Dia Menghilang

1303 Kata
Pukul tujuh pagi, Weni sudah dalam perjalanan menuju gedung tempat Kiara dan Gani akan melakukan Ijab serta resepsi pernikahan mereka. Rencananya Ijab akan dilakukan pukul sembilan pagi lalu istirahat beberapa jam dan lanjut resepsi sore harinya. "Kamu kenapa Wen, kok diam aja?" Weni melirik Bayu dan tersenyum. "Aku cuman lagi mikir aja, Mas. Gimana nanti ijabnya. Pasti Kiara sama Mas Gani gugup banget." Bayu terkekeh mendengar ucapan Weni. "Gugup pasti. Tapi Gani sudah lancar mengucap ijab, dia udah siap banget kayaknya." "Syukurlah kalau gitu," ujar Weni tersenyum tulus. Obrolan mereka terhenti begitu tiba di hotel. Weni turun lebih dulu, menunggu Bayu sesaat lalu mereka melangkah beriringan masuk ke dalam. "Pagi, Buk." Weni tersenyum, ia menyalami Ibu Kiara. "Ibu cantik banget hari ini." "Pagi. Kenapa baru sampai? Kiara dari semalam uring-uringan karena kamu enggak mau diajak menginap," ucap Ibu Kiara merangkul lengan Weni. "Kamu juga cantik, loh. Dan apa ini? Kayaknya bakal ada yang nyusul nih sebentar lagi." Goda Ibu Kiara menatap Weni dan Bayu yang tersenyum malu. "Ah, Ibu bisa aja." Weni menyengir, ia mengusap lengannya. "Semalam Mama enggak enak badan, Bu. Jadi Weni batal deh menginapnya," kata Weni melirik Bayu sesaat. "Kiara di mana Buk? Weni mau nyusul." "Sekarang Mama kamu gimana? Sudah sehat?" tanya Ibu. "Kiara ada di ruangannya. Kamu ke sana aja, temani dia." "Sudah Buk. Mama nanti juga nyusul. Udah ya Buk, Weni mau lihat Kiara dulu." Weni pamit pada Ibu Kiara. "Ayo Mas, aku mau lihat Kiara dulu. Mas mau ke mana?" "Mau ke tempat Gani, sebentar." "Ya sudah nanti kita ketemu lagi ya," ucap Weni tersenyum lalu pergi ke arah kiri, berlawanan dengan Bayu yang berjalan ke arah Utara. Tiba di tempat tujuan, Weni mengetuk, lalu membuka sedikit pintu kamar. Dia tersenyum melihat Kiara sadang di rias. "Aih, cantiknya calon manten nih," ucap Weni berjalan masuk. Ia terkekeh melihat Kiara cemberut mendengar godaannya. "Mamah gimana?" Berdiri di samping Kiara, Weni menjawab, "Udah baikkan, nanti nyusul kemari.” Kiara mengucap syukur, membuat Weni tersenyum lebar. Ia semakin mendekat, menatap wajah cantik Kiara selama beberapa detik, keningnya berkerut. Hanya seperkian detik, ia seperti melihat wajah tertekan Kiara, tapi tidak mungkin. Ini hari pernikahan gadis itu dengan lelaki pujaan hatinya. Pasti ia yang salah lihat, sahabatnya itu pasti sangat bahagia karena berhasil bersatu bersama Gani. “Senyum, Ki. Nanti cantiknya hilang loh.” Goda Weni sembari mengerlingkan mata. Ia nyegir, merasa tak nyaman saat Kiara hanya tersenyum kaku dan raut wajahnya kembali menegang, sedih dan terkadang juga tampak ingin menangis. Menghela, Weni menatap sekitar. Dia berjalan dan memilih duduk di sofa. "Tiwi di mana? katanya semalam kamu sama Tiwi." “Ada apa nyari aku?” kata seorang gadis yang baru saja keluar dari pintu toilet. Gadis ceria itu juga memakai kebaya yang sama dengan Weni. “Enggak ada sih, cuman tanya aja." Kekeh Weni, ia bangkit dan duduk di ranjang. Menghampiri Tiwi. Banyak hal yang di bahas Weni bersama Tiwi, sesekali mengajak Kiara. Dan saat Xia, Viola, Awen dan Glady datang dengan warna kebaya yang sama. Mereka memilih ke balkon kamar dan berfoto seru di sana. "Mau di unggah ke IG,” jawab Tiwi yang memang narsis abis. Setelah merasa puas dan cukup banyak foto yang di dapat, mereka kembali masuk ke kamar. Melihat Kiara yang sudah selesai didandani, mereka semua kembali mengajak Kiara berfoto. Meski harus mati-matian memaksa tapi akhirnya berhasil setelah mendengar celetukan Glady yang mengatakan Kiara seperti tidak niat menikah saja. Sekarang sudah pukul delapan lewat, di ruangan itu tinggal Weni dan Kiara saja, yang lain sudah keluar. Menemui keluarga atau mencari sesuatu yang bisa mereka cicipi. "Kamu makin tegang loh Ki," ucap Weni menatap Kiara dengan senyum tipis. "Santai aja ya, kamu harus yakin Mas Gani bisa melakukan ijab dengan lancar." Weni kembali memberi semangat. Namun, seperti sebelumnya wajah Kiara masih tetap kaku. "Aku ke toilet bentar ya," ucap Weni berjalan meninggalkan Kiara. Tidak butuh lama Weni sudah kembali dari toilet, dilihatnya Kiara kembali tenggelam dalam lamunan. 'Ada apa denganmu Ki?' Menghembuskan napas, ia mengenyahkan perasaan tak nyaman. Weni berjalan pelan mendatangi Kiara. "Aku udah bilang belum sih, enggak pakai kebaya ini atau gaun itu, tetap aja kamu cantik banget." "Senyum dikit Ki, biar kamu makin cantik," kata Weni lagi mengerlingkan mata. Kiara tetap tidak menanggapi apa pun, dia hanya tersenyum kaku. "Enggak usah takut Ki. Kamu kan gak mengucap ijab, kenapa kamu malah kelihatan gugup banget.” Melihat Kiara yang kembali menampilkan senyum Kaku, Weni menyerah merayu. Padahal ia sangat berharap Kiara dapat tersenyum manis atau paling tidak tersenyum seperti biasa. Weni sedang terdiam saat mendengar nada dering di ponselnya. "Ki aku tinggal bentar ya, Mas Bayu nyari nih," pamit Weni sebelum meninggalkan Kiara sendirian. Sepanjang perjalanan Weni terus bertanya-tanya, ada apa dengan Kiara? Semakin jauh ia melangkah, perasaannya juga semakin tak menentu. Hati kecilnya ingin kembali, memastikan apa Kiara baik-baik saja. Akan tetapi, ia terus melangkah. Apalagi saat pandangannya sudah berhasil menemukan Bayu. "Ada apa Mas?" tanya Weni begitu tiba di samping Bayu. "Eh, Wen. Kamu bawa tisu, mas boleh minta enggak?" "Hah... Mas Bayu cari aku cuman mau minta tisu?” Bayu mengangguk, membuat Weni mengeram kesal. "Mas Bayu ih, tisu kan banyak di mana-mana," seru Weni menunjuk setiap meja yang ada di hadapan mereka. Terkekeh, Bayu berkata, "Kamu ini menyebalkan sekali." "Maksud Mas?" "Enggak ada sih, yuk ah Kita ke atas. Numpang foto, mumpung acara belum mulai. Sebelum ditempati Gani dan Kiara Kita duluan yang tempati," ajak Bayu menunjuk pelaminan yang berjarak 50 meter dari tempatnya berdiri. "Enggak mau ah, malu." Weni menggelengkan tegas. Mana mau ia naik ke atas pelaminan dan narsis di sana. "Ayolah. Mana tahu setelah itu kita langsung nyusul mereka." "Enggak mau. Mas Bayu aneh-aneh aja deh." Menghela, Bayu berkata, "Enggak aneh Wen, ini lagi usaha namanya." "Tahu ah, Mas Bayu aja kalau mau foto, aku nanti aja waktu sama Kiara," ucap Weni. "Sekarang aku mau ke Kiara lagi, ijabnya bentar lagi mulai. Mas Bayu sebaiknya juga balik sana ke ruangan Mas Gani." Weni langsung berjalan meninggalkan Bayu. "Wen." Weni hanya melambaikan tangan tanpa berbalik. "Ya ampun Wen, kamu enggak mengerti banget sih kode." Weni mengerutkan kening, ia berhenti berjalan lalu berbalik tapi tak menemukan lagi Bayu di sana. Mengangkat bahu Weni kembali melangkah ke ruangan Kiara. Sebelum membuka pintu, kening Weni berkerut mendengar keributan dari dalam sana. Pelan-pelan ia mendorong pintu dan menahan napas. "Ada apa?" tanya Weni bingung melihat Ayah dan ibu Kiara terduduk di lantai sembari menangis. Tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Entah tak mendengar atau apa? "Ti, ada apa?" Weni menyentuh bahu Tiwi. Ia menatap aneh Tiwi yang tersentak kaget. "Ah. Wen,” ucap Tiwi, setelahnya gadis itu kembali melamun sembari menatap Ayah dan ibu Kiara. Bingung Weni menatap seluruh ruangan, ia kembali terkejut melihat kamar yang berantakan. Pecahan kaca dan bunga menjadi satu menghiasi lantai. "Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya suara berat dari arah kiri. Weni menoleh dan menemukan ayah Gani ada di sana bersama sang istri, mereka menatap penuh kebencian pada orang tua Kiara. Pikiran Weni mulai berkecamuk, ia kembali menatap ke sekeliling dan tidak menemukan Kiara di mana pun. Menelan ludah karena pikiran buruk mulai bermain dalam kepala, ia melangkah mendekat pada ibu Kiara yang menangis semakin histeris. “Bu,” panggilnya lembut sembari mengusap pelan bahu wanita paruh baya tersebut. Menoleh ibu Kiara langsung memeluk Weni. "Kiara, Wen. Kiara.” Weni balas memeluk, matanya mulai memerah. Melihat dan merasan tubuh ibu Kiara yang bergetar, ia semakin yakin pikiran buruknya tepat. Ibu Kiara masih terus menangis, menumpahkan semua kesedihan di bahunya. Melihat ke ayah Kiara, hati Weni semakin teriris. Matanya memerah, tatapannya kosong. Masih sangat shock menerima kenyataan yang ada. Sedangkan di sudut lain ayah Gani mengeram marah, mengumpat dan menatap penuh permusuhan pada ayah dan ibu Kiara, sementara istrinya berkali-kali mengusap air mata dan menepuk bahu suaminya. "Di mana Kiara?" tanya Gani yang baru saja memasuki ruangan. "Di mana dia?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN