bab 1

1210 Kata
Hari ini adalah tanggal empat belas september. Dimana aku, Jessica Amani 30 tahun menghembuskan nafas yang terakhir di sebuah rumah sakit swasta. Aku yang kononnya telah mengalami gangguan kejiwaan karena kehilangan bayiku sejurus setelah aku usai melahirkan. Sadis ya? Itu baru permulaan. Di saat terakhir sisa hidupku. Aku berharap Marcell datang kepadaku dengan penuh cinta dan kasih sayang, mengantarkan kepergianku untuk yang terakhir kalinya. Namun yang aku dapatkan adalah, aku malah sendirian di ruangan yang begitu dingin dan sepi. Hanya aku, tidak ada orang lain. Tidak ada suster dan juga tidak ada dokter. Nafasku semakin pelan dan mataku hampir saja tertutup rapat. Tiba-tiba.. “Jess! Jess bangun Jess! Jessica Amani!!” “Astaga!” Aku sontak kaget dan langsung duduk di atas brankar. Jantungku berpacu laju dengan napas yang terengah-engah. “Kamu mimpi buruk lagi?” Aku mengangguk dan menatap pada temanku Anita. Hanya dia teman yang aku punya tempatku berbagi keluh kesah saat moodku sedang tidak baik-baik saja. “Nit, apakah aku sudah gila? Ini bukan satu kali loh Nit. ini sudah berulang-ulang kali aku alamin.” keluh ku masih lagi menatap pada wajahnya Nita, sambil menyeka peluh dingin yang mulai mengucur dari dahiku. “Kamu cerita nggak sama Marcell?” Nita bertanya sembari menatap padaku dengan tatapan mengasihani. Ah! Aku sungguh benci sekali ditatap seperti itu. Rasanya aku ingin sekali mencongkel keluar biji matanya Anita. Agar perempuan itu berhenti menatapku seperti tadi. “Percuma Nit, yang ada Marcell malah mengira jika aku ini tambah gila.” jawabku kemudian membuang muka ke samping. “Kamu pergi aja deh Nit. aku mau sendirian.” usirku pada Anita, temanku. “Kamu marah sama aku?” “Nggak Nit, aku butuh ketenangan. Aku mau sendiri.” “Aku pergi kalau begitu. Kamu jangan pernah coba melakukan hal yang macem-macem ya.” pesan Nita padaku, sebelum temanku itu menghilang di balik daun pintu bangsal rumah sakit yang aku tempati saat ini. “Aneh saja. Aku tidak pernah merasa kalau aku mencoba bunuh diri. Namun..” Otak ku berpikir keras. Kenapa semuanya ini seperti sebuah dejavu. Aku sepertinya pernah mengalami ini sebelumnya. Percakapan ini dan juga kondisi seperti ini. Iya! Aku baru ngeh akan semuanya. Demi menuntaskan rasa penasaranku. Aku akhirnya melangkah turun dari ranjang pasien dan mengenakan sandal kemudian melangkah keluar dari bangsalku menuju sebuah ruangan. Aku baru mau mengangkat tanganku, guna mengetuk pintu ruangan yang bertulis nama dokter Marcell Adhitama. “Apakah kamu yakin jika perempuan itu bisa mengingat semuanya?” “Aku kurang yakin, tapi aku rada aneh saja. Dia sering mengalami mimpi buruk dan apakah itu pertanda kalau ingatannya mulai kembali?” “Jika begitu, mulai besok tambahkan dosis lysergic acid dietilamid. Jangan biarkan ingatannya pulih. Jika tidak mahu semua rencana kita jadi berantakan. Dan aku tidak akan pernah bisa mengontrol dia lagi.” “Jadi.. selama ini. Aku di kasih cairan yang membuatkan diriku berhalusinasi dan.. Aku sebenarnya tidak gila!” Tungkai ku terasa lemah dan langkahku mundur beberapa langkah ke belakang. Pria yang aku cintai yang aku berikan seluruh kehidupanku padanya. Ternyata dialah biang kerok di balik semua kejadian yang menimpaku. Namun apa tujuannya berbuat seperti itu. Lalu siapakah perempuan itu tadi? Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit seperti orang gila beneran, sehingga aku memutuskan untuk masuk ke dalam salah sebuah ruangan tanpa mengetuk terlebih dahulu pintunya. “Dok.. tolong saya dok.” Aku bisa melihat seorang dokter pria yang tampan di hadapanku itu mengerutkan keningnya, sedang menatap padaku dengan tatapan dingin. “Tolong dok..” rayu ku lagi dengan menangkupkan kedua belah telapak tangan. Menatapnya dengan tatapan berkaca-kaca. “Apa yang bisa aku bantu?” Aku akhirnya bisa membuang napas lega. Setelah mendengar pertanyaan itu terbit dari bibir pria di hadapanku ini. “Dok.. apakah benar aku baru pas melahirkan?” tanyaku. ‘spBTKV Rafael’. ternyata dia dokter spesialis bedah torak, kardiak dan vaskular.’ aku bergumam di dalam hati. Alih-alih menjawabku, kini dokter tampan di hadapanku itu malah melemparkan pertanyaan yang sukses membuat aku melongo. Tercengang kaget. “Apakah kamu sudah melupakan semuanya tentang dirimu?“ “Maksudnya apa dok?” “Namamu adalah Jessica Amani. Ibumu adalah seorang yang bermarga Argawijaya.” Aku sontak menggeleng. Aku ingat akan namaku namun aku melupakan siapa ibuku. Aku juga melupakan sesetengah hal. Hanya yang aku ingat adalah Marcell Adhitama adalah suami yang sangat aku cintai, sahabatku yang bernama Anita dan papaku yang bernama Wisnu. “Kamu tahu ini tanggal berapa?” “Tanggal empat belas september tahun 2023.” jawabku mantap. “Tahun 2021.” “Apa!” Aku sekali lagi menuai kaget. Namun dokter Rafa menunjukkan tanggal dan waktu yang tertera pada layar monitor komputer yang ada di hadapannya kepadaku. “Jadi sekarang beneran tahun 2021 di mana pada tanggal ini adalah.,” aku membekap mulutku sendiri. Hari ini adalah tanggal ulang tahun pernikahan aku dan Marcell yang kedua tahun. Di mana aku jatuh pingsan dan dibawa kerumah sakit. Setelah siuman saja. Aku malah berada di bangsal pasien kejiwaan dan mendadak aku divonis mengalami gangguan kejiwaan, dengan tuduhan mencoba mengakhiri hidupku sendiri. Karena kehilangan bayi pas baru melahirkan. Namun aku yakin sekali kalau aku belum pernah hamil. Apa lagi sampai melahirkan. Jadi aku benar-benar terlempar masuk ke dalam ruang waktu. Dimana aku bisa melihat masa lalu dan masa depanku secara bersamaan. ‘Jangan bilang kalau aku sekarang ini sedang berada di dalam mesin waktu! Di antara kehidupan dan kematian. Lelucon ini sama sekali tidak lucu.’ batinku yang coba menidakkan semuanya. Namun siapakah pria yang bernama Rafael ini sebenarnya? Kenapa dia bisa menebak dan mengalkulasi masa depan? “Pada tanggal empat belas september tahun 2023 adalah tanggal kamu meninggalkan dunia ini. Bersama derita yang kamu tanggung. Seluruh dunia menyalahkanmu dan mengasihani Marcell. Karena di tinggal pergi oleh istri tercintanya.” “Lalu apa yang harus aku lakukan dok?” “Kamu punya dua pilihan. Pertama kamu bisa merubah takdir hidupmu, pilihan kedua adalah kamu menerima takdir ini lalu menunggu waktu dan tanggal kematianmu dengan sabar.” Aku bergidik ngeri saat mendengarkan opsi yang kedua itu “Apakah aku bisa merubah takdirku? Lalu bagaimana? Apakah kau bisa membantuku?” “Tidak semua orang memiliki kesempatan kedua seperti dirimu, malah bisa aku katakan hampir tidak pernah ada yang memiliki kesempatan yang kamu miliki saat ini. Maka pergunakanlah kesempatan ini untuk merubah takdirmu. Karena kamu adalah jiwa yang tidak menemukan kedamaian. Jiwa yang tersesat dan tidak menemui jalan menuju keabadian. Karena belum waktunya untuk kamu berada di sana.” Aku seketika merinding, apakah pria di hadapanku ini adalah sosok malaikat maut? Tidak! Tidak! Itu semua hanya bisa terjadi di dalam serial drama korea. Aku menggeleng frustasi. “Simpan pertanyaanmu tentang diriku. Aku tidak akan memberitahumu tentang siapa diriku yang sebenarnya. Aku juga tidak menghalangimu untuk mencari tahu siapa aku yang sebenarnya. Sekarang kembalilah ke ruangan itu karena sebentar lagi akan ada suster yang datang melakukan visit untuk mengecek kondisimu.” Aku bingkas bangkit dari duduk ku, lalu keluar dari ruangan yang berbau sitrus itu. Aku harus mencari tahu tentang sesuatu. Sekali lagi aku menyusuri koridor rumah sakit yang megah ini untuk kembali ke bangsalku. Namun saat aku membuka pintu bangsalku. Seseorang sudah menungguku di dalam sana dan menyambutku dengan senyuman hangat yang sudah tidak lagi membuat jantungku bergetar untuknya. “Sayang.. Kamu barusan dari mana? Mas khawatir sekali sama kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN