BAB 4

1482 Kata
Ketukan meja ringan dari pria berkewarganegaraan asing dengan cepat mengembalikan kesadaran Miyu. “I want to order this.” “Huh?” Pria berkulit putih bersih itu menggiring pandangan Miyu menuju lembaran menu dan pipi Miyu langsung memanas. Duh, apa-apaan, sih? Padahal sejauh ini gue ngelayanin pelanggan nggak ada masalah apa-apa, kenapa sekarang begini?! Miyu menggigit bibir, memaksa bersuara. “Okay. One caramel macchiato? What size?” “One caramel macchiato and three caramel mocha frappucino, regular.” “Ice or hot served?” “Ice, please.” Untuk beberapa saat perhatian Miyu berpusat pada mesin kasir, tidak lucu kalau hari pertama bekerja sudah membuat kesalahan fatal hanya karena melayani pria super tampan, seperti salah memasukkan angka. “One hundred rupiah, sir.” Miyu mendongak untuk menerima lembaran uang seratus dan lima puluh ribu. Sedikit buru-buru dia mengambil dan memberikan kembalian beserta struk. Kemudian, bernapas amat lega bukan main saat pria berkewarganegaraan asing itu berpindah tempat ke bagian Reno untuk menunggu pesanannya. Seolah tahu si pria tampan telah berpindah tempat, Ira muncul dari dalam office, menghampiri Miyu. Mereka berdiri berdampingan mengamati sosok pria berambut dan bermata cokelat itu berdiri tegap bersandar di meja barista. Ketika pesanannya telah selesai, ia berjalan keluar dari café, melewati pintu lalu masuk ke mobil Range Rover Sport. Tanpa sadar jemari Miyu terlalu kencang menekan keyboard mesin kasir. Tidak menyangka baru saja menemukan pria yang seolah keluar dari dunia novel romantis di w*****d maupun film romantis fenomenal Crazy Rich Asian. Hidung lurus dan mancung, tinggi semampai, bahu lebar, ramping, dan atletis. “Ini yang terjadi waktu gue pertama kali ketemu Dokter Anggara. Persis.” celetuk Ira sambil menubrukkan pundaknya ke pundak Miyu. “Beda, ya! Gue ngomong!” protes Miyu. “Iya, kayak balita belajar ngomong.” “Ira.” “Apa?” Ira menyeringai puas sambil menepuk-nepuk bahu Miyu dengan tatapan mengejek. “Impas.” “Apaan, sih?” “Iya, Agatha, iya. Muka lo merah kayak kepiting rebus bukan karena tatap-tatapan sama cowok bule super rich, tapi AC café mulai panas,” Ira berdehem sejenak, “Reno, oh, Reno!” Reno melongok dari balik pintu office. “Apaan?” “Telpon service AC, bilangin jatah service tiga bulanan. Nih, gawat banget udah makan korban. Agatha kepanasan sampe mukanya merah banget. Untung nggak pingsan!” Reno langsung menyahut penuh semangat bernada usil. Miyu menoleh sengit ke Ira dan Reno bergantian. Ira mengedikkan bahu dengan senyum tipis dan mata berkilau usil, sementara Reno kembali sibuk sendiri di office. Mendadak Miyu kehabisan kata untuk membalas ledekan Ira, seolah kalah. Padahal Miyu bisa kembali melempar protes dan menyangkal semua tuduhan Ira, namun entah kenapa dia tidak bisa lagi. Kenapa, sih? *** Dengan sebotol teh manis hangat yang dibuat oleh Reno beberapa saat lalu, Miyu keluar kedai usai berpamitan dengan Reno dan tiga orang lain yang kebagian jaga malam. Langit sudah gelap, tapi jalan di daerah tempatnya bekerja ini semakin ramai. Untuk beberapa saat, Miyu hanya diam di pinggir jalan—agak jauh dari area café Anomali—memandang mobil dan motor lalu lalang. Hal yang membuat Miyu diam bak patung di pinggir jalan sekarang adalah dengung di kepalanya. Dengung yang terdengar seolah ada yang memalu di otaknya. Ditambah pula dengan tarikan nyeri dari bagian bawah kepala sampai bahunya, migrain yang Miyu tahan sejak tadi kini terasa semakin menyakitkan. Miyu mendongak ke langit, menarik dan mengembuskan napas perlahan. Mata hijaunya mengerjap cepat untuk mengusir rasa lelah dan sakit yang kompak menyerang. Sadar tidak akan kuat berdiri lebih lama lagi, Miyu mengambil ponsel dari tasnya sambil berjalan miring untuk mencari sandaran terdekat. Sesekali naik taksi online kayaknya nggak masalah, batin Miyu, membatalkan niatnya untuk memesan gojek. Anehnya, tangan Miyu gemetar, sulit untuk dikendalikan. Kepalanya terasa terlalu berat seolah ingin lepas dari lehernya. Kalau bukan karena bunyi klakson yang mengagetkan, mungkin Miyu sudah jatuh mengenaskan di pinggir jalan. Mobil Jazz hitam dengan jendela bagian penumpangnya sudah terbuka, berhenti tepat di hadapan Miyu. Miyu melakukan kontak mata sejenak dengan pemilik mobil yang entah bagaimana caranya jadi ada tiga. “Astaga, Miyu!” seru Nana, si pemilik mobil, buru-buru bergerak keluar dari mobil untuk menghampiri Miyu.  Nana menyangga tubuh Miyu, membantunya berdiri dan perlahan memasukkannya ke jok penumpang mobil. Dalam hatinya, Nana merapalkan syukur ratusan kali karena memilih mengikuti rasa khawatirnya terhadap Miyu. Bukan rencana Nana untuk menjemput Miyu hari ini karena Miyu bilang akan pulang naik gojek. Tentu saja Nana tidak tenang meski mengiyakan kemauan Miyu. Nana benar-benar bersyukur. Melihat kelopak mata Miyu semakin sayu membuat Nana semakin panik. Buru-buru ia tancap gas menuju rumah Miyu yang untungnya hanya berjarak satu kilometeran dari café Anomali. Sebuah keputusan yang bijak dan tepat sasaran bagi Aya dan Nana mempercayakan Miyu bekerja di sana. Kekhawatiran mereka berubah menjadi kenyataan dalam sekejap, bukan? “Miyu, lo kok bisa gini, sih? Lo dikacungin? Kurang makan? Kecapekan?” cicit Nana bertubi-tubi bernada penuh kepanikan. Berusaha fokus menatap jalanan dengan menahan diri untuk tidak melirik Miyu di sampingnya. Miyu meringis merasakan rasa ngilu di kepalanya. “Pusing doang ini. Biasa.” Decakan spontan keluar dari bibir Nana. “Apaan biasa-biasa? Lo hampir pingsan di pinggir jalan.” “Kaget kali badan gue setelah sekian lama nggak kerja,” decak Miyu asal bicara membuat Nana melirik tajam padanya, “nyetirnya kalem aja, dong.” Nana memutar bola mata jengah. “Kata seseorang yang hampir pingsan mengenaskan di pinggir jalan.” Miyu memutuskan untuk tutup mulut sebelum rasa denyut dalam kepalanya semakin menyiksa. Mendengar omelan Nana hanya akan menambah rasa pening di kepala Miyu. Miyu juga memilih untuk tidak memikirkan apa-apa, mengosongkan pikiran agar rasa sakit itu sirna. Walau rasanya sia-sia saja karena satu sudut kecil dalam otak Miyu berusaha memikirkan penyebab rasa pening menusuk kepalanya. Pekerjaan baru Miyu sebagai pegawai kasir dan pelayan di café Anomali terbilang mudah. Tidak ada tekanan sama sekali. Semua pegawai memperlakukan Miyu dengan baik dan saling menolong. Tidak ada kacung-kacungan maupun istilah anak bawang dan senioritas. Tidak ada aktivitas yang memberatkan Miyu. Tapi, kenapa Miyu merasa sesakit ini? Ketika mobil Nana sampai di depan rumah Miyu, Nana segera membopong sahabatnya itu masuk ke dalam rumah. Miyu langsung menerjunkan diri ke sofa ruang keluarga, sementara Nana menyiapkan obat dan makanan untuk Miyu. Dengan cekatan Nana memasakkan bubur telur sembari menyuruh Miyu menyempatkan diri berganti baju. “Ya, halo, Aya?” ujar Nana setelah menerima sambungan telepon dari Aya. Kepala Nana mengangguk keras seraya berkata, “Iya Miyu drop. Nggak tahu gimana ceritanya, dia drop banget. Lo mau ke sini?” Miyu berusaha bangkit dari sofa, berniat mengganti pakaiannya. Langkahnya gontai memasuki kamar tidur. Perempuan berambut pirang itu menghampiri lemari, mengambil pakaian yang mudah diambil. Menahan denyut yang terasa mengerikan, Miyu berusaha menjaga kesadarannya selama berganti pakaian. Ia langsung menidurkan diri di ranjang usai merasa lebih lega dengan pakaian longgar. Tubuh Miyu terlentang. Seluruh sendinya diluruskan dengan wajah lurus menatap langit-langit. Berharap cara sederhana itu mampu mengatasi rasa berdenyutnya. Satu sudut kecil dalam kepala Miyu masih memikirkan penyebab pening menyerang. Apa yang salah? batin Miyu kosong menatap langit-langit. Kepalanya memutar reka ulang aktivitasnya hari ini, sedikit memaksanya bekerja sesuai semestinya otak bekerja hingga mengundang rasa berdenyut lainnya. Kerjaan nggak ada yang berat. Gue juga lebih banyak santainya karena kebagian jadi petugas kasir. Gue nggak berjalan mondar-mandir kayak pelayan. Semua baik-baik aja. Tapi, kenapa? rutuk Miyu mulai dilanda bingung. Ketika Miyu mengubah posisi ke kiri, mata hijaunya bertubruk pandang dengan kartu nama yang tergeletak di nakas. Sebuah benda kecil yang mampu memberikan efek besar bagi Miyu. Miyu terkena bom waktu. Tangannya segera meraih kartu nama tersebut dengan wajah syok bercampur sedikit keraguan. Tidak mungkin, ‘kan? “Nggak mungkin,” cicit Miyu sedikit bergetar membaca nama yang tertera di kartu, kepalanya menggeleng pelan, “nggak, nggak mungkin. Belum dua minggu, ini hari kesepuluh. Gue cuma kecapekan.” Saionji Phantom Co. Group. Saionji Kanata. Miyu menggeleng keras-keras dengan tangan kanan yang menggenggam kartu terhempas begitu saja ke kasur. Menjauhkan kartu nama itu dari pandangan Miyu demi menyingkirkan dugaan-dugaan terburuk yang mulai hinggap. TOK TOK “Miyu, makan! Bubur telornya udah siap!” panggil Nana dari balik pintu kamar Miyu, menarik Miyu ke kesadarannya kembali. Miyu menarik napas dalam-dalam setelah bangkit duduk di tepi ranjang. Matanya memejam, menanamkan segala sugesti positif pada alam bawah sadarnya bahwa dirinya hanya kecapekan. Tidak ada alasan apa pun selain kecapekan. Termasuk kemungkinan terbesarnya, kehamilan. “Aya bakal mampir, katanya,” ujar Nana memberitahu saat Miyu mulai melahap bubur telur buatannya, “dia heboh sendiri. Bersyukur bahwa dia dan gue berhasil memprovokasi lo buat kerja di Anomali.”   Miyu hanya mengangguk-angguk, memilih tidak berbicara dahulu dengan menyuapkan bubur. “Serius, sebenernya ada apa? Ini hari pertama lo kerja, belum apa-apa udah drop begini. Ada masalah atau terjadi sesuatu gitu di café?” Tangan Miyu berhenti menyendok bubur. Bagai disetel otomatis, kepala Miyu memutar reka ulang seorang pengunjung berpenampilan borjuis dan berparas super tampan yang entah mengapa membuat Miyu terdiam kaku selayaknya kesambet setan gagu. Sensasi dingin yang aneh langsung menjalar di seluruh tubuh Miyu diikuti gejolak-gejolak aneh. Benar-benar tidak masuk akal. Memangnya pertemuan dengan pengunjung tersebut termasuk kejadian penting sampai-sampai kepala Miyu langsung nyambungnya ke sana? Sebesar itukah efek si pengunjung borjuis nan tampan itu bagi Miyu? Seolah menjawab segala kebingungan Miyu, suara maskulin pria itu berputar seolah-olah kini memasuki gendang telinga Miyu. “I want to order this.” Sukses membuat Miyu menahan u*****n kasar. TO BE CONTINUED
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN