Pip! Pip! Pip!
Ck! Apaan, sih, berisik banget?! Gue lagi tidur ini, bukan lagi nyanyi dance monkey. Eh, tunggu bentar. Ini bunyi alarm gue. Wah, hebat! Bisa juga, ya, alarm bunyi di zaman baheula. Untung gue sendirian aja di kamar, so kagak ada yang denger. Sempet makhluk prasasti di sini denger, auto jogging jantungnya dari kerajaan Majapahit sampai ke kerajaan Sunda Empire. Atau, keraton Agung Sejagad?
Mata gue, sumpah berat banget pas coba di buka. Jamin banyak belek nih mata gue.
"Ha? Masih jam empat ternyata." gumam gue. Mulut gue mendadak kebuka lebar. Nguap, narik oksigen ke dalam perut kemarukan. Berdoa aja pasokan oksigen di bumi nggak menipis. Semisal menipis, udaahhh... Sans aja gaes! Kita bisa pindah ke planet mars. Buat usaha ternak tapir es di sana bareng alien.
Sebentar gue kucel-kucel mata. Kedap kedip, soalnya nih pandangan gue masih burem. Nggak baik, berkeliaran kalo keadaan setengah sadar. Entar nabrak, oleng, nyungsep.
Btw, anyway, busway. Persentase batre gue masih 95 persen! Banyak, bisa buat selfie, nge-vlog, mukbang, videoin es kutub yang mencair, melestarikan populasi badak jawa agar gak punah, lakuin sesi wartawan ke penduduk Majapahit, terakhir tukeran nomor hp sama cogan di sini.
Bjiirrr! Emang di sini udah ada hengpong? Alexander gigi geraham bele mungkin masih dalam bentuk zigot. Kadang otak gue berpikir diluar logika manusia. Secara gue ini bidadari yang nemplok ke bumi. Makanya cara pikir gue beda.
Gue berjalan ke arah jendela. Entahla, ini di sebutnya jendela atau lobang semut. Kecil amat. Orang jaman dulu pelit banget.
Lagi-lagi pasokan oksigen di bumi, gue habisin. Biar sesak napas kelen, engap-engap mulut kelen kek ikan cupang mabok darat. Wkwkwk.
"Selamat morning kesubuhaannn, eperi bodeehhh! Indahnya pemandangaaannnn, tapi nggak ngeliat cogaaannn lewaaatt!" teriak gue di pagi buta. Bukan orang aja bisa buta, asal kelean tau. Pagi pun bisa buta. Mata hari, matanya rabun jauh. Maklumkan.
Bodo amat, sekampoeng Majapahit bakalan denger. Sengaja, biar mereka pada bangun, terus keroyokin gue. Siapa tau bisa viral, kan? Ada yang videoin, terus video gue trending di yutub judulnya, "Majapahit gempar! Makhluk +62 menunjukkan ekfektivitas ke bar-barannya!"
"Heehh, udah jam 4, bentar lagi masuk subuh! Gimanaaaa, caranya gue bisa ambil baju-baju gue di mobil yak?" pikir gue bingung, 40 kali keliling hati doi yang nggak berujung. Ada sih, ujungnya. Ujung-ujungnya dia dengan yang lain duduk berdua di pelaminan, sementara gue duduk sendiri di kursi tamu undangan. Eaaakkk!
Lama bergulat dengan otak gue yang bentuknya setengah lingkaran derajat vertikalisasi ini, akhirnya gue mutusin buat keluar. Ngendap-ngendap, dengan cara nemplok di dinding kayak cicak kurang belayan.
"Duh, banyak prajuritnya lagi."
Gila bener. Apa nggak tidur malem, ya, nih orang pada? Dari gue dateng, tetap berdiri mulu nggak bergerak sedikit pun. Barisannya rapiiihhh, serapih baju rumah gue yang di gosok menggunakan pewangi pakaian rapika. Aman di gunakan, dan tidak kembung di perut. Mama tau mana yang halal.
"Terakhir kali, mobil gue parkir di mana, yak? Masa mobil segede permen karet big babon gitu, nggak keliatan." pandangan gue nyebar ke segala arah.
"Mengapa kau berdiri sendirian di sini?"
"EH, CACING BESAR ALASKA, KESURUPAN MAS LUCINTA LUNA!" kaget gue, langsung nengok ke belakang. Ternyata yang barusan ngegetin gue itu, Hayam Wuruk. Sialan bener, the king of fakboy jaman old ini. "Lo ngagetin gue, anjir! Bisa nggak, dateng itu santuy? Ini... Dateng-dateng udah sebelas dua belas kayak jelangkung aja. Dateng nggak di undang, pulangnya mau di anter makek gocar pula."
Alisnya terangkat satu. "Kau aneh, dayang baruku. Berbicaralah kata yang dapat aku mengerti. Dan... Ku perhatikan sedari tadi, kau berdiam diri di depan kamarku. Ada apa gerangan?"
"Hidih, aneh? Sorry, dorry, morry, strawberry, yeeee.... Gue nggak aneh, tapi gue absurd. Which is itu emang karakter seorang warga plus enam dua. So, lo di no no no protes, right?"
"Semakin aneh." Hayam Wuruk geleng-geleng kepala. Takut gue, kepalanya copot, entaran minta ganti yang baru lagi. "Lantas, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Ada apakah gerangan, kau berdiri di depan kamar seorang Raja? Tentulah ini tak baik di mata orang-orang, jika wanita berdiri di kamar pria. Apalagi, itu seorang Raja."
"Hah, ini kamar?!" selangkah gue ngejauh, ngeliat dari atas ke bawah pintu yang menjulang tinggi di belakang. "Gue pikir, ini indoapril yang buka 24 jam kayak semua prajurit lo itu."
"Btw... Gue mau nyari letak mobil gue ada di mana, nich. Bisa tolong tujukkin di mana mobil gue berada? Entar gue kasih hadiah, deh. Doprize kulkas dua puluh pintu."
"Mobil?"
"Hadeehhh!"
Sabar Ricis, sabar. Orang sabar, di sayang doi. Balasannya dia bakal respon, lo. Hidih, ngarep betul.
Terpaksaaa demi kejayaan bangsa dan Negara, gue ngomong formal kali ini. "Kendaraanku. Apakah kau sudah mengerti, Baginda Sri Rajasanegara? Kotak aneh yang membawaku kemari." jelas gue gregetan. Lama-lama gue telen juga lo Hayam Wuruk.
Kepala Hayam Wuruk naik turun. Keliatannya dia paham. "Ah, aku tau. Kotak anehmu ada di bagian Sendang Sagaran."
"Hah, nendang? Nendang apaan? Lo kata lagi maen bola kaki." sumpah, gue ngakak on the floor.
"Sendang. Sagaran." dua kata itu dia tekan. Keliatan kesal dia, pas nyebut dua kata tadi.
Rasain! Kesel, kan, lo, ngejelasin hal ke orang yang nggak paham maksud omongan dari lo? Kek gitu juga gue, Hermawan!
"Di mana itu?" tanya gue.
"Di bagian barat Keraton. Tempat pemandian para Raja dan Ratu terdahulu. Bisa juga di jadikan sebagai tempat berlabuhnya sesembahan rakyat Majapahit, sebagai bentuk rasa sykur terhadap Dewa Brahma." panjang kali lebar, kali tinggi, Hayam Wuruk ngebacot. Tapi, tetap aja, gue ambil sikap BODO AMAT!
Gue garuk kepala cengengesan. "Bagian barat.... Arah sana, kan, yak?"
Bola mata Hayam Wuruk berputar. Awas, bola mata lo jangan sampe mundur alon-alon.
"Biar ku tunjukkan letaknya. Sekalian, aku akan menunjukkan seluruh penjuru Keraton Majapahit yang harus kau syukuri keindahannya." dia jalan deluan, terus gue ikutin.
"Lebay banget sih, lo. Indahan juga pasar tanah abang. Banyak diskonnya. Di tambah lagi banyak cogan sama cabe-cabean chap chili obralan di sana." celetuk gue, dan responnya selalu sama. Kerutin dahi, nggak ngerti. Syukur banget, sih, dia nggak ngerti kata-kata gahol. Sempat ngerti, mampus! Auto di ruqyah gue sama Hayam Wuruk.
"Eh, Baginda Sri Rajasanegara yang ganteng banget. Perjalanan kita, usahakan jangan ada prajurit yang mengikuti ya?" pinta gue penuh harap. Jangan lupakan jurus andalan gue, yaitu kedap kedip manjaahhh.
"Mengapa? Kau merasa tak enak?" tebak dia, gue akui sepenuhnya benar. Nggak enak, kagak usah makan, Mas. Gitu aja repot. Oh, ya, karena benar, catet dikit doang benarnya, kepala gue ngangguk samar.
"Baiklah."
Eh? Mudah bener, dapet sepertujuan dari dia? Awalnya gue pikir, harus ngelakuin ritual khusus dulu. Contohnya ngasih kemenyan ke batu, atau ngajak batle kucing main tik tok.
"Jalan ke sendang sagaran, agak gelap, ya? Lo jadi Raja ngapa pelit amat, buat beli lampu 5 watt aje. Ngabis-ngabisin pohon di bumi ae lo, makek kayu-kayu gini." tunjuk gue ke kayu yang Hayam Wuruk pegang, ada apinya. Di setiap setapak jalan, ujung-ujungnya juga nancep banyak obor.
"Kita hanya berdua saja." celetuk dia tiba-tiba.
Perasaan gue teriak bilang, ini bahaya. Kaki gue langsung ngejauh. "Lah, terus? Ngapa? Oh, lo ini sama aja kayak cowok-cowok di luaran sana! Cuktaw ya, Mas, kamu cuma manfaatin tubuh aku doang! Aku jyjyk sama, Mas! Jyjyk!" teriakku layaknya sinetron alay seorang istri yang teraniaya.
"Kau ini kenapa? Aku hanya ingin bertanya denganmu, sebetulnya kau ini berasal dari mana? Pakaian dan cara bicaramu berbeda dengan orang Majapahit lainnya."
Oalah, bilang dong, upil mimi peri. Kan, kalo bilang dari awal, guenya nggak seudzhonan deluan. Malu banget, a***y! Malu-malu tapi mau, sih, sebenarnya. Asal di kasih upeti dua pulu rebu kotak emas, ikhlas lahir batin geledah akoh Mas!
"Gue dari Indonesia." jawab gue seadanya. Soalnya arah mata gue fokusnya ke bawah.
Gue lagi nyari sesuatu di tanah. Siapa tahu nemu intan, pemata, dan sebongkah berliaaannnn! Sayang akuuuu... Bukanlah Bang Toyiibbb. Yang tak pulang-pulang, yang tak pasti kapan dia dataangg!
Jeng, jeng, jeng, tressss, wer ewer seerrr! Aseekkk! Makaseehh semwa, dah denger nyanyian gue. Retjeh nya tolong, di berikan. Kesian, 5 hari 7 malam belom makan, Pak, Buk...
"Indonesia? Daerah mana itu? Dari banyaknya pulau yang ku lewati serta takhlukan, tak pernah ku jumpai daerah yang bernama Indonesia. Apakah daerah itu, belum Majapahit takhlukan?" tanya Haram Wuyuk, sambil gue dan dia terus berjalan. Lama amat nyampe ke Dendeng segeran.
Bener, kan, yak, namanya itu?
Ini juga, si Hayam Wuruk. Gue baru aja ketemu dia sehari, kok makin alay, yak, cara bicaranya. Melebihi bowo alphenlible muach! Kesian temen-temen sekelas gue, sama Guru sejarah gue yang pernah bilang, kalo Hayam Wuruk itu raja yang tegar, adil, dan makmur lah. Persis kek isi undang-undang. Nyatanya alaynya dia lebih kuadrat pakek kisaran logaritma dari Bowo.
"Indonesia mana bisa lo taklukin."
"Mengapa tidak bisa? Apa yang timbul di keinginanku, niscaya akan tercapai." balas Hayam Wuruk, swombhong nya minta ampun. Gue doain, lo dapet adzab. Adzabnya lo mati keselek biji nangka.
"Yeeee, lo di bilangin ngeyel beneerr! Gini, ya. Di Indonesia, segala sesuatu itu udah nggak ada harga dirinya. Lo pikir aja, orang lagi gempa malah rakyat plus enam dua masih tetap santuy makan di warteg. Setan aja sembarangan di grepe-grepe. Jangankan itu. Angin topan aja di ajak main lompat tali!" terang gue semangat empat lima banget, kalo berurusan dengan negara plus enam dua yang tercintaahhh!
"Ucapanmu tak sepenuhnya aku pahami, tetapi dari cerita yang kau sampaikan, agaknya Indonesia sulit untuk di takhlukan."
Alhamdulillahhh... Ngerti juga nih orang. Nggak sia-sia mantra guna-guna gue. Bekerja juga.
"Bener, apa yang lo bilang. Berani lo serang Indonesia, percayalah sama gue Bagindaaa. Pulang-pulang ke Majapahit, kepala lo pindah posisi ke kaki! Lo bakalan ketemu senjata terkuat dari prajurit plus enam dua."
"Senjata terkuat yang melebihi senjata Majapahit? Katakan, apakah itu?"
Hayam Wuruk keliatan terkejut banget. Ini yang t***l bin g****k sebenarnya siapa, sih? Sekarang, kan, gue lagi ceritain tentang Indonesia yang bekas daerah Majapahit dulunya. Au, ah, ikuti aja alur cerita buatan Author gaje kita. Entar gue kagak di gaji lagi, kalo nentang-nentang sembarangan. Alusiinnn teerooszz ajaaa Authornyaaaa, sampe mamposzzz!
"Panci penggorengan dari Buibu plus enam dua yang kalo di jalanan terkenal sebagai ras terkuat di jalan. Para jomblo tukang rebahan, yang kalo di senggol auto bacok baku hamtam. Terus, para buciners yang bakalan nendang lo dengan sejuta gombalan merana. Banyaklah lagi. Mending lo jangan macem-macem mau war sama Indonesia, deh. Mending lo maen engklang aja di Majapahit bareng Mahapatih Gajah Mada." jelas gue makin lama makin ngaco. Gue yakin, otak Hayam Wuruk bentuknya nggak normal lagi. Udah berbelit kayak kabel hendset.
"Apakah bahasa aneh lo gue yang selalu kau lontarkan setiap berbicara, adalah bagian dari daerahmu Indonesia?"
"Of course... Tentu saja! Jadi, lo harus mengertikan bahasa gue, ya? Kadang lidah gue kebelit, pas ngomong formal."
Hayam Wuruk ketawa samar. Tambah ganteng bangeetttt maksimaalll!
"Tidak masalah, tetapi sebisa mungkin kau berbahasa yang bisa aku mengerti. Meskipun sedikit."
Kepala gua ngangguk aja. Nurut apa kata dia. Raja kayak dia harus di halusin, sama kayak Author. Bisa jadi gue kepercik hartanya dikit. Mayan bisa beli ayam geprek.
Gak lama jalan kaki, akhirnya setelah mengeliling samudera pasifik dan hindia tujuh ratus keliling, ketemu juga mobil gue. Langsung aja gue lompat kegirangan kayak anak dajjal. Njir, creppy bener anak dajjal.
Gurih-gurih nyos!
"Itu mobil gueee!" teriak gue histeris, nunjuk mobil gue yang terparkir di bawah pohon lebat.
Mulai curiga gue, mikir tante kunti sempat bertengger lagi di atas mobil gue. Hiihhh, sempet beneran, ngamuk gue seriusan. Minta ganti rugi gue, suruh tuh kuntilanak cuci mobil gue makek bajunya selama sebulan.
"Lalu? Apa yang akan kau lakukan selanjutnya dengan... Benda ini?"
Pas bagian benda ini, Hayam Wuruk kayak natap aneh mobil gue. Awas, lo. Tunggu aja, pas gue ajak lo keliling naik mobil. Gue jamin, lo girang beneran, tereak-tereak sampe jakun lo copot.
"Tunggu sebentar."
Kunci mobil gue ambil, terus gue teken. Nggak lama, kedengeran bunyi nyaring pertanda kunci mobil gue kebuka. Gue ngakak, ngeliat ekspresi kaget Hayam Wuruk. Dia kayak antara kaget, tapi jaim. Mungkin jaga wibawa dia kali, sebagai seorang raja. Lampu berkedip sebentar, di sertai suaralah yang buat Hayam Wuruk kaget barusan. Untung cuma ada kami berdua. Semisal ada prajurit atau orang lain, auto jantungnya dangdutan.
"Kenapa benda ini mengeluarkan percikan cahaya dan bunyi? Sihir kah?"
"Pffttt, hahahanjiirrr ngakaaakk! Mana ada sihir! Ini, tuh, mobil! Bisa hidup, bukan dari sihir, tapi makek mesin. Mobil ini, kendaraan yang ada di Indonesia, rumah gue." gue geleng-geleng kepala. Gue jalan, buka setiap pintu mobil. Cek bentar. "Yok, lah, Baginda. Bantu gue."
Gue jalan ke arah jok belakang. Buka pintu belakang, di mana banyak barang bawaan gue.
"Nih, angkat." seenak udel, gue nyuruh seorang Raja Majapahit ngangkat dua koper besar punya gue. "Bisa, nggak lo ngangkatnya?"
"Ini barang bawaanmu?"
Sekali gue ngangguk, terus jok belakang pintunya gue tutup. Bunyi nyaring sama kilatan lampu, ada lagi daaannnn... Kembali buat kaget Hayam Wuruk. Bahagia gue, ngeliat wajah kaget dia.
"Banyak sekali." matanya mengamati dua koper besar yang gue bawa juga. Jadi, total koper milik gue ada empat. Ukuran jumbo semua.
"Eh, btw, mobil gue aman nggak, di taruh di sini?" tanya gue memastikan. Sedikit gue nggak rela, beranjak dari sana. Walaupun nih mobil udah gue selimuti pakek sarung biar nggak kedinginan, tetap aja gue ragu buat ngelangkah.
"Selama prajurit bayangkara ada, maka kendaraanmu akan aman." tatapan Hayam Wuruk menyakinkan gue banget. Sampe gue seolah terhipnotis. Malah ganteng, siapa, sich, ciwi yang mau nolak. Uluh, uluuuhhh, sukak dech!
"Kau wanita hebat nan unik. Kau wanita pertama yang berani menyuruh seorang Raja. Ini sungguh perbuatan yang lancang."
Dia bilang ini perbuatan lancang, tapi, kok, gue sekilas kepergok ngeliat dia senyum yak? Walaupun nggak keliatan banget, karena penerangan remang-remang. Bukan cafe remang-remang yak. Jangan salah baca lo pada. Gue pites beneran mata lo atu-atu. Kotor mulu isi kepala keleyan.
"Jadi, nggak boleh, nih... Gue minta bantuan, lo?" gue nunjukkin wajah pura-pura marah. Mana bisa, gue marah sama cogan. Cogan itu... Harus di lestarikan agar tak punah!
"Tak mengapa. Sesekali, tak masalah. Lagipula kau seorang wanita. Seorang wanita sepatutnya memang di beri pertolongan."
"God boy!" jawab gue seneng. Dua jempol nih, gue kasih ke Hayam Wuruk yang udah baek ama gue. Jempol kaki tapi. Mhuhehe.
Setelah kami deket ke salah satu pendopo, ada empat prajurit yang datang. Salah satu dari mereka ngomong. "Sendhikoh dawuh, prabu Sri Rajasanagara. Tampaknya Prabu kesususahan. Adakah yang bisa kami bantu?"
"Nah, bagus! Ya, emang bener banget, gue lagi butuh bantuan. Tolong bawaain, ya, barang-barang gue sampe ke kamar. Cepet ya, soalnya gue mau sholat. Entar gue kasih tip deh, kalian. Permen milkita yang mahal dan berkhasiat, mau, kan? Harus terima, soalnya gue udah baru pulang kerja di marahi, ngajak berantem?"
Empat prajurit itu cengo, mulutnya mangap lebar ke ikan lohan. Mangap-mangap mulu, lo. Masuk angin entar, gue ketawain ngakak baru tau rasa lo pada.
"Bawakan seluruh barang bawaan wanita ini, sampai ke kamarnya." nah, pas, Hayam Wuruk yang nyuruh, baru mau nih orang. Halah, ngarep dapet uang kan lo berempat, dari pada permen milkita dari gue? Mata duitan! Gue colok juga tuh, mata, terus perbiji gue jual buat beli Iphone promax.
"Nggeh, Gusti Prabu." cekatan mereka berempat bawa barang gue.
Gue merhatiin mereka jalan ngarah ke mana. Takut nyasar, lupa jalan pulang. "Emang kamar gue letaknya di sana, ya?"
Dua mata Hayam Wuruk melebar dikit. "Kau lupa?"
"Kayaknya. Kurang minum Aqua, nih, guenya." bahu gue ngangkat ke atas. Acuh nanggepin pertanyaan Hayam Wuruk. "Udah, ah, gue mau balik. Makasih, ya, Baginda Sri Rajasanagara yang ganteng banget, atas bantuannya. Bye..."
Badan gue balik ke belakang, mau balik ke kamar, eh malah gak jadi pas denger suara Hayam Wuruk nyaut.
"Tunggu!"
"Ha? Ngapa lagi?" agak sewot gue nanya dia. Issshh, soalnya mau cepet-cepet balik kamar. Takut gue, waktu sholat abis.
"Namamu Ria, benar?"
"Eh?" awalnya gue agak keberatan, kalo dia manggil gue Ria. Maunya gue di panggil Ricis. Tapi, karena lagi males banyak bacot, jadi gue manggut setuju aja.
"Ria... Menetaplah di sini agak lama. Temani Adikku, jangan buat dia bersedih. Bahkan jikalau kau memilih tidak kembali ke tempat asalmu, kau akan mendapatkan salah satu posisi keluarga Kerajaan Majapahit."
Alis gue mengkerut. Bingung banget gue, sama kata-kata Hayam Wuruk. Apa maksud omongan dia yang bilang, gue bakal dapat salah satu posisi keluarga Kerajaan Majapahit? Salah satu? Dapat posisi jadi Adek angkatnya Hayam Wuruk kali, yak?
Hadoohh, bodo amat deh! Panas pala gue banyak mikir. Bisa berasap entaran kepala gue, di paksa buat mikir.
"Oke." balas gue seadanya, biar cepat selesai. Dengan langkah seribu, gue balik ke belakang. Lari ke kamar, ninggalin Hayam Wuruk yang masih diem natap gue.
Dasar, cowok ganteng ngapa kebanyakan aneh, ya?
Minta dinikahin emang, si Hayam Wuruk sama gue.
°°°
Bersambung...