Perpisahan.

1485 Kata
Jika memang semua berakhir sebelum waktu yang aku perkirakan, maka aku rela melepas semua ini. Aku yakin jika hubungan yang diawali dengan kebohongan, tidak akan bertahan lama. Apalagi sebuah pernikahan. Sungguh menyedihkan memulai hari dengan sikap palsu seolah semua baik-baik saja. Di samping itu aku harus mengatur rencana dan memikirkan strategi untuk mempertahankan pernikahan yang rapuh ini. Sungguh sangat melelahkan. Mungkin sudah waktunya aku melepaskan semua. Mengakhiri kisah palsu dengan lapang d**a, dan menjadikan Ford sebagai kenangan manis yang nanti bulisa aku ceritakan pada anak cucuku. Mungkin saja di hari tua nanti, aku akan menertawakan mengingat hari ini. Hari di mana aku membuat keputusan terbesar dalam hidupku yaitu melepas cintaku. Lihatlah pria di sana, dia bersimpu bersama wajahnya yang kesakitan dari pada aku. Namun bukan ini yang aku mau, bukan penderitaan Ford yang aku inginkan. "Percaya atau enggak, cepat atau lambat aku merasa kita akan berpisah suatu hari nanti, " ucapku pada pria yang masih berlutut di depanku. Tubuhnya membungkuk dan gemetar. Dia nampak tidak berdaya hingga meraih seluruh rasa iba yang kumiliki. Ford meletakkan kepalanya di pangkuanku. "Aku, aku nggak tau harus gimana Swana. " Suaranya mulai serak, dia lebih tersakiti dariku, dan aku tau jika saat ini adalah waktu paling lemah baginya. "Hei, kamu juga berhak bahagia bersama orang yang kamu cintai. Nggak ada yang bisa nyalahin kamu Ford. Kamu jatuh cinta sama Cindy, itulah fakta yang harus aku terima. " Mungkin wanita di luar sana mengatakan aku gila karena mencoba menghibur orang yang menyakitiku. Aku tidak keberatan karena inilah diriku sebenarnya. Meski sempat mendendam dan membenci, itu semua bukan sifat asliku. "Swana... Aku nggak pernah berniat nyakiti kamu. Andai saja--" Ford terisak, dan aku mengulurkan tangan untuk memeluk pria ini, seolah tau apa yang ia katakan. Dia pasti ingin mengatakan, andai saja Cindy tidak mirip ibunya mungkin ceritanya akan berbeda. Akan tetapi kami tidak bisa hidup dalam kata andai. Ada kenyataan besar yang memang tidak mengijinkan aku dan Ford bersatu. "Aku mengerti, Ford. Jangan salahkan dirimu sendiri, okey? Sekarang kamu harus janji sama aku untuk terus bahagia. Kamu juga nggak boleh salahin diri sendiri. " Aku mengatakannya dengan tersenyum di wajah meski air mata sudah meleleh di pipiku. Menetes dan terasa panas di pipi. "Jaga dirimu baik-baik. Jangan terlambat makan. Jangan bekerja hingga lupa tidur. Jangan balapan lagi. Yang pasti jaga kesehatan. " "Swana... " Kami saling memeluk untuk mengungkapkan betapa berat rasanya saling merelakan satu dengan lainnya. Dengan menangis bersama, aku harap Ford akan bahagia dan aku bisa Melepaskannya dengan mudah. 'Andai saja aku bisa mengatakan kalau aku sangat mencintainya. ' Siang sudah berlalu digantikan pemandangan sore hari yang indah dari kaca anti peluru yang tebal. Dalam diam, kami tau jika sudah saatnya berpisah. Ford melepaskan tangan yang melilitku sedari tadi. Dia menegakkan tubuh lalu melangkah menuju ke ruang kerjanya. Tak lama kemudian dia muncul bersama dokumen di tangannya. "Apartemen ini aku pindah namakan atas namamu. Semua surat-surat yang penting juga ada di sini. Kartu kredit akan diisi tiap bulan. Jadi kamu nggak akan kekurangan apapun." Sebenarnya bukan itu yang aku khawatirkan. Ada hal lain yang lebih penting. "Ford, apa kamu akan mengambil bayiku jika sudah lahir? " tanyaku cemas. Seperti yang aku ketahui, Cindy membiarkan Ford melakukannya padaku agar Ford memiliki keturunan dan dia terbebas dari tuntutan memberi keturunan. Padahal menjadi ibu adalah kesempurnaan bagi wanita. Berapa banyak wanita di luar sana yang menginginkan anak tapi tidak mendapatkannya. "Aku nggak mungkin melakukan itu. Kamu ibu yang baik, aku nggak mau anakku kehilangan ibu yang baik sepertimu. " Ucapan Ford melegakan hatiku. Ini bearti aku aman bersama dengan calon putraku. Tidak perlu lagi ada acara kabur-kaburan yang hampir aku lakukan dulu. "Lagi pula aku nggak mungkin biarin Cindy merawat bayi. Dia bisa meledak dan menjadi gila. " Aku dan Ford langsung terkekek membayangkan Cindy menggila karena tangisan bayi. Sungguh mengejutkan kami bisa berbincang dengan santai setelah perpisahan. Aku justru merasa lega terlepas dari tanggung jawab sebagai istri. Kami bahkan bisa berbincang sambil tersenyum tulus. "Terima kasih Ford. Aku sebenarnya takut kami mengambil bayiku. " Ford tersenyum. Dia pun meninggalkan ku sendiri di apartemen mewah milik Ford. "Bayiku sudah berada di tangan yang tepat. Oh, besok aku akan mengirim pelayan untuk membantumu. Kamu nggak mungkin sendirian di apartemen saat hamil besar. Aku akan datang sesering mungkin untuk menjengukmu. " "Aku juga akan membawakan keperluan bayi. Sudah saatnya kita menghias kamar. Oh, aku sudah mempersiapkan nama untuknya. " "Swana, kamu jangan lupa minum s**u ya? Trus ---" Mata Ford nampak bergetar, mulutnya juga ternganga. Secara keseluruhan dia terkejut. Pasti dia sadar sudah sangat cerewet. "Rupanya aku kebanyakan ngomong. " Sekali lagi dia menunjukkan wajah muram. Sejujurnya aku juga terkejut Ford berbicara tanpa henti seperti tadi. Aku pun mencoba mencairkan suasana. "Dasar kamu ini. Kok lebih cerewet dari aku. Jangan repot-repot Ford. Kamu sudah memberi aku terlalu banyak Ford. Kamu nggak perlu melakukannya. " "Ijinkan aku melakukannya Swana " "Tapi... " "Kumohon..." Kurasa aku tidak bisa menolak. Mungkin saja itu salah satu cara Ford menebus kesalahannya dan agar tidak terlalu merasa bersalah. Jadi tidak ada salahnya menerima yang Ford tawarkan. 'Ya Tuhan, seandainya Ford memang berjodoh dengan Cindy, ubahlah sifat gadis itu agar mampu membahagiakan Ford dengan sempurna. ' Yah, aku hanya mendoakan yang terbaik bagi Ford. Hanya tinggal menunggu Ford mengirim surat cerainya padaku lalu kami resmi menjadi orang asing. . . . Esok hari mbak Andrea dan Brandon datang menemuiku. Selain menyerbu masuk lalu menginvansi dapur untuk membuat sarapan---mereka berputar seperti hiu yang mengitari mangsanya. Dan sekarang aku adalah mangsa hiu pirang dan hitam. "Ayolah, kalian membuatku pusing. Berhenti berputar mengelilingiku. " Ternyata permintaanku berhasil. Mereka berdua berhenti tapi tetap menjadikanku sasaran tembak penglihatan mereka. "Kalian berpisah dengan baik-baik? Itu hal terkonyol yang pernah aku dengar seumur hidupku, " gerutu mbak Andrea. Tangannya bergerak-gerak untuk mengekspresikan perasaannya. Dari bersendekap, berkacang pinggang lalu kembali ke sisi tubuhnya. "Iya. Itu keputusan terbaik. " "Kamu nggak ngamuk? " "Enggak. Buat apa? Aku takut nanti bayiku minta lahir kalau aku ngamuk. " "Kamu ini bodoh atau gimana sich Swana. Seharusnnya kamu ngamuk atau cakar dia. Bukannya pelukan kayak yang kamu ceritakan tadi. " Mbak Andrea terlihat gemas sama aku. "Itu benar, seharusnya kamu tendang selakangannya. Jadi kamu sama Cindy sama-sama nggak dapat. Dan aku akan sangat berterima kasih padamu. " Well, Brandon agak vulgar. Dengan perut sebesar ini dia menyuruhku menendang Ford. Aku tidak mau membayangkannya. "Sekarang apa rencanamu? " tanya Brandon. "Apa kamu mau pulang ke Indonesia? " "Di sana aku nggak punya keluarga yang sayangi aku seperti kalian. Rencana pertama tentu saja melahirkan bayi ini, lalu bekerja. " "Itu bagus, lagi pula bahasa inggrismu tidak buruk. Kamu bisa bekerja di swalayanku, " tawar mbak Andrea. "Terima kasih bantuannya mbak. " Brandon nampak tidak terima dengan tawaran mbak Andrea. "Hei, kamu juga bisa kerja di perusahaan perhiasanku kok. " "Kalau itu aku harus sekolah dulu Brandon. Aku nggak mau perusahaanmu bangkrut gara-gara punya pegawai nggak konsisten. " "Kamu kan bisa kuliah sambil kerja. " "Ya ampun, kalian baik sekali sama aku. " Mataku berkaca-kaca. Memang sudah lama aku tidak mendapatkan kasih sayang keluarga seperti ini. Tepatnya sejak ayah dan ibuku menjadi TKI sepuluh tahun yang lalu. Awalnya paman sama bibiku bersedia merawatku, tapi semenjak ayah dan ibuku kecelakaan, mereka menyuruhku pergi karena tidak sanggup membiayaiku. Sekarang, aku bisa merasakan kasih sayang itu lagi. "Sudahlah. Tolong kasihani ibu hamil yang kelaparan ini. Ayo kita makan, okey?" "Oh benar juga. Gara-gara Ford aku lupa kalau ibu hamil mudah lapar. " Mereka mengelilingi meja dan mulai ikut makan bersamaku. Aku terkekeh melihat betapa komplaknya mereka berdua. Kami pun menghabiskan makanan sambil mengobrol, mencoba melupakan masalah yang ada bersama kelezatan hidangan di meja. Makanan di meja memang terlihat menggiurkan. Masakan barat dan timur bersanding di sana karena ada dua orang yang berbeda selera berada di depanku. Sejujurnya aku tidak berselera. Nafsu makanku menghilang entah ke mana. "Apa mereka akan berangkat hari ini ke Swiss? " "Ya, Ford bilang akan berangkat hari ini bersama Cindy. " Hening. Mereka lagi-lagi menatapku iba. Aku mulai terbiasa dengan tatapan itu. "Tolong jangan mulai lagi. Aku masih memiliki kalian di sisiku. " Brandon dan mbak Andrea memegang tanganku. "Ya, kamu emang memiliki kami, " ucap Brandon. Pria tampan yang kesempurnaannya setara dengan Ford ini, memang menjelma menjadi saudara ku. Begitu pula mbak Andrea. Drrrt. Drrrt. Telepon berbunyi dengan nyaring. Mbak Andrea tiba-tiba berdiri mendahuluiku untuk menjawab telepon. "Halo, ya benar. " "...." "Apa? Di mana dia sekarang?" Dari reaksi mbak Andrea, aku merasa ada kabar buruk. Apapun itu, aku harus mempersiapkan diri untuk kabar buruk. "Baik, aku akan ke sana. Terima kasih informasinya. " Mbak Andrea menutup telepin. Dia nampak bingung saat akan memberi tahu padaku berita yang baru saja tiba. "Ada apa, Mbak? " tanyaku gusar. "Kamu jangan terkejut ya? Dan tenangkan hatimu. " Aku semakin khawatir atas sikap mbak Andrea. "Mbak, memangnya ada apa? " "Ya Tuhan aku nggak pandai melakukan ini. Swana, Ford kecelakaan. " "Apa?! " Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN