CHAPTER 1- ICE CREAM

1682 Kata
BEVERLY Montano duduk manis di sebuah sofa panjang yang terletak di dekat kolam renang setelah menghabiskan sebagian waktunya berenang dengan kakak iparnya, Kayla Montano. Alunan musik dari musisi ternama mengiringi kepalanya yang mengangguk-angguk sesuai irama. Bikini dengan warna merah bermotif membalut bagian sensitifnya dengan sempurna. Siang itu, cuaca sangat cerah. Rasanya, Beverly tidak ingin beranjak dari sofa itu. Namun, suara Kayla yang menginterupsinya memaksa Beverly menurunkan kaki dan berdiri tegak seperti seorang tentara. "Bev," Kayla berdiri dengan wajah merah padam karena terkena sinar matahari langsung. "Bisa kau membantuku?" Beverly mengambil bathrobe lalu memakainya. "Ada apa?" tanyanya pada Kayla. "Aku ingin makan spaghetti di restoran yang kemarin. Bisakah kau membelikannya untukku?" Kayla berjalan meninggalkan Beverly karena matahari terik membakar kulitnya. "Brooklyn sedang rapat dengan Edwin. Aku tidak tega mengganggunya." Mau tak mau, Beverly mengikuti kakak iparnya. Akhir-akhir ini mereka memang sangat akrab. Sejak Kayla dan Brooklyn tinggal satu atap dengannya, Beverly tidak lagi merasa kesepian. Kayla adalah teman sekaligus saudara yang menyenangkan. Sehingga ia tidak segan untuk menuruti semua keinginan Kayla. "Tentu saja. Kau mau ikut atau aku saja yang pergi?" "Kau saja yang pergi. Brook mungkin sebentar lagi selesai. Kau tahu bagaimana kakakmu," Kayla menoleh, menatap Beverly dengan ekspresi lucu. "dia tidak akan mengijinkanku keluar tanpanya." Beverly terbahak. Sejak kejadian satu bulan lalu, saat Kayla diculik dan disekap oleh Jackson, Brook memang menjadi sangat overprotectif. Beverly tidak menyalahkan kakaknya. Bagaimana pun juga, sudah menajdi kewajiban kakaknya melindungi Kayla dan calon keponakannya. "Baiklah. Aku akan pergi dengan daddy saja kalau begitu. Akhir-akhir ini kami memang jarang keluar bersama. Semenjak kau tinggal di sini, Daddy menjadi lebih betah tinggal di rumah." Kayla menyunggingkan senyum. "Daddy mungkin tidak akan meninggalkan rumah setelah si kecil lahir." "Ah, kau benar. Aku juga tidak sabar menunggu kehadirannya. Aku rela tidak tidur semalaman demi si kecil." "Aku percaya kau akan melakukannya," sahut Kayla dengan suara lembut. "Kalau begitu, aku akan bersiap dan pergi mencari spaghetti. Bisakah kau menemui Daddy dan mengatakan kalau aku akan mengajaknya?" "Tentu." Senyuman lebar terbit di bibir Kayla. "Maaf merepotkanmu. Tapi aku sangat senang memiliki adik sepertimu." "Ya," Beverly mengibaskan rambut panjangnya. "Memang seharusnya begitu." Mereka berdua terkekeh geli. Kayla segera menemui ayah angkatnya. Sementara Beverly kembali ke kamar untuk mandi dan mengganti pakaian. Satu jam kemudian, Beverly dan Jullian Montano telah berada di sebuah restoran yang menyediakan spaghetti dan pizza dengan berbagai macam topping. Beverly dan Jullian menyempatkan makan di sana dan menikmati pemandangan taman bermain yang kini penuh sesak oleh anak-anak kecil. "Dad, aku penasaran bagaimana jika Brooklyn memiliki anak. Mungkinkah dia akan sabar menghadapi anak-anaknya?" Beverly mencomot sopotong pizza lalu memasukkan ke mulutnya. "Apa yang kau bicarakan?" Jullian menyentil kening putrinya. "Tentu saja dia akan sabar. Apa kau tidak melihat bagaimana sabarnya Brook saat menghadapi Kayla? Daddy tidak habis pikir Brook bisa sangat tunduk dengan Kayla. Kayla selalu meminta Brook melakukan hal-hal aneh dan kakakmu dengan senang hati melakukannya." Kekehan kecil keluar dari bibir Beverly. "Ya. Sebenarnya aku juga tidak menyangka. Bisa-bisanya Brook dibudakkan oleh cinta. Padahal kupikir dia masih menyukai Elsa." "Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Elsa di hati Brooklyn. Pun dengan Kayla. Tetapi, bukan berarti Brook tidak bisa mencintai wanita lain. Kau lihat sendiri 'kan bagaimana Brook menyayangi istrinya." Beverly mengangguk. Tatapannya terpaku pada seorang pria dan dua anak laki-laki yang kini bergelayut manja di kaki ayahnya. Pria itu berdiri untuk mengantri es krim. Beverly ingat betul dulu dirinya dan Brooklyn sering kali melakukan hal itu pada ayahnya. Menyiksa ayahnya dengan meminta hal-hala aneh, dan entah mengapa ayahnya selalu menuruti semua keinginannya. "Dad, apa spaghetti pesanan Kayla sudah siap? Kalau sudah, kita pulang sekarang saja. Aku takut Brook marah kalau kita berlama-lama di sini." Jullian beranjak dari duduknya. "Daddy akan melihatnya dulu. Kau tunggu di sini," Setelah kepergian Jullian, Beverly berkutat dengan ponselnya. Persis seperti dugannya, Brooklyn mengirim pesan padanya yang isinya meminta Beverly untuk kembali lebih cepat karena kakak iparnya sudah kelaparan. Beverly memutar mata. Brooklyn sungguh menyebalkan. Jullian datang dengan membawa beberapa kotak makanan pesanan Kayla. Mereka kemudian keluar meninggalkan restoran tersebut. Beverly mengambil alih kotak makanan ketika Jullian berpamitan ingin ke kamar kecil. Dua orang anak kecil menghampiri Beverly. "Miss maukah kau membelikan kami es krim?" tanya mereka berdua. Beverly mengerutkan kening. Mereka berdua terlihat seperti anak yang tersesat. "Di mana orang tua kalian?" Kedua anak itu saling bertatapan. Kemudian, salah satu di antara mereka berkata, "Mommy sedang menjemput adik kami di sekolah. Dia bilang akan segera kembali setelah urusannya selesai. Tapi, aku mau es krim itu, Miss." Anak itu berkata dengan tatapan puppy eyes yang langsung menghipnotis Beverly. "Oh, baiklah. Ayo, kita ke sana dan membeli dua es krim untuk kalian." Kedua anak itu terlonjak senang. Mereka menarik tangan Beverly dan berjalan menuju kedai es krim yang menjajakan es krim berbagai rasa. Beverly hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesampainya di depan kedai, dua anak itu memesan masing-masing satu es krim. Mereka lalu berlari meninggalkan Beverly setelah mendapatkan keinginannya. Beverly mendengus pelan. Dasar anak-anak! Ucapnya dalam hati. Tanpa ia sadari, seorang pria membunntutinya sejak Beverly meninggalkan rumah. Pria itu berjalan tepat di belakang Beverly. Dan saat tidak banyak orang yang memperhatikan mereka, pria itu menarik Beverly masuk ke sebuah gang kecil, membius wanita itu dengan sapu tangan yang sudah diberi obat bius hingga Beverly tidak sadarkan diri. ** Hari ini, Jackson kembali dengan rutinitas hariannya, mengintai kediaman Montano. Sejak beberapa minggu yang lalu, kegiatan ini menjadi satu-satunya hal yang wajib ia lakukan setiap harinya. Jackson tidak pernah menyerah meskipun usahanya seringkali gagal. Setiap hari, setiap dia melihat salah satu dari keluarga itu keluar rumah, Jackson selalu membuntutinya. Meskipun usahanya itu seringkali berakhir dengan kekecewaaan. Jackson tidak peduli, karena memang tujuan hidupnya hanyalah menghancurkan keluarga itu satu per satu. Seperti hari ini, usaha Jackson akhirnya membuahkan hasil. Jackson mendapat kesempatan membuntuti Beverly dan Jullian. Mereka hanya pergi berdua. Dan hal itu memudahkannya menculik salah satu di antara mereka berdua. Jackson memilih Beverly. Lagipula, wanita itulah yang menajdi incarannya selama ini. Jackson menyuruh dua anak laki-laki yang kebetulan berada di dekat kedai es krim untuk mengajak Beverly ke kedai es krim tersebut. Setelah anak itu melakukan tugasnya, Jackson segera bergerak untuk membius Beverly dan membawa wanita itu masuk ke mobilnya. Butuh sekitar tiga jam untuk membawa Beverly keluar dari Negara itu. Untung saja, Jackson memiliki koneksi yang cukup luas. Dia menyuruh salah satu rekannya untuk menyiapkan penerbangan pribadi menuju ke sebuah pulau asing yang mustahil ditemukan oleh kaluarga Montano. Perjalanan dengan jet pribadi itu menghabiskan waktu sekitar enam jam lamanya. Untung saja, Jackson sempat menyuntikkan obat tidur pada Beverly. Sehingga wanita itu terlelap untuk waktu yang sangat lama. Begitu mereka sampai di bandara, Jackson kembali memasukkan Beverly ke dalam mobil dan melajukan mobilnya menuju sebuah dermaga kecil, tempat ia memarkirkan speed boot pribadinya. Perjalanan dengan speed boot itu hanya memakan waktu selama satu jam. Jackson menepikan speed bootnya dan kembali menggendong Beverly. Tubuhnya lelah. Perjalanan berjam-jam benar-benar menguras tenaganya. Apalagi dengan membawa sesosok manusia yang hanya tidur dan terpaksa dia yang harus menggendongnya ke sana kemari. Setelah memasukkan Beverly ke dalam kamar dan mengguncinya, Jackson membuka baju dan tidur di kamarnya sendiri. Pulau itu adalah pulau pribadi miliknya. Hanya ada rumahnya di sana. Jika nanti Beverly bangun, Jackson akan memastikan wanita itu tidak akan bisa keluar dari pulaunya. ** Beverly membuka matanya. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela sungguh membuat tidurnya terganggu. Beverly memindai seluruh ruangan di kamar bernuansa biru muda itu. Semuanya tampak sangat rapi dan terlihat nyaman. Seketika, ingatannya mengenai kejadian di kedai es krim kembali muncul. Beverly terlonjak bangun hingga kepalanya hampir menabrak kepala ranjang. "Sial!" gumamnya pada diri sendiri. "Di mana aku?" Kaki jenjang Beverly menginjak lantai granit, hawa dingin menusuk telapak kakinya. Ia melangkah menuju pintu. Di bukanya pintu itu dengan sedikit tergesa. "Pintunya terkunci?" kata Beverly. Merasa kesal, Beverly menggedor-gedor pintu itu, berharap seseorang datang dan membukanya. Satu-satunya yang Beverly sadari adalah, dia sedang diculik atau bahkan disandera. Lama Beverly menendang dan meninju pintu kayu itu. Namun sepertinya usahanya tidak sia-sia. Handle pintu sedikit bergerak. Beverly membuka handle pintu itu dan mendorong pintu. Terdengar suara umpatan dan seseorang jatuh tersungkur ke lantai. "b******k!" umpat seseorang yang kini menutup wajahnya dengan telapak tangan. Beverly berdiri menjulang di atas pria yang hanya memakai celana kolor itu. Ditilik dari tubuh pria itu, sepertinya pria misterius itu sering berolahraga. Terlihat jelas dari d**a kotak-kotaknya yang langsung menjadi pusat perhatian Beverly. "Siapa kau!" tanyanya dengan nada tinggi. Pria itu berdiri, masih menutup sebagian wajahnya. Dan betapa terkejutnya Beverly saat mengetahui siapa pria dengan kulit putih dan rambut pirang itu. Pria yang pernah beradu tembak dengannya. "Kau!" gumamnya. Jackson tersenyum miring. "Kenapa? Kau terkejut?" Masih dengan napas sedikit tercekat, Beverly berusaha berkata dengan nada tenang. "Tidak. Biasa saja." Dustanya. Bohong jika Beverly mengatakan dia tidak terkejut. Bagaimana pun juga. Aura permusuhan yang keluar dari tatapan mata Jackson sedikit membuatnya gugup. "Oh, ya?" Jackson bergerak mendekat ke arah Beverly, membuat wanita itu terpaksa mundur beberapa langkah. "Baguslah kalau begitu. Jadi, aku tidak perlu mendengar rengekan dan tangisanmu." "Tangisan?" Beverly terkekeh, hanya untuk menutupi ketakutannya. "Maaf, ya. Seumur hidup aku belum pernah menangis atau pun merengek." Lagi-lagi, Jackson melangkah maju, membuat Beverly terpaksa mundur hingga punggungnya menabrak tembok. "Kita lihat saja nanti. Apakah kau akan tetap diam atau merengek saat aku menyiksamu? Kaupikir aku akan diam saja setelah kau membunuh tunanganku?" Jackson bisa merasakan hangat napas Beverly. Juga aroma vanilla yang menguar dari tubuh wanita itu. Mustahil melupakan aroma itu setelah ia menghirupnya berkali-kali saat menggendong Beverly. Sisi lain dari Jackson mendamba aroma itu. Namun sisi lainnya lagi, menolak mengakuinya. "Katakan saja apa yang akan kaulakukan padaku. Atau berapa uang yang harus kutebus untuk membebaskan diriku." Beverly mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Jangan coba-coba menggertakku atau mempermainkaku, b******k!" "Uang?" Jackson mendengus. "Aku tidak butuh uangmu!" "Oh, ya? Bukankah itu yang kau cari saat kau menculik Kayla?" "Ya. Itu dulu. Tapi sekarang aku tidak butuh uang itu lagi." "Jadi, apa yang kauinginkan dariku?" Jackson menyatukan keningnya dengan kening Beverly. Keinginannya untuk mencicipi bibir merah muda milik wanita itu sangatlah besar. Jackson mati-matian melawannya. Dan bibirnya berkata, "Aku hanya ingin menyiksamu. Melihatmu menderita lalu membunuhmu dengan perlahan. Kuharap itu cukup untuk membalaskan dendamku pada Maria-tunanganku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN