Devan memijat pelan dahinya, sejak dua hari kemarin Devan terus-terus terpikirkan dengan ucapan Nayla. Saat ini Devan bingung, bagaimana mengatakannya pada keluarga. Jujur saja, Devan juga sudah jengah ditanya kapan menikah. Jika dipikir-pikir, semuanya juga kesalahan dirinya yang sembarangan ke kontrakan Nayla.
Pintu ruangan Devan terbuka, muncul sosok Gian. "Kenapa lo?" tanya Gian yang heran melihat Devan yang beberapa hari ini seperti tertekan.
"Nggak papa," sahut Devan yang berdiri dari duduknya. Dia dan Gian sudah janjian akan pergi makan siang serta ngopi bareng. "Gue butuh udara segar!" seru Devan kemudian, dia berjalan lebih dahulu menuju pintu.
Gian hanya menggelengkan kepalanya, dia mengikuti Devan. Jam dua belas lewat lima menit, sudah pasti karyawan ramai berbondong-bondong keluar untuk makan siang. Apa lagi cafetaria perusahaan keluarga Singgih yang ada di rooftop, selalu ramai luar biasa.
"Nay ...." Devan memanggil Nayla yang sedang berdiri di depan pintu lobi perusahaan, ada beberapa karyawan bersama Nayla.
"Pak Devan," sapa Nayla sopan.
Beberapa karyawan yang bersama dengan Nayla juga menyapa Devan. Sosok Devan bukanlah seperti atasan galak kebanyakan, dia justru terkenal humoris, baik dan ramah. Mengenai Nayla, sudah menjadi rahasia umum perusahaan bahwa Nayla dan Devan dekat.
"Hai Nayla dan semuanya!" Gian juga menyapa Nayla, dia melambaikan tangannya tebar pesona seperti biasa.
Nayla menyapa Gian dengan senyum manisnya, dia menganggukkan kepala singkat. "Mau makan siang ya Mas Gian dan Pak Devan?" tanya Nayla yang dijawab Gian dengan senyuman manis.
Baru saja Devan akan membuka suara, Nayla sudah berpamitan dengan berkata, "Saya duluan Pak Devan, Mas Gian." Tatapan Devan mengikuti sosok Nayla dan teman-temannya yang keluar dari pintu lobi, menuju mobil yang terparkir menjemput mereka di depan lobi.
Gian merangkul pundak Devan. "Gue heran, apa sih yang buat lo nggak jatuh cinta sama Nayla?" tanya Gian.
Devan berjalan berdampingan bersama Gian, tangan sobatnya itu masih merangkulnya. "Lo sudah tahu alasannya," sahut Devan.
"Halah! Alir? Lo mau tua sendirian?" cibir Gian yang gemas dengan Devan. Sudah jelas-jelas di depannya sudah ada Nayla, yang bahkan sangat-sangat baik, masih lebih memilih seseorang yang tidak jelas ada dimana.
"Jangan banyak bacot, mending lo masuk!" Devan melepaskan rangkulan Gian, dia mendelik pada Gian yang hanya cengengesan.
∞∞∞
Nayla dan teman-teman kantornya makan siang di sebuah restoran yang baru buka, mereka mengejar diskon yang sedang digembor-gemborkan restoran tersebut. Jelas saja, untuk karyawan kantong pas-pasan seperti mereka, hal ini tidak akan dilewatkan begitu saja.
"Nay, lo sama Pak Devan akrab banget?" Lily bertanya sembari membolak-balik menu yang ada di tangannya. Sebenarnya, pertanyaan ini sering sekali Nayla terima. Dan, dia selalu menjawab hal yang sama.
"Enggak kok, hanya karena keluarga Singgih banyak bantu aku aja sih. Terutama Pak Gilang dan Kak Wenny," sahut Nayla.
Lily, Mila dan Findhy mengangguk kompak. Mereka sudah tahu soal Nayla yang dulunya asisten rumah tangga di rumah Gilang dan Wenny. Bahkan masalah perkuliahan Nayla, Gilang juga banyak membantunya.
"Ak uke toilet dulu ya," pamit Nayla.
Sepeninggal Nayla, seperti biasa ketiganya mulai bergosip. "Lo percaya?" Findhy yang memulai duluan, dia yang bertanya dan memancing Lily dan Mila.
"Enggak lah!" sahut Lily. "Nggak lihat tadi Pak Devan yang manggil Nayla duluan?" lanjut Lily yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh Mila.
"Kalian ngerasa nggak sih kalau Nayla tuh ada rasa sama Pak Devan?" tanya Findhy.
Lily berdecak pelan. "Jelas lah, siapa sih yang nggak suka sama Pak Devan? Tajir check, ganteng check, baik check, humoris check. Kurang apa lagi?" tutur Lily, sementara Mila mencoba menghitung kelebihan Devan dengan jarinya.
Mereka bertiga terus bergosip di belakang Nayla. Sementara Nayla, dia harus mengantri di toilet yang hanya terdapat dua bilik, tersisa satu karena yang satunya sedang dalam perbaikan. Karena sudah terlalu kebelet, Nayla sampai harus menghentak-hentakkan kakinya di lantai, tetapi dia tetap sabar. Tidak menggedor-gedor si penghuni bilik di hadapannya.
Tidak berapa lama, pintu bilik terbuka. Nayla sempat berucap, "Maaf Mbak saya buru-buru." Baru masuk ke dalam bilik.
Anyelir mengernyitkan dahinya saat melihat Nayla yang menunduk dan tergesa-gesa. Dia masih ingat sekali dengan Nayla, tidak mungkin Anyelir melupakan sosok Nayla. Entah kenapa, melihat Nayla di sana membuat Anyelir takut Devan ada di restoran tersebut juga.
Anyelir memilih memperbaiki make up-nya di depan wastafel. Dia memoleskan sedikit lipstick dibibirnya yang tipis. Walaupun detak jantungnya berdebar puluhan kali lipat.
"Hai Nay!" sapa Anyelir saat Nayla keluar dari bilik dan berjalan menuju wastafel di sebelahnya.
"Loh Mbak Anye!" seru Nayla ramah.
"Lunch?" tanya Anyelis sembari mencondongkan dirinya ke depan, dia memeriksa make up-nya lebih detail.
Nayla menganggukkan kepalanya, dia membuka keran air. "Bareng teman kantor, Mbak Anye sendiri?" Nayla bertanya sembari mencuci tangannya.
"Ketemu client."
Nayla melihat Anyelir yang sedang menarik resleting hand bag miliknya. Entah kenapa, Nayla merasa minder berdiri di sebelah Anyelir yang selalu terlihat anggun.
"Saya duluan ya Nay," pamit Anyelir.
"Mbak Anye tunggu!" panggil Nayla. "Sepertinya, saya ingin membatalkan pemesanan gaun pengantin," tutur Nayla kemudian.
Dahi Anyelir mengerut, alisnya hampir menyatu. "Kenapa?"
Nayla tersenyum tulus. "Maaf banget mengabarinya seperti ini Mbak. Tapi, saya punya alasan lain," tutur Nayla kemudian.
Anyelir terdiam, perasaannya tergelitik. Dia ingin bertanya lebih banyak. Berbagai macam pertanyaan bermunculan di pikirannya. Tentang apakah pernikahan tersebut batal? Atau Nayla hanya ingin pindah designer?
"Pasti kamu punya langganan designer sendiri ya, Nay?" Anyelir bertanya demikian karena ingin memancing pengakuan dari Nayla.
Kedua tangan Nayla terkibas cepat. "Enggak Mbak! Aku hanya sedang ada sedikit masalah dengan Mas Devan," sahut Nayla dengan pandangan merasa bersalah.
Anyelir tidak tahu, dia harus senang atau sedih mendengar kabar tersebut. Logikanya meminta untuk Anyelir merasa senang, tetapi hatinya berkata sebaliknya. Dia merasa tidak pantas berbahagia di atas penderitaan seseorang.
"Maaf ya Mbak Anye. Nanti aku yang akan infokan ke Kak Wenny," ucap Nayla dengan pandangan merasa bersalah.
Anyelir tersenyum tipis. "Nggak papa Nay, kalau kamu berubah pikiran. Kamu tahu dimana butikku, bisa langsung datang dan temui aku," tutur Anyelir tulus.
Keduanya pun keluar dari toilet bersamaan, berjalan berdampingan seperti teman akrab. Berpisah ketika Anyelir harus menuju lantai dua, sementara Nayla menuju mejanya bersama teman-temannya.
Anyelir, dia tiba-tiba merasa bersalah tanpa sebab. Dia seperti seorang penjahat yang diam-diam mengeruk secercah harapan dari kondisi Nayla. Dia seharusnya tidak seperti itu, harusnya Anyelir mengucapkan kalimat-kalimat yang lebih baik lagi, tidak seperti bersyukur atas kemauan Nayla yang membatalkan pesanan gaun pengantinnya.