HINAAN ALFIAN

1322 Kata
Dengan langkah terseok-seok menahan rasa sakit di area inti, aku keluar dari kamar berjalan melewati pintu samping. Aku tidak siap bertemu Alfian yang sedang berdebat dengan keluarganya. Sarah menarik tas di genggaman tanganku, hingga membuat langkahku terhenti. "Lepas!" sentakku kemudian menepis tangan Sarah. Aku kembali melangkah menuju pintu keluar, ingin segera keluar dari rumah yang dulunya sangat nyaman untuk kutinggali, tapi kini berubah seperti neraka yang mengoyak harga diriku. "Mbak, tolong jangan pergi, Mbak. Tunggu Mama sama papa dulu... MA, MAMAAAAA, MBAK NUR MAU PERGI MA!!" Sarah berteriak memanggil mamanya, sementara tangannya berusaha menahan kepergianku. Aku acuh menulikan telingaku. Aku tidak ingin menggadaikan harga diriku dengan bertahan di rumah ini. Tak lama kemudian, Pak Lukman dan Bu Ayu datang menghampiriku yang sudah sampai di teras rumah. Mereka berusaha mencegahku yang terus melangkah. "Nak, tolong jangan pergi seperti ini. Alfian pasti akan tanggung jawab," kata Pak Lukman memohon, tapi luka hatiku tidak bisa sembuh hanya dengan rayuannya. "Maafkan perbuatan Alfian." Langkahku tertahan karena Bu Ayu menarik tanganku. Aku menoleh, air matanya tak kalah derasnya dengan air mataku. Aku tahu beliau adalah orang baik dan tulus, tapi perbuatan bej*t anaknya membuat dadaku sesak. Jangankan melihatnya, melihat rumah dan keluarganya hatiku hancur. "Tolong jangan cegah saya! Kalau tidak, saya akan laporkan Alfian ke polisi." Perlahan cekalan Bu Ayu di pergelangan tanganku mulai mengendur, tentu saja karena takut aku melaporkan putra ke polisi. "Kamu mau kemana malam-malam begini, Nak. Biar Pak Supri antar kamu." Pak Lukman menawarkan bantuan sembari menatapku dengan tatapan iba. Aku menengadahkan kepalaku ke atas melihat langit yang gelap, gerimis masih membasahi jalanan. "Saya tidak butuh bantuan anda." Aku bersikeras menolak. Sebelum pergi, di sudut rumah mataku tak sengaja bertatap dengan mata pria jahat itu, lagi-lagi emosiku mencuat dan meradang. Kejadian tadi tergambar begitu jelas di benakku. Dia menatapku dengan tajam, aku lebih dulu memutus kontak mata kami dan pergi membelah rintik hujan. Di kegelapan malam, hujan turun begitu deras membasahi bumi seolah ikut merasakan duka yang melanda hatiku. Aku duduk di bangku halte bersandar di pilar, tatapanku kosong mengarah pada percikan hujan di genangan air. Bayangan setiap sentuhan Alfian tak kunjung sirna, padahal aku sudah berusaha menghapus ingatan buruk itu. Aku memeluk tubuhku yang menggigil kedinginan, pakaianku sedikit basah. Angin berhembus kencang, terasa begitu menusuk di kulit. Aku mengusap bibir dan leherku dengan kasar, agar jejak merah yang di tinggalkan Alfian bisa hilang, tapi hanya luka tergores kuku tajam yang aku dapat. Sangat perih, tapi perihnya tak sebanding dengan perih di hatiku. Lagi-lagi air mataku meleleh tanpa bisa di cegah. Tangisanku pecah, aku menangis sejadi-jadinya di pinggir jalan meluapkan semua gejolak emosi yang saat ini menyiksa hatiku, membuat rongga dadaku terasa sesak. Hidupku hancur, ini terlalu menyakitkan. Aku segera menyeka air mataku saat mendengar deru mobil melaju ke arahku, sorot cahaya lampu mobil menyilaukan pengelihatanku. Aku berdiri ketika mobil Ferrari putih berhenti di depanku. Tanganku mengepal ketika sosok pria bertubuh tinggi tegap, dan berkulit putih bersih turun dari mobil dengan memakai kaos polo warna putih dan celana jins yang membungkus kakinya. Wajahnya terpahat begitu sempurna dan sangat menarik, tapi sangat di sayangkan karakternya begitu buruk. Dia pria jahat yang tega merenggut kehormatan yang selama ini aku jaga. "Kamu mau kemana? Biar kuantar." Alfian berdiri di hadapanku, ia bertanya tanpa ekspresi. Tak ada rasa bersalah sedikitpun di hatinya atas kejahatan yang ia lakukan padaku. Aku hanya bergeming, menatap Alfian penuh dengan kebencian, lelehan air mata kembali terjun membasahi pipiku. Aku sangat terpukul saat ini, seperti ribuan sembilu sedang merajam hatiku. Aku melangkah menjauhi Alfian, melihatnya hanya menambah luka di hatiku. Namun, langkahku tertahan karena Alfian menarik tanganku. Aku langsung menepis tangannya karena jijik. "Biar kuantar," ucapnya lagi. "PLAAAAKKK ..." Satu tamparan keras mendarat di pipi Alfian, hingga wajahnya terlempar ke samping. Pria itu memegangi pipinya yang merah lalu menatapku dengan tajam. "JANGAN SENTUH AKU DENGAN TANGAN KOTORMU!" aku membentaknya dengan nafas memburu, tanganku mengacung ke wajah Alfian. Aku meratapi nasibku, kenapa tadi aku tak berdaya di bawah kunjungannya. Alfian merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan cek senilai 300 juta kemudian menyodorkan cek tersebut ke hadapanku. Tangan Alfian masih mengambang di udara, karena aku bergeming menatap nanar cek di tangannya. "Aku rasa ini cukup untuk menebus kesalahanku." "PLAAAAKKK ..." lagi, aku menampar pipi Alfian dengan keras. Dia benar-benar ingin meluluh lantakkan harga diriku, menyamakan aku dengan seorang pelac*r yang setelah di pakai lalu di bayar. "Aku bukan pelac*r berengs*k, Aku bukan pelac*r ... Aku masih punya harga diri." tangisku pecah, aku menangis tersedu-sedu sembari memukuli d**a Alfian bertubi-tubi. Alfian mencekal kedua pergelangan tanganku, menahan pukulan yang kuberikan padanya. "Dasar wanita tak tahu diri. Sudah untung kau kubayar dengan harga tinggi. Memangnya berapa harga yang kau inginkan?" Alfian menatap mataku yang basah dengan linangan air mata. Aku jijik melihat pria di depanku, aku jijik dengan sentuhannya. Tega sekali dia menyamakan aku dengan w************n. "Jangan sentuh aku. Dasar b******n, binatang. Kusumpahi kamu masuk neraka?" aku memakinya dengan lantang meluapkan emosi yang merajai hati. "Hah, neraka?" Alfian tersenyum sarkas, "Tadi saja kita bersenang-senang ke surga. Kok neraka, sih?" Alfian menghempaskan tanganku dengan kasar, lalu pergi memasuki mobil dan membanting pintunya dengan keras. Meninggalkanku bersama cek yang jatuh ke paving block. Angin berhembus dengan kencang membawa pergi cek dari Alfian. Tubuhku merosot di atas paving blok, lututku terasa lemas dan tak mampu menopang berat badanku. Aku berjongkok memeluk lutukku sendiri, membiarkan cek itu terbawa angin di tengah guyuran air hujan. Sikap Alfian semakin membuatku muak, aku merasa di perlakukan seperti w************n. Alfian membuat luka hatiku kian menganga, hatiku hancur bagai tercabik-cabik mendengar hinaannya. *** "Nur, kamu kenapa?" Ratna, sahabatku dari kampung terkejut melihat keadaanku yang basah kuyup di depan pintu kosannya. "Boleh aku numpang tidur di sini untuk sementara waktu?" tanyaku yang enggan menjawab pertanyaan Ratna. "Ayo, ayo masuk dulu. Ganti bajumu di kamar mandi." Ratna membawaku ke dalam kos-kosannya yang hanya berukuran sekotak. Ratna menggiringku ke dalam kamar mandi. Aku berdiri di depan cermin kamar mandi. Menatap pantulan leher dan dadaku yang penuh dengan bekas kiss mark. Tangisanku kembali pecah, air mata terus mengucur dengan deras. Beban ini terasa begitu berat hingga membuatku sulit untuk bernafas. Kugosok seluruh tubuhku yang membuatku jijik. Bayangan pria itu yang terus mencumbuku dengan paksa terus saja berkelebat, bahkan sentuhannya masih terasa hingga saat ini. Kenapa aku selemah ini! Air mataku tak bisa berhenti mengalir setiap ingat kejadian tragis itu. 1 jam kemudian aku keluar dari kamar mandi, lalu duduk di atas kasur lantai tepat di sisi Ratna. "Nur, kamu ada masalah apa?" "Nggak ada." Aku menggeleng dengan tatapan kosong, mungkin gurat kesedihan terlalu kentara di wajahku. "Bohong, wajahmu nggak bisa bohongi aku. Ayo cerita, siapa tahu aku bisa bantu!" Ratna mengguncang kedua bahuku, masih menuntut jawaban. "Tolong jangan paksa aku untuk cerita." Aku menurunkan tangan Ratna dari bahuku. "Tapi?" suara Ratna mengambang di udara. "Aku mohon." Aku mengigit bibir bawahku agar tak lagi terisak. Mana mungkin aku menceritakan aibku, ini terlalu memalukan. Cukup ku pendam sendiri masalah ini. Bercerita pun percuma, keperawananku tidak akan bisa kembali lagi. Aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri. Ratna menatapku dengan tatapan iba, ini membuatku terasa lebih menyedihkan. "Makan dulu." Ratna memberiku satu bungkus nasi goreng. "Makasih." Beberapa menit sudah berlalu, aku hanya mengaduk-aduk nasi goreng di depanku dengan sendok. Entah kenapa selera makanku hilang, menguap entah kemana! "Hey, malah melamun, ayo, makan." "Iya." tenggorokanku terasa sulit mencerna makanan, aku hanya mampu memakan tiga sendok nasi. Ku letakkan sendok lalu minum air. "Kok, udah berhenti, sih?" keluh Ratna. "Maaf, tapi aku udah kenyang. Tadi sebelum ke sini abis makan." aku berbohong. "Abisin dong, jangan buang-buang makanan," protes Ratna saat melihatku membungkus kembali sisa makananku. "Ini ku makan untuk besok pagi aja. Sekarang aku mau istirahat, capek." "Ya udah nggak apa-apa." Aku merebahkan tubuhku di atas kasur lantai, sementara Ratna masih memakan makanannya. Aku berpura-pura tidur. Setelah beberapa saat, aku mendengar suara dengkuran halus Ratna di sampingku. Setelah memastikan Ratna tertidur, aku mengambil ponselku yang sejak tadi bergetar. Assalamualaikum... pesan dari mas Firman, calon suamiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN