan langkah-langkah pelan. Zea melihat dua orang lelaki yang membelakanginya, menampakkan punggung kokoh. Yang satu lebih ramping dari yang lain. Yang satu mengenakan kaos kasual berwarna biru dongker, sementara yang lain mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna silver.  "Daffa, perkenalkan, ini Zea, adikku!" Senia meraih lengan Zea memutari meja makan, membuat mereka semua saling bertatap muka.  "Hei, malam, Zea. Aku Kak Daffa, calon kakak ipar kamu! Dan ini—" Seorang lelaki muda berusia awal tiga puluhan menunjuk ke remaja di sisinya, senyum di bibirnya terkembang sempurna.  Namun, hantaman kuat jatuh di d**a Zea. Cuaca hari ini normal, tapi rasanya ada banyak guntur dan kilat bersahut-sahutan di atas atap rumah. Tubuh Zea kaku, pandangannya terkunci pada seorang remaja di sisi Daffa. Ada kebekuan kuat di udara, yang lama-lama betransformasi dan mengembunkan banyak hal di sekeliling.  "—adikku, Arion!" Daffa mengernyitkan kening, merasa ada suatu permusuhan yang datang di udara dengan tiba-tiba.  "Zea," sapa Arion sopan, sangat berbeda dengan reaksi Zea yang kaku dan canggung. Senyum Arion terlihat nakal, seperti seekor predator yang sedang main-main terhadap sesuatu. "Kita sepertinya akan jadi saudara ipar!"  "Ya. Tampaknya seperti itu!" Setelah memulihkan keterkejutannya, Zea berhasil menenangkan dirinya sendiri.  "Sepertinya kalian saling kenal?"  "Kalian sudah kenal satu sama lain?"  Daffa dan Senia bertanya bersamaan, mengamati reaksi kedua adik mereka dengan seksama. Tidak masalah jika mereka sudah kenal satu sama lain, bukankah itu lebih baik? Hanya saja … kenapa rasanya ada ketegangan di udara yang sulit dijelaskan?  "Ya." "Tidak!"  Arion mengakui, tetapi Zea membantah dengan tegas.  Senia dan Daffa saling pandang, bingung oleh respon mereka yang berbeda.  "Jadi, jawaban mana yang benar?" Senia penuh rasa ingin tahu, menatap Zea dan Arion bergantian. Ah. Tampaknya ada sesuatu yang menarik.  "Dia satu sekolah sama aku, tapi kami tidak saling kenal dengan baik!" Zea bersuara, sembari menarik salah satu kursi yang paling ujung untuk ia duduki. Demi ketenangan batin, akan lebih baik dia mengambil posisi sejauh mungkin dari Arion.  "Bagus kalau satu sekolah. Itu artinya nanti kalian lebih mudah untuk dekat satu sama lain. Setelah Kakak menikah dengan Mas Daffa, sudah seharusnya kita harmonis satu sama lain." Senia menatap adiknya yang duduk paling jauh, bingung oleh tingkahnya yang tak masuk akal. Makan apa hari ini Si Zea? Kenapa tingkahnya nyentrik begini.  "Ngomong-ngomong, apa kalian satu kelas?" Kali ini Daffa yang bersuara.  Zea tersenyum getir. Satu kelas? Yang benar saja. Tidak mungkin mereka sanggup satu kelas.  "Tidak." Zea menggeleng tegas, seolah menyalurkan semua penolakan dalam jawaban ini. "Tidak satu kelas!" Zea menegaskan kembali.  Arion yang melihat sikap antipati Zea, memainkan sendok di tangan, seolah-olah benda ini adalah mainannya yang paling menarik. Senyum di bibir Arion semakin merekah lebar, menikmati ketidaknyamanan Zea. Dengan sengaja, Arion mengungkapkan suatu fakta.  "Kami tidak sekelas, tapi kami pernah pacaran dan putus enam bulan lalu!" 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN