3. Tapi kamu isteri saya...

1306 Kata
"Kamu terlambat Ra." Bara menoleh ke arah ketukan sepatu yang terdengar terburu-buru memasuki ruangannya. "Maaf tadi Zio rewel, belum mau di tinggal." "Tapi kamu nggak bawa dia ikut kesini kan?" tanya Bara terdengar tak suka. Danira menatap malas wajah Bara. Dia terkadang heran mengapa Bara terdengar antipati sekali terhadap anaknya. Padahal dia sekalipun belum pernah melihat dan mengenalnya. Walaupun dengan begitu Danira merasa bersyukur, karena seandainya Bara ingin pun dia belum bisa mengizinkan Bara untuk bertemu dengan anaknya, sebelum dia benar-benar bisa menerima dan menyayanginya. "Pak Ivan mau datang ke sini jam berapa Pak, kalau saya sarapan dulu sebentar apa masih sempat?" tanya Danira, di kantor memang dia menggunakan panggilan formal pada Bara. Hanya segelintir orang kepercayaan Bara saja yang mengetahui pernikahan mereka. Karena Bara tak ingin mendengar omongan nyinyir orang karena menikahi sekertarisnya, dan juga dia tidak berniat selamanya menjadikan Danira isterinya. "Masih satu jam lagi, silahkan kalau kamu mau sarapan dulu. Saya juga toling kamu belikan sekalian." "Baik Pak." Danira segera turun ke bawah untuk sekedar membeli roti untuk sarapan. Perutnya sudah mulai terasa perih, karena ia tak sempat sarapan saat di rumah karena sibuk menyuapi Zio yang merajuk tak mau di tinggal. Danira kembali ke ruangan Bara dengan membawa satu kantong berisi beberapa roti manis dan dua gelas kopi yang ia buat di pantry. "Kirain kamu mau sarapan nasi?" "Enggak Pak, kelamaan." "Nanti kamu pulang cepet, masak di rumah. Dari kemarin saya belum makan nasi." Danira menatap sejenak wajah Bara. Siapa peduli dia mau makan nasi atau tidak. Restoran banyak, warteg berjejer. Lalu apa alasan Bosnya itu sampai tidak makan nasi? Danira tak menjawab ucapan Bara, dan segera menyelesaikan sarapannya. Dia lalu menuju ke sebuah ruangan untuk menerima tamu. Salah satu calon investor yang akan menanamkan modal untuk perusahaan Bara ingin bertemu dengannya langsung, karena dialah pencetus ide akan proyek itu. Sebenarnya ini di luar kebiasaan, tugas Danira hanyalah menyiapkan file untuk rapat atau di ajukan ke para calon investor dan tak jarang ia memberi masukan pada Bara jika ia mempunyai ide untuk kemajuan perusahaan seperti saat ini . Tapi dia yang menemui seorang investor untuk penentuan akhir, ini baru pertamakali Danira lakukan. "Selamat Pagi Pak Ivander, terimakasih susah mau repot-repot datang ke kantor kami." Danira berdiri dan membungkukan badan saat melihat seseorang yang ingin bertemu dengannya memasuki ruangan. "Tidak apa-apa Danira, santai saja kebetulan saya sedang tidak terlalu sibuk." "Kalau begitu saya buatkan minum dulu sebentar ya Pak," tawar Danira. "Oh, tidak usah." Tolak orang itu secara halus. Danira terkejut saat orang itu tiba-tiba meraih tangannya mencegah ia pergi untuk membuatkan minuman. Dan yang membuat Danira tak nyaman adalah, ia merasakan elusan tangan laki-laki itu di punggung tangannya. Segera ia lepaskan tangannya dengan cepat. "Kalau begitu kita langsung ke inti pembicaraan saja ya Pak." Pak Ivan mengangguk, tatapan matanya mengarah keseluruh bagian tubuh Danira. "Maaf Danira, apa kita bisa berbicara di sofa sana saja jangan di meja ini?" tanya Pak Ivan. Dengan berat hati Danira menyetujui keinginan tamunya itu. "Oke Danira, saya akan menanyakan kira-kira berapa persen ide kamu untuk membangun sekolah-sekolah unggulan di beberapa daerah itu bisa berhasil dan mendapat keuntungan?" tanya Pak Ivan, namun matanya tak bisa lepas menatap lutut Danira. "Sembilan puluh persen Pak. Karena saat ini orang dengan ekonomi menengah ke atas lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang berkualitas dan bergengsi, harga untuk mereka tidak menjadi masalah. Jadi menurut saya membangus fasilitas publik yang satu ini lumayan menjanjikan, dan akan balik modal lumayan cepat." "Kamu sangat cerdas dan menantang Danira." Pak Ivan menggeser duduknya mendekat pada Danira, tangannya tiba-tiba sudah berada di atas paha kiri Danira. "Apa kamu mau pergi bermalam dengan saya Danira, saya akan memberikan apapun yang kamu minta." Tawaran yang Pak Ivan lakukan tak membuat Danira terkejut sama sekali, hal seperti itu sudah biasa terjadi dalam dunia bisnis. Bahkan tak jarang ada seorang Bos yang mengumpankan sekertarisnya demi mendapatkan sebuah proyek besar. "Maaf Pak, tapi di sini saya bekerja secara profesional pada Pak Bara. Jadi maaf, saya tidak bisa menerima tawaran Bapak. Saya tidak mau mencoreng nama baik beliau dengan perbuatan saya." Jawab Danira di iringi senyuman. "Berarti bukan kamu tidak tertarik dengan tawaran saya Danira, kita bisa melakukannya secara diam-diam tanpa dia tahu." Pak Ivan kembali meraih tangan Danira dan meremasnya. "Danira saya...." Brakk... "Oh, maaf Pak Ivander, saya kira anda sudah pulang, saya mau mengambil dokumen yang sudah anda tanda tangani." Ucap Bara sambil melirik tajam mata Danira. "Oh, maaf Pak Bara, sebentar." Pak Ivan menghembus nafas kecewa karena tak berhasil mendapatkan Danira malam ini, meski begitu ia tak berani memaksa apalagi di depan Bara, laki-laki itu mengenal siapa isterinya. "Ini Pak, saya sudah setuju untuk berinvestasi di perusahaan Pak Bara. Kalau begitu saya permisi." Setelah menyalami Bara dan Danira Pak Ivan segera keluar dari ruangan itu. Dia akan mencoba peruntungannya lain kali. "Calon investor kita banyak tidak hanya dia, kalau kamu merasa di lecehkan seharusnya melawan jangan diam aja. Kita masih punya jalan lain." Ucap Bara dengan nada dingin. "Dia salah satu investor terbaik dan paling potensial, sayang kalau sampai tidak jadi tanda tangan." Bara membanting dokumen yang sudah di tanda tangani Ivan ke meja. Dia memantau pertemuan Danira bersama Ivan melalui cctv dari ruangannya tadi. "Tapi dia b******k dan berani melecehkan kamu, apa kamu tidak merasa Ra?!" Danira berdiri dari kursinya. "Apa bedanya sama Bapak?Sama-sama menyukai wanita. Jangan kira saya tidak tahu kalau anda juga pernah ada main dengan sekertaris dari perusahaan lain." Jawab Danira dengan suara yang tak kalah keras. "Tapi saya tidak melecehkan mereka Ra, mereka yang mau datang ke saya dan menawarkan tubuhnya karena menginginkan uang." "Sama saja, Pak Ivan juga menawari saya uang. Apa seandainya saya menerimanya seperti wanita-wanita kamu itu salah?" tanya Danira dengan tatapan menantang. "Tapi kamu itu isteri saya, dan tidak kekurangan uang Ra!" "Kamu juga suami saya, dan tetap tidur dengan wanita lain. Lalu siapa bilang saya tidak kekurangan uang? Kalau saya bergaya hidup hedon, gaji saya sebulan di pakai sehari saja tidak cukup. Dan tawaran seperti Pak Ivan tadi terdengar sangat menggiurkan." "Sialan kamu Ra." Bara keluar ruangan itu dan membanting pintu meninggalkan Danira. Danira menghembuskan nafas lelah. Dia tak perduli dengan kemarahan Bara yang tidak penting. Lelaki itu memang perlu di beri cermin, sok menilai orang melakukan pelecehan seksual, sedangkan Bara sudah bisa di kategorikan sebagai penjahat kelamin. Dia juga tahu dan bisa menilai apa yang Pak Ivan inginkan darinya, orang itu memang berpotensi menjadi laki-laki hidung belang. Tapi Danira juga tahu kelemahannya, Ivander bukanlah orang yang benar-benar punya kuasa. Dia hanya menjalankan bisnis investasi milik isterinya. Jadi masih terlalu hati-hati jika ingin bertindak lebih, dia tak mungkin mau menjadi miskin seketika saat ada wanita yang ia paksa dan melaporkan perbuatan buruk itu pada isterinya. Walaupun tatapan dan sentuhan Pak Ivan tadi membuatnya tak nyaman, ia masih bisa menolak permintaannya dengan tenang. Dia tahu laki-laki itu tidak akan berbuat nekad. *** Setelah kejadian tadi Danira tak melihat Bara ada di kantor. Seperti permintaan laki-laki itu, Danira pulang lebih cepat kemudian menyempatkan berbelanja untuk ia memasak nanti. Ia masih ingat dengan kata-kata Bara yang kemarin tidak makan nasi. Walau begitu Danira tak ingin mengetahui alasannya. Yang perlu dia lakukan saat ini adalah memasak menu lengkap khas rumahan, salah satu makanan favorit Bara, Danira juga harus terlihat sedikit mengolah uang belanja bulanan yang Bara berikan padanya. Agar laki-laki itu tidak terlalu mencurigainya. Setelah ia selesai memasak dan menghidangkannya di meja makan, Danira pergi kekamarnya untuk segera mandi. Namun lagi-lagi Bara memberikannya sebuah tontonan yang memuakkan. Danira tidak cemburu, tapi dia juga punya batas kesabaran. Danira mencoba membuka pintu kamarnya dengan sekuat tenaga, bahkan ia sudah berusaha mendobraknya, namun semuanya sia-sia. Sampai suara erangan panjang Bara terdengar di telinganya ia hanya bisa menangis sambil terduduk di dekat pintu. Danira lelah, dia muak dengan apa yang Bara lakukan, tapi ada masa depan seseorang yang harus ia perjuangkan. Dan itu menjadi tanggung jawab Danira sepenuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN