“Luna datang ke toko?!” pekik Panji saat mama memberitahukan soal Luna. Makan malam yang sejak tadi lahap ia makan, kini terasa enggan untuk kembali memainkan sendoknya. Panji melepaskan keduanya dan menatap mama lamat-lamat. Viola sendiri yang duduk di samping Panji, ikut tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Iya, anaknya baik. Manis lagi,” puji mama dengan kedua mata berbinar-binar.
“Nenek sihir mana ada yang baik, Ma. Apalagi manis!” bantah Viola.
“Nenek sihir apanya?” Mama mengerutkan kening. “Jangan asal ngomong kamu, Vi.”
“Memang nenek sihir kok, tanya aja sama Abang. Ya kan, Bang?”
Panji mengangguk lalu kembali menatap mama. Sesaat pandangan mama mengarah ke sang suami. Namun lelaki itu dengan santai melanjutkan makan malamnya. Seakan tak peduli situasi yang terjadi.
“Mama pengen, kamu sama Luna jadian!”
Viola dan Panji spontan terpekik mendengar ucapan mama yang tanpa aba-aba. Sendok dan garpu yang digenggam Viola, terlepas hingga menarik pandangan Panji. Viola yang masih kaget, memilih menunduk. Ia tak ingin siapa pun tahu garis kaget dan tak terima di wajahnya.
“Mama apaan sih!” hardik Panji. “Jangan seenaknya gitu dong, Ma. Panji juga gak suka sama Luna!”
“Apanya yang gak suka, Luna anaknya baik, manis dan sopan. Mama suka sama Luna. Dan mama ingin, kamu pacaran sama dia.”
“Ma, Luna itu gak sebaik yang mama pikirkan!” tambah Panji.
“Sekarang kamu tinggal pilih, mau sama Luna atau mama jodohkan sama yang lain?” Wajah mama penuh keseriusan. Suasana mulai semakin tak bersahabat.
Panji sendiri menghela napas kasar. Sikap mama yang sejak dulu terkenal egois, selalu membuatnya dan Viola sulit mempertahankan apa yang mereka genggam. Mama selalu mampu mematahkan segalanya sesuai keinginannya. Apapun yang diinginkan Panji maupun Viola, selalu saja tidak dikabulkannya jika hal itu bertolakbelakang dengan prinsipnya. Bahkan papa sendiri sebagai suami, tak bisa melakukan apapun saat sikap egois sang istri, hadir tiba-tiba.
Viola membanting pintu kamarnya dan melangkah mendekati tempat tidur. Menghempaskan tubuh di atasnya lalu menatap langit-langit kamar. Suara Luna yang memakinya dengan sebutan kurcaci, terasa jelas terdengar di telinga. Ingin rasanya ia menjambak-jambak rambut Luna. Sikap Luna yang masuk ke celah tersulit, membuat Viola tak bisa melakukan apa-apa.
“Dasar cewek licik!” maki Viola disusul hantaman kepalan tangannya ke atas tempat tidur.
Pintu kembali terbuka dan terlihat Panji berdiri menatapnya dengan tatapan bingung. Viola menarik tubuhnya untuk membelakangi Panji. Melihat itu, Panji melangkah setelah menutup pintu lalu berbaring di samping Viola. Sesaat hening menyapa. Hingga akhirnya, Panji membuka suara.
“Mama yang buat masalah, kenapa abang yang dimarahi?”
Viola bungkam. Wajahnya masih tampak kesal dengan kejadian di meja makan. Panji memiringkan tubuhnya, menatap bagian belakang tubuh Viola yang masih enggan berbalik.
“Vi ….”
“Abang sama mama sama aja!” bentaknya. “Entah pun jangan-jangan abang sengaja minta Luna datang nemui mama di toko bunga, dan cerita semuanya biar Viola gak bisa ngelarang hubungan kalian. Iya kan?!”
“Ya Allah, Dek. Jauh amat mikirnya!” Panji menarik lengan Viola hingga ia membalikkan posisi tubuhnya berhadapan dengan Panji.
“Udah, ngaku aja!” paksa Viola. Wajahnya terlihat memerah karena emosi.
“Enggak lho, Bawel!” ucap Panji sambil menarik hidung Viola.
Viola menepis tangan Panji, “Sakit!”
“Habisnya bandel, masa nuduh abangnya kayak gitu!”
Viola bangkit dari posisi tidurnya, lalu duduk di pinggir tempat tidur, “Jadi dari mana tuh nenek sihir tahu toko bunga mama kalau bukan dari Abang?”
Panji meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. Menjadi alas kepalanya lalu menatap langit-langit kamar Viola, “Ya mana abang tahu soal itu.”
Viola menghela napas kesal, “Pengen Vio buang ke tong sampah tuh anak!”
Panji tertawa mendengarnya, “Kejam amat, Vi?” Tawa Panji masih saja terdengar hingga berhasil menarik kekesalan semakin memuncak di diri Viola. Panji sendiri yang menyadari kesalahan dalam kalimatnya lalu menunjukkan wajah memelas. Seakan menyesali apa yang dia katakan.
“Tuh kan, dibela!” bentaknya. “Terbukti kan kalau Luna itu berharga buat Abang, sampek dibela kayak gitu!”
“Ya ampun nih anak, tuh otak kepintaran banget yah. Semuanya disangkut pautkan!” Panji menghela napas kasar. “Abang harus gimana lagi sih ngeyakini Vio kalau kami berdua, gak ada hubungan apa-apa!”
Viola kembali menundukkan kepala. Menghela napas sembari melipat kedua tangannya di d**a. Masalah Luna, benar-benar membuatnya muak.
“Lagian abang kan udah janji gak bakalan punya pacar sampai Vio lulus kuliah.”
“Ya bisa aja kan diam-diam!” Viola masih enggan menatapnya.
Panji memutar kedua bola matanya sesaat, lalu secara tiba-tiba menarik tangan Viola hingga tubuhnya terjatuh di atas dadanya. Viola terpekik kaget, namun tak bisa melawan. Panji selalu saja melakukan hal itu sejak masih kecil. Karena ia tahu, tempat yang paling membuat Viola tenang cuma satu, yaitu dipelukannya. Bahkan dulu, Viola selalu saja tertidur dengan kepala berada di d**a Panji. Mencoba merasakan detakan jantung Panji yang selalu saja berdetak lebih cepat saat kepala Viola, bertumpu di atasnya.
Sesaat hening. Hanya detakan jantung Panji yang terdengar di telinga Viola. Begitu cepat. Hingga sesaat membuat Viola merasakan keanehan di dirinya. Desiran darahnya terasa menghangat. Viola menelan air liurnya dan mencoba tetap tenang dengan kepala tetap di d**a Panji. Hal yang sama terjadi. Selalu … hampir setiap saat ketika dia di posisi yang sama seperti sekarang.
“Sejak dulu abang gak pernah kan mengingkari janji yang udah abang buat?”
Viola menggeleng perlahan di pelukan Panji. Panji mempererat pelukannya. Tersenyum lebar. Viola sendiri masih menatap lurus tanpa ekspresi.
“Percaya ya sama Abang. Abang gak suka sama Luna. Sampai saat ini yang terpenting buat abang cuma satu, kamu, Dek. Gak ada yang lain. Abang udah bertekad bakalan jagain kamu sampai lulus kuliah. Jadi jangan tuduh abang yang gak-gak yah?”
“Maafin Vio ya, Bang.” Panji tersenyum mendengarnya. “Vio cuma gak mau waktu Abang berkurang. Nanti, Viola dicuekin, terus kayak obat nyamuk kalau malam minggu di rumah. Cuma duduk nonton tv sama papa dan mama.”
Panji tertawa hingga membuat tubuhnya bergetar hebat. Viola memukul perutnya pelan. Panji merintih kesakitan sambil mengusap perutnya ketika Viola sudah tidak lagi bertumpu di atasnya.
“Udah tahu orang lagi di atasnya, malah ketawa. Pusing tahu!” Viola memanyunkan bibirnya lalu berbaring di samping Panji. “Keluar sana. Vio mau tidur!”
“Malas agh, abang mau tidur sini aja!”
“Yeee, Viola bukan anak kecil lagi, tahu!”
“Biarin, bagi abang … Viola tetap jadi adik kecilnya abang. Yang selalu minta ditemanin tidur sejak dulu.” Panji menjulurkan lidahnya yang membuat Viola menyerang dengan gelitikan di perutnya. Panji tertawa dan mencoba menahan tangan Viola.
Sesaat kemudian dia terhenti. Menatap bola mata Panji yang terasa berbeda sejak dulu. Panji yang berhasil menangkap sorot mata itu, langsung merubah posisinya miring ke arah Viola.
“Kenapa?”
“Mata kita kok beda ya, Bang?” tanya Viola dengan wajah heran. “Bola mata Abang cokelat gitu, sementara Viola … hitam kayak mama dan papa.”
Panji terdiam memikirkan kalimat Viola. Viola menyentuh rambut Panji yang juga memiliki warna berbeda dari rambutnya yang hitam pekat. Ada sedikit warna pirang di beberapa helaian rambut Panji.
“Rambut Abang juga beda!”
“Yeee, ini anak entah apa aja yang diomongi,” jawab Panji sambil menolak jidat Viola. “Ingat alm. kakek, gak?” Viola mengerutkan kening sambil mengangguk. “Kakek kan katanya ada turunan juga, dari jerman kalau gak salah. Ya … mungkin abang ngikuti kakek, dan kamu ngikuti nenek.” Panji menjulurkan lidahnya.
“Ist, gak adil. Seharusnya Viola yang punya mata cokelat dan rambut kayak Abang, kan jadi lebih cantik!” Viola melipat tangannya dengan bibirnya manyun. Panji mengusap kepala Viola lembut.
“Sini, abang rubah warnanya pakai cat air,” canda Panji yang berhasil membuat Viola memukulnya bertubi-tubi. Panji berusaha menghindar namun sayang, Viola malah langsung menggenggam tangan kanan Panji dan kembali mengujamnya dengan gelitikan tanpa henti. Membuatnya tak henti-hentinya tertawa akibat rasa geli di bagian perutnya.