3- Kabar

1082 Kata
Sudah hampir satu minggu Radit tidak ada kabarnya. Lelaki itu menghilang tiba-tiba tanpa pernah lagi bertemu Tari. Radit tidak mengajak Tari bertukar nomor ponsel, sehingga mereka tidak punya kontak untuk berkomunikasi sama sekali. Paling sesekali Tari bertanya pada Mamanya, lalu sang Mama akan menanyakan ke Ibunya Radit. Namun jawaban ibu Radit hanya menggeleng dan tidak terlalu mengerti akan isi hati putranya. Ibunya juga tidak ingin memaksa Radit. Lagipula Radit sudah menyanggupi untuk menjawab ke seratus pertanyaan itu, jadi Tari tidak perlu khawatir. Tetapi tetap saja Tari khawatir. Tari takut jika Radit akan berakhir seperti pemuda lainnya. Ia takut, akan kembali melakukan pendekatan dengan orang lain lagi. Mengingat usianya saat ini, menjalin pendekatan kembali dengan seorang pemuda membuatnya lelah. Namun ia tidak punya pilihan lagi jika memang itu akhirnya. Selama hampir seminggu pula, Tari selalu solat. Meminta petunjuk dari Sang Pembolak-balik Hati. Mencurahkan segala curahan isi hatinya kepada Allah Swt. Tari merasa selama hampir seminggu ini ia berharap pada sesuatu yang belum pasti. Ia resah karena hatinya telah mengharapkan dengan berlebihan seperti itu. Tari merasa berdosa.   Pada akhirnya Tari menyerah. Lalu ia pasrah akan semua ketetapan dari Allah tentang hidupnya. Tari tidak akan berharap lagi pada hal yang tidak pasti. Tidak akan berharap lagi pada Radit. Toh, ini bukan yang pertama kalinya, ia sudah pernah dan sering merasakan rasa sakit dan patah hati.   "Ngelamun, Tar!"   Tari mendongak. Menatap Pak Fero dan Gita yang memandangnya. Mereka mengerut dahi sambil memperhatikan Tari yang ternyata sudah sejak pertama kali brifing sudah melamun. Tari mengerjapkan matanya. Lalu meringis malu. Mereka ternyata memandanginya disusul oleh beberapa pasang mata lainnya.   "Baca surat dan terjemahannya." Gita membisikkan kalimat itu di telinga Tari. Mereka menunggu Tari membacakan surat Al Quran dan terjemahannya. Hal yang sudah biasa dilakukan setiap pagi.   Tari berdehem kecil dan mulai membacakan surat dan terjemahannya dengan lantang. Selanjutnya Pak Fero memimpin doa pagi, setelah itu karyawan lainnya mengaminkan. Brifing pagi diakhiri dengan teriakan yel-yel Berlian Bank.     °°°°°     Hari ini bank lumayan senggang. Jadi sebelum waktu istirahatnya berdering, Tari sebenarnya sejak tadi sudah beristirahat. Gadis itu sesekali menyemil jajanan, mengemut permen, mengobrol dengan Gita, atau Customer service lain. Selain itu Tari juga bisa merekap data yang masuk kemarin, dan menganalisis nasabah. Namun hal senggang seperti itu dimanfaatkan oleh Pak Fero untuk kembali mendekati Tari. Sejak tadi pria itu mondar-mandir di depan meja Tari, hanya sekadar menyapa atau memberinya camilan.   Seperti saat ini. Jam istirahat sudah tercetak jelas. Meja CS-nya sudah diletakkan papan bertuliskan "Istirahat", dan Tari sudah bersiap akan solat dhuhur. Namun lagi-lagi Pak Fero menghampirinya. Kali ini bahkan bertanya pada Tari banyak hal. Membuat gadis itu sedikit risih.   "Kamu berarti sekarang usia berapa ya, Tar?" tanyanya begitu duduk di kursi di depan meja Tari. Tari hanya tersenyum canggung. "26, Pak," sahutnya singkat. Gita yang ada di sampingnya hanya menggelengkan kepalanya. "Emang terniat banget sih ini Pak Fero," batinnya. Gita beranjak lalu berjalan ke kamar mandi meninggalkan Tari seorang diri. Ia sebenarnya ingin menemani Tari, namun kandung kemihnya tidak bisa diajak kompromi. Tari menatap Gita yang langsung menghilang dari tempat duduknya. Tari merasa kehilangan.   "Oh iya, harusnya usia segitu udah nikah dong. Wanita jaman sekarang kan kebanyakan nikah muda." Pak Fero kembali menyahut. Ia masih basa-basi sebelum mengungkapkan kalimat utamanya.   Tari hanya tersenyum kikuk. "Iya, Pak. Saya kan bukan wanita yang kayak kebanyakan. Masih ingin bahagiain diri dulu, sekaligus berbenah diri." Hanya itu alasan yang berhasil Tari lontarkan. Ia melirik rekan kerjanya yang lain yang sudah bergegas menuju pantry untuk makan siang. Tari mencari-cari Gita dan melirik ke arah kamar mandi. Namun Gita tak kunjung keluar juga.   Pak Fero hanya terkekeh. "Iya bagus itu, berbenah diri. Kamu kan cantik, pasti banyak yang suka." Kini pria itu sudah mulai menunjukkan jurusnya. "Udah ada yang ngelamar?" tanyanya. "Wanita usia segitu kan udah pantas menikah. Saya yakin teman-teman kamu yang lain udah pada nikah, kan."   "Saya usia 26 masih belum berstatus nikah, kok, Pak." Gita berkata secara tiba-tiba dan menghampiri Tari. Akhirnya kini Tari bisa bernapas lega setelah kehadiran Gita. Gita melirik ke arah Tari. "Ya kan, Tar?" gadis itu terkekeh.   Tari tersenyum lebar dan mengangguk. "Iya tuh, Pak. Gita aja belum nikah."   "Tapi Gita kan sudah bertunangan. Istilahnya sudah punya calon suami." Pak Fero berkata dengan kekehan. Lalu melirik Tari lagi. "Tari memang sudah ada gebetan, atau laki-laki yang sedang mendekati?" sambungnya.   Tari melirik Gita, mereka saling melirik sebelum akhirnya Gita berseloroh. "Memangnya kenapa sih, Pak, dengan usia 26 tahun dan belum menikah? Dosa banget, ya?"   Pak Fero terdiam. Ia langsung berdehem dan memasang ekspresi segan. "Eh bukan maksud saya begitu."   "Sebenarnya maksud Bapak belakangan jadi tumben baik ke saya itu apa, ya, Pak?" Kini gantian Tari yang berani meng-skak ucapan Pak Fero. "Mau jodohin saya dengan siapa?" tanyanya to the point. Ia sudah risih berbasa-basi.   "Aduh, bukan gitu maksudnya, Tar." Pak Fero gelagapan. "Keponakan saya sedang mencari calon." Akhirnya ia berterus terang.   Tari tidak ingin bersikap tidak sopan sebenarnya. Namun ia juga lelah menanggapi basa-basi Pak Fero sedari tadi. Jadi ia putuskan untuk mengakhiri percakapan basa-basi itu dengan alasan yang cukup mencengangkan beberapa orang di sana. "Saya sedang menunggu jawaban seratus pertanyaan yang saya ajukan untuk seorang pemuda yang dikenalkan Mama saya, Pak. Kalau saya gak salah hitung, harusnya kami bertemu hari ini."     °°°°     Tari menyesali ucapannya tadi siang. Karena kini seisi bank jadi membicarakan Tari. Persisnya membicarakan terkait Tari yang katanya akan segera bertemu pujaan hatinya dan menolak keponakan Pak Fero yang ganteng itu. Termasuk Gita. Gadis itu sedari tadi merecokinya dengan berbagai pertanyaan. Beruntung setelah jam istirahat, bank mendadak ramai. Jadi Tari sejak tadi akhirnya menyibukkan diri bersama nasabah. Namun begitu sepi dan lengang lagi, Gita akan kembali bertanya padanya. Membuat Tari kelimpungan. Terang saja Gita penasaran, Tari sudah setahun belakangan dikenal sebagai jomblo, dan satu-satunya yang masih single di kantornya. Maka dari itu Gita langsung penasaran tentang siapa laki-laki yang sedang melakukan pedekate dengan Tari.   "Sstt.. sstt.."   "..."   "Tar. Siapa cowoknya?" Gita membisikkan padanya.   Tari pura-pura tidak mendengarnya, dan kembali mengotak-atik komputer di depannya. Padahal sejak tadi ia juga bingung ingin membuka aplikasi apa, karena pekerjaannya sudah selesai semua.   "Tar."   Ucapan Gita terputus saat seorang nasabah maju ke meja Tari. Gita memundurkan kepalanya dan gantian memanggil nasabah lain di depannya.   "Assalamualaikum-" Tari menggantung kalimatnya. Ia tertegun memandang sosok nasabah di depannya. Seorang perempuan paruh baya berjilbab pink dan berdandan tipis. Perempuan itu yang mendatangi banknya seminggu yang lalu bersama putranya.   "Nak Tari apa kabar?" tanyanya dengan ramah. Wajah khas keibuan langsung menyapa Tari.   Tari tersenyum. "Alhamdulillah baik, Bu. Ibu sendiri apa kabar?" tanya Tari. Lalu tatapannya mengedar mengawasi sekitar bank. Namun sosok yang ia maksud tak datang bersama Ibunya.   "Ibu gak datang dengan Radit hari ini."     °°°°            
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN