Sinar matahari menyilaukan namun cukup membuatnya sadar jika saat ini si pemuda sedang mengangkat tubuhnya. Mika merasa sedang melayang di atas bumi. Sesaat terkejut, sesaat berikutnya tersadar jika ini tidak benar.
"Tu... Turunkan! Turunkan!" Bisik Mika panik.
Pemuda itu mengabaikan Mika yang memprotes. Tanpa menunjukkan kesulitan yang berarti, pemuda itu membawanya kembali ke teras rumah yang tadi ia datangi.
Mika seperti bocah kecil yang ditaruh di atas bangku teras, dan si pemuda dengan sangat hati-hati meletakkan tubuhnya di sana, bagaikan meletakkan benda berharga saja.
"Wah," kata si pemuda. "Parah ya," ia menyentuh kaki Mika yang keseleo.
Mika segera menarik kakinya menjauh dari tangan si pemuda. Sebuah lebam biru besar sudah tercetak indah di mata kakinya.
"Aku panggilkan Dokter Laurie, tunggu sebentar," si pemuda segera beranjak berdiri, ia pun menghilang dari pandangan setelah berbelok ke samping.
Mika kebingungan setelah ditinggalkan, dan beberapa saat kemudian pintu rumah itu akhirnya terbuka.
"Oh?" Seorang wanita muda muncul di ambang pintu. Wanita itu sangat cantik. Ya, luar biasa cantik dengan rambut bergelombang indah dan mata besar di wajahnya yang mungil. Entah bagaimana, sekilas wanita itu mengingatkan Mika pada ibunya. Si wanita segera menghampiri Mika. Dari dekat, Mika menduga usianya dengan wanita itu tak jauh berbeda.
"Kamu... Mika kan?" Tanya wanita itu, membelalakan matanya yang besar seperti kancing hitam mengkilat namun menawan dengan bulu-bulu matanya yang panjang dan lentik.
Mika mengangguk, tak tahu harus berkata apa.
"Oh, Namaku Nadia! Ibunya kamu!"
Mika mengerjap bingung bercampur heran. Tentu aneh ada seorang perempuan yang sebaya dengannya tiba-tiba mengaku sebagai ibunya.
Tapi ia pun teringat, dari informasi yang sudah diberikan kepadanya dari pihak keluarga ayahnya, ayah kandungnya memang memiliki istri kedua yang bernama Nadia. Namun ia tidak menyangka wanita itu sebaya dengannya.
Seketika Mika merasa geram bercampur muak. Apakah setiap pria kaya raya memang begitu? Mereka tidak pernah puas, bahkan dapat menikah lagi dengan seorang perempuan yang sebaya dengan putrinya sendiri.
"Kamu kenapa?" Nadia sepertinya menyadari ada yang salah pada diri Mika.
Ya, semuanya memang salah. Mika seharusnya tidak menerima undangan tinggal di rumah keluarga asing ini. Dia seharusnya menolak saja. Bahkan ia keseleo di hari pertamanya berada di sini. Belum apa-apa dia sudah mendapat sial. Ini mungkin pertanda agar ia harus berbalik pergi.
"Aku jatuh," Mika mencoba menjelaskan.
"Hah, kok bisa?" Wanita itu segera berlutut di depan Mika, membuat Mika keberatan dan tidak nyaman, Nadia menyentuh lebam di mata kakinya.
Mika meringis menahan sakit ketika Nadia menekan mata kakinya. Entah sengaja atau hanya sekadar mengecek. Wanita gila, pikirnya, mengumpat karena kaget.
"Maaf," kata Nadia, menunjukkan ekspresi bersalah yang tentu membuat Mika langsung memaafkan perempuan itu. "Ini parah sekali. Tapi kita punya dokter... Oh itu dia!"
Si pemuda telah kembali diikuti serombongan orang-orang.
Oh, tidak!
Mika ingin menjerit dalam hati.
Sebelumnya area perumahan ini sepi bagaikan kuburan, namun sekarang semua orang telah berkumpul di teras.
Seorang pria paruh baya dengan wajah bundar yang ramah, yang kemungkinan adalah si dokter yang disebut-sebut, dengan sangat hati-hati memeriksa kaki Mika. Mika menahan ringisan dengan menggigit bibir.
Di belakang pria itu, berdiri seorang wanita paruh baya dengan rambut dicat merah, dandanannya pada wajahnya cukup tebal, dan bibirnya dipoles lipstik berwarna merah terang. Penampilan wanita itu seperti akan pergi ke pesta saja. Dan di samping si wanita berdiri dua anak perempuan berwajah sangat mirip yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Di belakang anak kembar itu berdiri seorang pria muda lainnya dengan rambut mode comma yang ditata rapi.
"Bagaimana, Mas Laurie?" Tanya Nadia dengan suara bernada lemah lembut, menunjukkan kekhawatiran yang sangat besar, sampai-sampai Mika merasa semakin malu.
Apa yang telah terjadi?
Mengapa segalanya tampak kacau?
"Dia siapa sih?" Tanya salah satu si kembar, yang rambutnya di ekor kuda. Saudaranya yang rambutnya bergelombang panjang digerai, diam saja.
"Huss," bisik si wanita berlipstik merah. "Pastinya anak cewek itu. Siapa lagi kan?"
"Oh, anak buangan Om Louis?" Ujar si anak laki-laki terang-terangan.
Nadia dan si pemuda tampan tanpa sengaja menunjukkan ekspresi tidak enak dan berusaha untuk tidak melihat ke arah Mika.
"Nggak masalah, dek," ujar si dokter yang dipanggil Laurie. "Keseleo, hanya perlu dirawat dan sepertinya kamu akan kesulitan berjalan untuk beberapa hari. Untungnya saya punya salep yang bisa digunakan di rumah." Seperti dokter kebanyakan, pria itu menjelaskan dengan lembut dan membuat Mika bernafas lega. Tentu Mika tidak ingin mendapat kabar buruk jika kakinya harus diamputasi karena keseleo, oh itu konyol sekali.
"Syukurlah," Nadia memberikan senyuman berterima kasih pada Laurie.
"Maaf, ini karena saya..." Si pemuda berkata pelan. "Saya sedang menggali lubang untuk tempat pondasi patung almarhum Bapak Louis."
"Dasar kerja tidak becus!"
Hardikan itu keras dan mengejutkan seperti petasan di siang bolong. Mika sampai terlonjak dari duduknya. Seorang pria dengan sorot mata mengerikan naik ke teras, lalu menarik lengan si pemuda dengan kasar.
"Saya ajari dia dulu! Maafkan kami!" Seru pria itu lalu turun bersama dengan si pemuda yang terseret-seret dengan ekspresi ketakutan.
Si laki-laki muda memutar bola matanya, si kembar hanya menonton tanpa ekspresi dan si wanita berlipstik merah menghela nafas.
"Bilangin Mas Rizal, jangan keras-keras mukul Nata, Nad." Ujar si wanita berlipstik merah pada Nadia.
"Iya, Mbak." Kata Nadia dan langsung beranjak pergi turun dari teras, mengejar kedua pria tadi.
"Gerald, ayah minta bawakan kotak P3K di rumah ya," perintah Laurie pada si anak laki-laki.
"Ih, malas, Yah..." Desah si anak laki-laki.
"Gerald..." Panggil Laurie dengan nada peringatan. "Ambil kotak P3K, sekalian tongkat yang dulu pernah kamu pakai karena patah kaki."
Laki-laki muda yang bernama Gerald segera pergi dengan ekspresi malas, diikuti si kembar di belakang, yang masih melemparkan tatapan penasaran dan sorot aneh pada Mika.
Si dokter dan si wanita berlipstik merah duduk di kursi teras.
"Kamu tunggu sebentar ya, dek," ujar Laurie ramah.
"Lagian kenapa kamu bisa sampai masuk ke lubang?" Tanya wanita itu. "Oh ya, kita belum kenalan ya? Namaku Fleur, istri Laurie. Laurie adalah anak kedua dari Angkasa bersaudara. Itu artinya Laurie adalah adik ayah kamu, almaharhum Mas Louis." Jelasnya.
"Dan tadi anak-anakku," lanjut Fleur. "Dini dan Dana masih SMA, sengaja pulang lebih cepat untuk menyambut kedatangan kamu. Dan anak laki-lakiku, Gerald, mahasiswa kedokteran."
Mika berpikir apakah Henry, adik tirinya, satu kampus dengan anak yang bernama Gerald ini?
"Dan kamu pasti sudah berkenalan dengan Ibu kamu."
Lagi, aneh sekali menyebut Ibu dari seorang perempuan yang sebaya dengannya...
"Namanya Nadia, dia punya putra berusia 2 tahun, biasanya diasuh saudara kembarnya yang berwajah buruk."
"Fleur..." Peringat Laurie.
"Wajahnya memang buruk kok," kata Fleur seenaknya. "Katanya wajah adiknya pernah terkena air panas semasa kecil, jadi wajahnya begitu. Kira-kira siapa ya yang membuatnya sampai terluka begitu?" Ia merendahkan suaranya lalu tersenyum menyeringai. Wanita aneh.
Dan Mika melihat si saudara kembar yang disebut itu. Wanita itu sedang berdiri di balik jendela rumah, berkerudung dan bercadar sambil menggendong bayi. Perempuan itu langsung pergi ketika menyadari Mika sedang memandanginya.
"Dan... yang lainnya?" Tanya Mika.
"Yang mana?" Tanya Fleur, kini lebih tertarik melihat layar ponselnya, seolah telah melupakan keberadaan Mika yang asing dan sedang duduk di teras dengan kaki keseleo.
"Pemuda tadi bernama Nata, dan laki-laki satunya adalah Ayahnya, namanya Rizal." Laurie menjawab pertanyaan Mika. "Mereka berdua tukang kebun rumah sekaligus penjaga rumah Angkasa. Seharusnya Nata ada di pintu pagar untuk menyambut kamu. Tapi dia malah menyibukkan diri dengan patung Louis."
Nata... Nama itu menggema dalam kepala Mika. Jadi semua ini adalah kesalahan pemuda bernama Nata itu. Nata lah yang membuatnya menunggu dengan kebingungan di gerbang, membuatnya harus meninggalkan mobil mininya di depan, lalu membuatnya berjalan jauh menelusuri jalan setapak di antara tembok tanaman yang bagaikan labirin. Juga salah Nata yang menggali lubang hingga ia terperosok ke dalamnya sampai kakinya keseleo.
"Rizal nggak akan memukul wajah tampan anaknya," kata Fleur seolah itu adalah bagian yang paling penting. "Cuma itu yang dimiliki anaknya. Ketampanan. Sayang sekali ya." Ia mendengus. Kemudian wanita itu berdiri. "Aku harus mengecek pekerjaan Agnes," ujarnya lalu pergi memasuki pintu rumah.
"Kami agak susah menemukan kamu," ujar Laurie, melanjutkan percakapan. "Tapi syukurlah surat kami sampai ke tanganmu. Dan kamu pasti sudah bertemu dengan Lenka. Dia adalah adikku, saudara ketiga dari Angkasa bersaudara."
Mika mengangguk. Dia sudah bertemu dengan wanita bernama Lenka itu pada satu Minggu yang lalu. Lenka tiba-tiba muncul di depan pintu kosnya. Ia tidak pernah menyangka akan kedatangan tamu dari anggota keluarga ayahnya setelah sekian lama ia hidup tanpa mengenal tentang ayahnya.
Ya, ia seperti memasuki suatu drama. Seorang gadis yang selama ini berusaha hidup pas-pasan tiba-tiba saja menjadi ahli waris dari keluarga kaya raya. Lucu sekali kan?
"Seperti yang sudah dijelaskan Lenka kepadamu. Kamu adalah salah satu ahli waris penting ayahmu." Lanjut Laurie. "Namun untuk menerima warisan tersebut kamu harus bergabung dan tinggal di rumah kami. Senang sekali mengetahui keturunan Louis telah bergabung. Ini bagaikan... mimpi saja. Pembacaan surat wasiat akan dilaksanakan Sabtu nanti. Nah, Gerald sudah kembali. Untuk sementara kamu beristirahat saja dulu di kamar. Aku akan mengantarkan kamu."
"Tapi... barang-barang saya..." Ujar Mika.
"Apa yang kamu bawa?"
"Mobil saya masih di depan dan barang-barang saya ada di dalamnya."
"Berikan saja kuncinya pada Gerald. Biar Gerald yang memberitahu Pak Rizal untuk membawa barang-barang kamu."
Mika merasa ragu menyodorkan kunci mobil mininya. Gerald menerima kunci itu dengan ekspresi jengkel. Tampak jelas pria itu sangat tidak ingin mendapat tugas tambahan.
"Nah, gunakan kruk untuk membantu kamu berjalan." Laurie segera berdiri untuk membantu Mika.
Mika masih merasa ragu dengan pilihannya datang ke rumah ini, namun sudah tidak ada jalan kembali. Kakinya keseleo dan ia dibawa masuk ke dalam rumah dengan langkah tertatih.