4

1896 Kata
Kedua pasangan sejoli itu nampak saling diam setelah kegiatan yang cukup menguras tenaga diakhirinya satu jam yang lalu. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari dan dua sejoli itu hanya diam sambil menautkan jari jemari masing-masing dengan selimut tebal yang membungkus tubuh polos keduanya.   Lelaki berparas tampan dengan rambut emas madu yang sedikit berantakan mencoba menenangkan gadisnya yang berada dipelukannya. Gadis yang sangat dicintainya menangis dengan isakan pelan diatas d**a bidangnya setelah apa yang didengar dari mulut kekasih tercintanya.   Lelaki itu semakin mempererat pelukannya pada tubuh mungil yang berada didekapannya. Seolah-olah tubuhnya akan rapuh seperti kaca yang mudah terpecah.   "Aku akan tinggal di Paris." Lelaki tampan itu memulai mencairkan suasana yang hening sambil terus mengelus lembut rambut halus gadisnya. "Kau harus ikut! Kita akan tinggal disana." Setelah dengan jeda mengambil napas, lelaki itu melanjutkan ucapannya.   Gadis itu berangsur perlahan melepas pelukan terhangat yang selalu disukainya sambil menatap kearahnya bola mata hazle indah didepannya ini. Mencari suatu kebenaran. Memastikan bahwa telinganya masih baik-baik saja.   "Bagaimana dengan gadis itu? Bukankah dia sudah menjadi istrimu dan kau ingin mengajakku tinggal bersama kalian?" Gadis itu menitihkan air matanya lagi dari sudut bola mata biru cerahnya.   Lelaki itu merengkuhnya ke dalam pelukan hangatnya lagi. Sudah menduga jika akan mendapat jawaban seperti ini.   "Kau tahu? Aku hanya mencintaimu. Sudah kukatakan jika hanya kau yang aku inginkan menjadi istriku, ibu bagi anak-anakku dimasa depan. Kau tak lupa bukan jika aku dijodohkan?"   Suasana kembali hening. Gadis itu hanya diam dan semakin menenggelamkan wajahnya di d**a bidang lelaki yang telah mengisi kekosongan hatinya hampir empat tahun ini. Lelaki yang memiliki sejuta pesona. Gadis itu bersyukur karena memiliki lelaki itu dan dicintai dengan sangat tulus.   ****   Matahari sedikit menerobos masuk lewat celah-celah gorden yang sedikit terbuka dan sedikit mengusik mimpi indah gadis dengan mata cokelat terang di atas ranjang mewah dan empuk itu. Perlahan membuka kedua bola matanya dan menatap jam dinding yang bertengger indah di depan sana. Pukul tujuh pagi.   Gadis itu melangkahkan kedua kaki jenjangnya menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini gadis cantik itu akan menemui sahabatnya yang berada di kawasan Baverly Hills. Tak jauh dari hotel mewah tempatnya menginap semalam.   Senyum cantik selalu tersungging di bibir Amora. Sudah berapa lama dirinya tak bertemu dengan sahabat yang bernotaben seorang model di negeri Paman Sam ini. Bahkan sahabatnya itu rela memutuskan berhenti sekolah untuk mengejar cita-cita yang bahkan sangat ditentang oleh kedua orangnya.   Selesai dengan acara mandi yang menyegarkan, Amora, gadis itu segera keluar menuju ruang ganti dan memilih pakaian santai untuk dipakainya. Ya, selera dalam fashionnya sangatlah simpel. Dengan cekatan, Amora memilih tshirt merah dengan cardigan hitam juga jeans hitam yang membungkus kaki jenjangnya. Tak lupa sepasang flat shoes berwarna hitam menjadi pilihannya pagi ini.   Selesai dengan pakaiannya, Amora segera merapikan rambut cokelat sebahunya dan membiarkannya tergerai bebas.   Sambil mengecek kembali barang bawaan di dalam tas kecil memastikan semua kebutuhannya tak tertinggal. Lantas bergegas keluar untuk menuju kearah lobby yang berada di lantai bawah.   ****   "Miss?" sapa beberapa staf hotel ketika Amora sa,pai di lobby. Dengan senyum kikuk, Amora membalasnya sambil berlalu menuju resepsionis.   Resepsionis cantik dengan tatanan rambut di sanggul itu hanya tersenyum lebar dan menunduk patuh saat Amora berjalan menghampiri kearahnya.   "Miss Amora harusnya menelepon agar keperluan sarapan pagi kami antar," ucap resepsionis bernama Vanna, terlihat dari name tag di sisi kiri seragam kerjanya.   "Tak perlu. Aku akan sarapan di luar bersama seseorang. Jika Xander kembali, bisa sampaikan kalau aku sedang keluar."   Vanna tersenyum mengangguk dan kembali menundukkan kepala tanda mengerti.   Usai dengan itu, Amora segera keluar dan menyetop taxi untuk bergegas ke rumah Sarah, yang sudah menunggunya.   ****   Xander terbangun dengan seseorang berada di dekapannya. Tersenyum tipis, ia kecup keningnya dan beralih ke bibir tipisnya yang menjadi candu selama ini bagi Xander.   Senyum semakin mengembang mengingat kejadian semalam. Ah, sungguh gadis di dekapannya ini sangat manis dengan semburat rona merah di pipinya.   Tak lama, kedua bola mata cantiknya bergerak perlahan dan terbuka sempurna. Xander sangat menyukai bola mata biru cerahnya. Ya, ia menyukai semua yang ada pada dirinya.   "Morning sweetheart." Xander melayangkan kecupan-kecupan di atas bibir tipisnya beberapa kali—lagi.   "Morning Xander. Kenapa tak membangunkanku? Aku bisa segera membuatkan sarapan untukmu."   Xander terkekeh. Suara seksi khas bangun tidurnya juga wajah imut yang sedikit berantakan.   "Mau mandi bersama," tawar Xander mengajaknya untuk berendam. Dia hanya mengangguk tanda setuju. Xander segera menggendongnya menuju kamar mandi dan menyalakan air hangat serta wewangian mawar.   Setelahnya, Elle duduk di pangkuannya dan Xander memeluknya dari belakang. Posisi ini sungguh menyiksa. Tangan Xander bermain diatas perut ratanya. Dan Elle dengan nyaman menyandarkan kepalanya didada bidangnya. Sesekali Xander kecupi bahu telanjangnya.   20 menit, Xander segera membilas badannya dengan air hangat dan segera keluar menuju ke ruang ganti untuk memilih pakaian.   ****   "Kau akan sarapan apa?" Elle bertanya pada Xander. Sejak lima menit yang lalu dirinya dan Elle baru sampai di restoran yang tak jauh dari apartemen. Xander hanya memandangi wajah cantiknya yang di poles dengan kosmetik namun masih terlihat natural.   "Samakan saja denganmu sayang." Setelah beberapa detik berpikir Xander menjawab dengan asal. Fokusnya tertuju pada satu titik. Gadis yang sedang duduk di samping jendela tak jauh dari tempatnya duduk. Amora. Entah dengan siapa dia duduk dan tertawa lepas seperti tak ada beban sama sekali.   "Pancake dan latte." Samar-samar Xander mendengar Elle menyampaikan pesanan pada pelayan yang sedari tadi setia berada di sisi kanan meja.   "Baik nona." Pelayan itu bergegas pergi. Xander mengalihkan pandangan dan menatap Elle sambil tersenyum hangat.   "Xander, boleh aku meminta sesuatu?” Xanderhanya mengerutkan kening. Sejak kapan Elle meminta ijin padanya?   Xander mengangguk dan melihat binaran bahagia dari wajah cantiknya.   "Bolehkah aku meminta koleksi tas terbaru. Hanya ada beberapa koleksi di dunia ini."   Xander terkekeh. Ia pikir Elle akan meminta suatu hal konyol—meninggalkannya mungkin. Xander ulurkan tangannya untuk mengelus pipi kanan Elle yang lembut dan tersenyum hangat padanya.   "Kau bahkan boleh meminta lebih padaku sweetheart." Xander memberikan kartu kredit untuk Elle untuk berbelanja apa yang diinginkannya.   Dapat Xander lihat kedua bola matanya membulat sempurna dengan lucu. Xander terkekeh pelan dengan sikap Elle yang seperti ini. Manja.   Kembali mengedarkan matanya untuk melihat di mana tempat Amora duduk. Kosong. Hanya ada gadis dengan dress hitam selutut yang duduk sambil menyesap kopinya.   "Aku akan segera kembali, oke." Xander mengecup dahi Elle dan bergegas berjalan kearah toilet.   ****   Amora melihatnya. Mereka berada di satu ruangan restoran dan berpura-pura tak saling mengenal. Amora bahkan melihatnya tersenyum. Senyum hangat yang hanya di berikannya pada kekasih juga orang terdekatnya. Tuhan, perasaan apa ini. Kenapa dadanya seakan sakit dan tertimbun beban berton-ton. Kenapa melihatnya tersenyum dan bukan karena dirinya rasanya sangat sakit.   Amora bergegas menuju toilet. Rasanya air matanya sudah akan terjatuh. Dan Amora tak ingin Sarah melihatnya.   Berdiri di depan cermin dan melihat pantulan dirinya di depan sana. Begitu menjijikkan dan bahkan mengejek. Amora bodoh. Sangat bodoh.   Membasuh mukanya untuk mengurangi tampilan kusut yang melekat dan mengeringkan dengan tisu lantas bergegas keluar.   "Oh astaga." Amora terkejut dengan seorang lelaki yang berdiri di depan toilet wanita dan menatap tajam dirinya.   Xander. Dia Xander. Bagaimana bisa dia tahu Amora berada di toilet dan untuk apa dia berdiri di depan toilet wanita?   Setelah menguasai rasa terkejutnya, Amora segera berjalan dengan cuek untuk keluar. Namun baru satu langkah, tangannya serasa di cekal dengan kuat dan membuatnya harus berhenti serta menoleh kearah kiri.   "Apa aku mengijinkanmu pergi Miss Amora?" tanyanya tegas dengan sorot mata tajam mengarah tepat ke manik mata cokelat bening Amora.   Amora mencoba melepaskan cengkeramannya, namun percayalah. Tenaganya tak cukup kuat untuk melawan tenaga Xander.   "Dan apa yang kau lakukan di sini? Kau pergi tanpa ijin dariku!" tanyanya sekali lagi dengan nada naik satu oktaf. Amora hanya tersenyum sinis dan menatap muka datarnya.   "Bertemu sahabatku. Sekarang bisa kau lepaskan aku. Aku masih punya janji dengan sahabatku."   Amora melihatnya. Tatapan tajamnya tepat menghunus jantungnya jika itu bisa dengan mudah membunuh.   "Kau bilang, kau tak butuh kebebasan. Lantas, untuk apa kau keluar dan bahkan tanpa meminta ijin dariku. Kau istriku, jika kau lupa Miss Amora!"   Terdengar nada sarkastik dari celah bibir seksinya. Amora tersenyum mengejek dan mengangkat sebelah alisnya.   "Kupikir kau paham apa maksudku. Namun baiklah akan aku pertegas lagi. Memang iya, aku tak butuh kebebasan tapi bukan berarti kau berhak melarangku. Kebebasan dalam artianku adalah, tidak pergi ke kelab atau mungkin berbelanja dan lupa waktu. Aku dan sahabatku baru saja bertemu setelah dua tahun dia menetap di Los Angeles."   Amora menjawab serta melayangkan tatapan tak kalah sengit dan bergegas berjalan, namun tak lama membalikkan badannya untuk menatapnya sekali lagi.   "Kau akan tetap berdiri di situ dan membuat kekasihmu menunggu?" Amora segera berjalan keluar dan menghampiri Sarah di mejanya.   Amora melayangkan bola matanya menyapu seisi ruangan restoran dan menangkap sosok gadis yang tak asing baginya. Bukan, bukan karena gadis itu yang Amora kenal. Namun lebih kepada lelaki yang berdiri di samping kanannya dan memberi lumatan di bibirnya. Amora hanya memperhatikan selama sekian detik dan kembali mendengarkan ocehan Sarah yang sedikit merajuk karena lama ia tinggal.   Tak lama, sudut mata Amora menangkap sosok Xande yang berjalan dari arah toilet dengan wajah yang sedikit lesu. Amora hanya membuang muka dengan cuek dan segera bergegas pergi setelah sebelumnya meninggalkan beberapa lembar dollar di atas meja.   ****   "Kau harus mencoba dress ini. Aku sengaja merancangnya untukmu Amora. Anggaplah sebagai kado pernikahanmu dan maaf karena aku tak sempat datang."   Amora sedang berada di butik Sarah. Selain model, Sarah mengelola beberapa butik ternama yang ada di Los Angeles dan New York. Jangan lupakan soal dua kota yang menjadi fashion di dunia selebriti di hollywood. Amora menerima dress pemberiannya. Sarah selalu mengerti seleranya dalam fashion. Sederhana namun mewah dan tak terkesan mencolok.   "Aku akan meluncurkan dress ini besok. Kuharap kau bisa menemaniku."   "Akan aku usahakan. Dan terima kasih untuk dress ini. Kau yang paling mengerti ini."   Amora memeluknya sebentar dan bergegas berjalan kearah ruang ganti.   Setelah terpasang sempurna di badan rampingnya, Amora segera menemui Sarah.   "Sarah, sungguh rancanganmu sangat mengesankan. Terima ka..."   Belum sempat Amora menyelesaikan ucapannya dan mendapat sepasang kaki dengan sepatu yang tak asing dimatanya.   Amora mendongakkan kepalanya dan ya benar saja. Dugaannya tak salah. Xander berdiri tepat di hadapannya dengan gadis di sampingnya. Gadis yang Amora lihat di restoran tadi dengan manja bergelayut di lengan kekar Xander. Amora hanya mengalihkan pandangannya dan segera mencari Sarah.   Amora tahu, Xander menatapnya tajam. Kelewat tajam bahkan. Namun Amora tak peduli. Dan lihatlah, Xander melarang Amora namun dia pergi dengan sesukanya. Bukankah itu menyebalkan?   ****   Setelah satu hari penuh Amora menghabiskan waktu dengan Sarah dan malam semakin larut, ia putuskan untuk kembali ke hotel. Mandi dan segera beristirahat.   Namun, baru beberapa langkah kakinya memasuki hotel, terdengar samar-samar suara televisi yang dinyalakan. Amora bergegas berjalan kearah dalam dan mendapati Xander sedang duduk manis dengan acara televisi entah apa yang tak Amora mengerti.   Sebenarnya, setelah kejadian pagi tadi direstoran, Amora sedikit malas bertatap muka dengan wajah datar Xander. Jadi segera ia putuskan masuk ke kamar dan berniat mandi.   Tapi, suara berat bariton seksi itu menghentikan langkahnya dan mematung di depan kamarnya. Mengurungkan niat Amora untuk membuka kenop pintu.   "Bisa kita bicara?" Suaranya terdengar mengalun lembut dan sedikit serak. "Duduklah," ucapnya lagi setelah tak ada tanggapan dari Amora sambil menepuk sofa empuk di sebelahnya.   Amora berangsur berjalan dan duduk di sofa sebelah kanannya. Bukan, bukan duduk di sebelahnya. Lebih tepatnya sedikit menjauh darinya.   "Bicaralah." Amora menjawab pelan namun meyakini jika Xander mendengarnya. Terdengar helaan napas kasar juga raut muka yang sedikit kusut serta mata memerah. Amora tak berniat untuk bertanya dan mengalihkan fokus pada acara televisi.   "Kita akan menetap di Paris. Beberapa cabang baru kantor di buka di sana. Dan kau bisa saja mulai bekerja di sana. Menjadi asistenku."   Amora tetap tak bergeming. Menunggu kelanjutan ucapan Xander.   "Kuharap kau bersiap. Dua hari lagi kita berangkat."   Amora menarik napas dalam dan berdehem pelan selebihnya berlalu pergi menuju kamar. Ia butuh mandi. Badannya terasa lengket karena keringat.   "Kau tak keberatan bukan jika Elle bersama kita?" Sontak Amora berhenti setelah beberapa langkah menuju kearah kamar. Ia hanya tersenyum kecut dan mengangguk perlahan. Entah Xander melihat atau tidak, Amora tak peduli.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN