BAB 50

1159 Kata
                Alia menghela napas panjang, melipat kedua tangan di d**a, sembari menjuruskan pandangan ke kedua wanita yang kini duduk satu sofa di hadapannya. Sudah hampir setengah jam keduanya tidak berhenti bicara, saling bersahutan dengan kata-kata kasar masing-masing. Merasa paling diinginkan oleh Panji, padahal lelaki yang dimaksudkan yang menjadi objek pembicaraan, malah tidak tahu bahwa keduanya datang ke rumahnya.                 Suara derasnya hujan di luar, bahkan tidak mampu mengalahkan kedua suara wanita di hadapannya. Alia benar-benar pusing bukan main. Ingin rasanya dia mengusir kedua wanita itu dan membuat harinya yang dingin dan menyenangkan, bisa tenang secepatnya. Namun dia benar-benar tidak tega jika mengusir keduanya, mengingat Gritte datang ke rumah dengan taksi, rasanya terlalu tega jika Alia melihatnya menanti di luar rumah dengan pakaian basah kuyub. Sedangkan untuk Luna yang sebenarnya bawa mobil, Alia sendiri bukan tidak tega mengusirnya. Tapi rasanya Luna tidak akan mau pergi jika Gritte tidak lebih dulu pergi. Dan rasanya percuma bagi Alia untuk melakukannya pada Luna yang keras kepala.                 Alia mengalihkan pandangannya ke arah dapur. Terlihat Simi berdiri di sana sembari menanti isyarat Alia untuk melangkah mendekat membawa teko berisi air ke sekian kalinya untu keduanya. Sudah berulang kali Simi mengisi air ke dalam gelas keduanya. Dan selalu saja Simi berdiri di sana menanti aba-aba. Namun kali ini, sudah satu menit dia menanti, Alia tak kunjung memanggilnya untuk mendekat.                 Alia melirik ke jam dinding di belakang keduanya.  Dia bukan tidak ingin Simi melakukan hal yang sama lagi, tapi kali ini dia sudah mulai muak dengan dua hal. Yang pertama tentang pertengkaran keduanya, dan yang kedua tentang Herman yang tak kunjung pulang padahal sudah dia telepon berulang kali. Seharusnya herman sudah kembali beberapa menit lalu mengingat lelaki itu mengatakan, bahwa dia sudah di jalan. Namun lelaki yang dia harap bisa membantunya ke luar dari keadaan menjengkelkan ini, malah tak kunjung kembali. Alia benar-benar dibuat geram kali ini.                 “Mau sampai kapan buat keributan di rumah orang!” bentak Alia yang langsung membuat keduanya berhenti bertengkar. Baik Gritte mau pun Luna bersamaan mengarahkan tatapan ke alia yang kini menunduk geram dengan kedua tanga masih terlihat di atas perutnya.                 “Sampai dia lebih dulu pulang, Tante!” bentak Luna yang langsung menarik tatapan emosi dari Gritte yang kembali terarah padanya.                 “Kenapa gak loe aja yang pulang!” balas Gritte tidak terima dengan ucapan Luna yang rasanya, mengusirnya secara halus.                 “Kok gue, jelas-jelas gue lebih dulu datang dari pada loe!” balas Luna lagi tidak mau kalah.                 “Tapi gue yang diharapkan kedatangannya, bukan loe!” balas Gritte sembari menunjuk Luna dengan jemari telunjuk tangan kanannya.                 “Gak usah nunjuk-nunjuk segala!” bentak Luna sembari menepis jari telunjuk Gritte yang masih terarah padanya. “Dan gak usah ngimpi, siapa yang nagerepin loe datang ke sini? Kagak ada! Halu kok ketinggian!”                 “Diam loe, gak usah ngatur-ngatur gue, mau gue nunjuk ke sana lha, mau ke sini, terserah gue!” ucap Gritte dengan nada penekanan di kata-kata terakhir. “Loe itu sadar diri, loe udah ditolak sama Panji, masih aja ngarepin dia. Loe udah gak ada kesempatan lagi, sana pulang!”                 Alia menepuk keningnya sendiri mendengar keduanya kembali bertengkar. Dengan gerakan perlahan dan kedua mata terarah lagi ke Gritte dan Luna, Alia menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. Baru saja keduanya diam saat pertanyaannya terlempar kepada keduanya, malah sekarang kembali bertengkar persis seperti Tom and Jerry. Dan hal itu membuat Alia bingung harus melakukan apa saat ini.                 “Bisa diam gak!!” bentak Alia yang kembali membuat keduanya terdiam. Kembali bersamaan mengarahkan tatapan ke Alia yang kini mendengus kesal melihat keduanya. “Kalian berdua gak bakalan dipilih Panji sampai kapan pun!!” bentak Alia lagi bersamaan dengan suara pintu terbuka.                 Ucapan salam dari Herman, membuat Gritte dan Luna megarahkan tatapan ke pintu, bukannya malu atau menundukkan kepala, Luna dan Gritte malah kompak berlari mendekati Herman dan saling berebut mencium tangan kanan Herman yang membuat lelaki itu bingung bukan main hingga mundur beberapa langkah karena kaget, sedangkan Alia menyandarkan tubuhnya di sofa karena tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa menghadapi keduanya.                 Herman dan Alia duduk di hadapan Gritte dan Luna. Keduanya kini saling terdiam dan saling melemparkan senyuman manis ke Herman dan Alia. Alia yang udah tahu sifat asli keduanya, malah mendengus kesal berulang kali yang membuat Herman melirik ke arahnya, setiap kali Alia melakukannya.                 Simi datang mendekat, menuangkan air ke gelas Gritte dan Luna, serta meletakkan gelas berisi air mineral untuk Herman di atas meja. Herman mengucapkan terima kasih pada Simi, Simi tersenyum tipis lantas kembali ke dapur meninggalkan ruang tamu yang kini kembali hening. Gritte dan Luna meraih gelas masing-masing, dan dengan sikap sopan meneguknya. Berbeda jauh dari sebelumnya saat keduanya malah berlomba cepat-cepatan menghabiskan air di dalam gelas, setiap kali Simi mengisinya.                 “Sekali lagi tambah, bayar!” bentak Alia saat Gritte dan Luna meneguk airnya. Gritte dan Luna spontan terbatuk, yang membuat Herman tertawa tertahan melihat keduanya. Dari ucapan Alia, dia bisa menebak kalau Simi sudah berulang kali mengisikan air untuk kedua tamunya itu. Alia tidak akan mengatakan hal seperti itu kalau tidak ada penyebabnya.                 “Tante bisa aja ngelawaknya,” ucap Luna sembari meletakkan gelasnya yang isinya tinggal setengah ke atas meja. “Yang cocok suruh bayar dia nih, Tante. Entah karena di rumahnya gak ada air minum, atau memang haus!”” ledek Luna lagi yang membuat Gritte melotot ke arahnya, namun dengan cepat langsung dia tepis saat menyadari tatapan Herman terarah padanya. Gritte langsunng tersenyum lebar sembari meletakkan gelasnya ke atas meja.                 “Om pasti capek, kan?” tanya Gritte mengabaikan ucapan Luna, yang sebenarnya ingin dia balas seperti sebelumnya. “Om istirahat saja, Gritte datang ke sini Cuma mau ngobrol sama tante saja.”                 “Itu kalimat gue seharusnya,” ucap Luna setengah berbisik, sembari terus tersenyum ke Herman.                 Herman tertawa mendengarnya, “Saya gak capek, tadi saya tidak kerja ke kantor, Cuma ketemu teman lama aja di café. Ngobrol santai di sana, makanya gak terlalu capek sih.”                 “Mungkin kalian berdua yang capek dari tadi ngomong terus gak berhenti,” tambah Alia geram. “Sebaiknya kalian pulang saja, istirahatkan bibir kalian yang sejak tadi asyik ngomong mulu gak berhenti!” ucap Alia yang jelas saja membuat keduanya malu bukan main.                 “Om Cuma mau bilang, Panji sudah menikah dengan Viola, dan dia tidak berniat untuk mencari wanita lain lagi atau malah meninggalkan Viola demi wanita lain. Jadi ada baiknya, kalian berdua berhenti mengharapkan hal yang tidak akan pernah terjadi. Saya tau sifat anak saya yang satu itu, dia tidak akan menyakiti Viola apa pun yang terjadi,” ucap Herman dengan nada suara tenang.                 “Tapi Gritte mencintainya, Om,” ucap Gritte tampak sungguh-sungguh.                 “Luna juga!” seru Luna menimpali.                 “Om tau, tapi tidak dengan Panji. Om harap kalian mengerti kalau cinta yang kalian rasakan itu tidak benar, hanya obsesi semata. Berhenti, jangan mengejar sesuatu yang nantinya bakalan menyakiti hati dan menghancurkan hidup orang lain.”                 Gritte terdiam, sedangkan Luna tampak menunduk. Alia benar-benar puas melihat keduanya kali ini. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN