Bel pertanda istirahat telah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Terlihat banyak murid yang sudah berdesakan di kantin untuk bisa mengisi perut mereka yang kosong.
Begitu pun dengan Senja, gadis itu terlihat mengedarkan pandangannya menyusuri penjuru kantin. Berharap masih ada meja yang kosong untuk ia tempati. Jika biasanya Senja akan ditemani oleh Dilan, maka kali ini tidak. Mengingat Dilan tengah kelelahan dan berbaring di UKS, jadilah Senja pergi sendiri.
Senja dan Dilan itu satu kelas. Mereka begitu dekat satu sama lain layaknya seperti orang pacaran. Namun status mereka tak lebih dari teman. Ketika banyak orang yang menjodoh-jodohkan mereka, mereka akan berkilah sambil mengatakan hanya sebatas teman.
Namun pernah dengar bukan kalau tidak ada persahabatan yang murni antara perempuan dan laki-laki. Jika bukan salah satunya yang jatuh cinta, makanya keduanya saling menyimpan rasa tapi enggan untuk mengutarakannya. Dengan alibi, tidak ingin merusak persahabatan yang sudah dibangun hanya karena cinta.
Hal demikian pun di alami oleh Senja dan Dilan. Jauh dari lubuk hati mereka, sebenarnya tersimpan sebuah rasa cinta dan ingin memiliki. Tapi keduanya sama-sama bungkam. Memilih memendam perasaan itu dalam-dalam. Keduanya pun tidak tahu kalau mereka sama-sama menyimpan rasa.
Senja tersenyum lebar saat melihat satu meja kosong. Dengan langkah ringan, Senja berjalan menuju meja itu lalu mendaratkan tubuhnya di sana.
Senja pun melambaikan tangannya, memanggil pemilik stand makanan di sekolahnya.
"Mbak, pesen mie ayam sama es teh manis, ya?" ujar Senja pada mbak Ina.
Ina pun mengangguk kemudian mengacungkan jari jempolnya. "Siap, Neng."
Kemudian Ina pun kembali ke standnya. Menyiapkan makanan pesanan Senja. Sementara Senja, gadis itu tampak mengeluarkan ponselnya. Berniat ingin berselancar di sosial media miliknya.
Senja bukan termasuk gadis yang aktif di sosial media. Bahkan isi f*******:, serta i********: miliknya saja tidak ada. Foto profilnya pun kosong.
Gadis itu lebih senang menghabiskan waktunya dengan membaca novel. Ah, bahkan ia jarang memiliki waktu luang. Setiap hari, ia selalu membantu bundanya melakukan pekerjaan rumah.
Ponsel yang dimiliki Senja pun merupakan keluaran lama. Sudah termasuk jadul. Namun Senja tidak masalah ataupun protes ke orang tuanya. Baginya bisa untuk berkomunikasi saja sudah cukup. Ia tidak suka yang neko-neko.
Tak butuh waktu lama, Ina sudah kembali sambil membawa nampan berisi semangkuk mie ayam dan segelas es teh pesanan Senja.
Senja tampak berbinar menatap kedua sajian itu. "Makasih, Mbak."
Ina mengangguk sambil tersenyum. "Sama-sama, Neng."
Kemudian Ina pun berlalu dari hadapan Senja. Dengan segera Senja menyantap makanan itu. Senja jarang sekali pergi ke kantin. Kalaupun iya, itu pasti Dilan yang membelikannya. Bukannya apa, hanya saja ia jarang diberi uang saku oleh orang tuanya. Tapi Senja tidak mengeluh, selagi ia masih diberi bekal oleh bundanya, ia tidak masalah. Toh, masakan bundanya adalah makanan terenak di dunia, kata Senja.
Senja tampak lahap sekali menyantap makanan itu. Bahkan sampai habis tak tersisa. Begitupun dengan es teh manisnya juga. Ia pun mengelus perutnya yang terasa kenyang. Senja mengucapkan alhamdulillah sebagai bentuk rasa bersyukurnya karena masih diberikan nikmat untuk merasakan makanan enak di kantin.
Sampai seseorang mendatangi mejanya. Senja memincingkan matanya menatap orang itu. "Ngapain?" tanyanya sinis.
Orang itu tersenyum jumawa. "Ya nemuin lo, Ja."
Senja mendecak. "Senja mau ke kelas," ujarnya sambil bangkit dari duduknya.
Orang itu dengan tergesa-gesa mengikuti langkah Senja. Kemudian menarik tangannya.
Senja pun menepis. "Nggak usah pegang-pegang!" bentaknya.
Orang itu tersenyum tipis. "Tapi kalo Dilan boleh pegang ya, Ja?" tanyanya menatap mata Senja intens.
Senja mendengus pelan. "Karena Dilan temen Senja," jawabnya.
Orang itu menelengkan kepalanya ke samping. Mengintip wajah Senja yang tertunduk. "Terus kalo gue siapa lo?" tanya orang itu.
Senja mendongak. Membalas tatapan orang itu. "Raga cuma mantan Senja."
"Mantan, kan, bisa jadi temen juga," ujar Raga sambil tersenyum lebar.
Senja melengos. Ia kembali melanjutkan langkahnya tanpa menghiraukan Raga yang mengekori di belakangnya. Senja melirik, merasa risih dengan keberadaan Raga.
"Jangan ngikutin bisa nggak, sih?" ketus Senja.
Raga tampak tertawa kecil. "Nggak bisa, Ja. Hati gue maunya ikutin lo terus," ujar Raga dibumbui sedikit gombalan.
Senja mendecih. "Nggak usah gombal. Senja udah nggak tertarik," balasnya membuat Raga kicep.
Senja pun kembali melanjutkan langkahnya. Kini ia tidak peduli dengan Raga yang terus mengekorinya. Toh, ia juga mau ke UKS. Ingin melihat keadaan Dilan terlebih dulu.
Senja menyembulkan kepalanya ke dalam pintu. Dilan tampak tengah memainkan ponselnya. Kemudian ia merasakan tangannya ditarik.
Senja menepis lagi. "Apa, sih?!"
"Ngapain ke UKS?" tanya Raga penasaran.
"Mau jenguk Dilan. Kenapa? Mau ikut?" ujar Senja sambil tersenyum miring.
Raga langsung terdiam kala mendengar nama Dilan. Bahkan raut jenakanya berubah menjadi dingin.
"Nggak," jawabnya kemudian melangkah pergi meninggalkan Senja.
Senja hanya tertawa kecil. Entah kenapa Raga selalu sensitif jika itu menyangkut Dilan. Mereka tampak seperti bermusuhan padahal pernah terlibat interaksi saja tidak.
Senja juga tidak mau bertanya tentang apa yang terjadi pada mereka. Toh, ia rasa Dilan juga perlu memiliki privasi yang tidak seharusnya Senja tahu.
Gadis itu pun masuk ke UKS dan mendapati Dilan tengah duduk sambil memainkan ponselnya. Bahkan lelaki itu tampaknya tidak menyadari kedatangan Senja karena terlalu fokus pada benda pipih itu.
Sampai akhirnya Senja harus menepuk kaki Dilan pelan. Membuat sang empunya terperanjat kaget.
"Senja...." desisnya memanjang karena kesal dikagetkan oleh Senja.
Senja hanya terkikik geli. "Senja nggak ngagetin Dilan, ya. Emang Dilannya aja yang terlalu fokus sama hp," gerutu Senja sambil memajukan bibirnya. Cemberut manja membuat Dilan gemas pada gadis mungil ini.
Dilan pun mencubit pelan pipi Senja membuat Senja mengerang kesal. Menatap jengkel ke arah Dilan.
"Udah makan?" tanya Dilan sambil menyimpan ponselnya ke saku.
Senja mengangguk. "Udah, kok."
"Dibawain bekal sama bunda?" tanya Dilan lagi.
Senja menggeleng. "Hari ini Senja lagi nggak mau bawa bekal. Terus Senja dikasih uang jajan sama bunda," jawabnya sambil tersenyum lebar.
Bohong. Tentu saja gadis itu berbohong. Bundanya tidak pernah memberikan uang jajan pada gadis itu. Dan alasan Senja tidak membawa bekal karena bunda sedang malas memasak dengan alasan kalau adiknya Senja terbiasa makan pagi ketika menjelang siang.
Senja hanya bisa mengerti meskipun hatinya sedikit memberontak. Anak bunda bukan hanya satu, bukan hanya adiknya. Masih ada Senja. Tapi kenapa bunda selalu pilih kasih hanya karena adiknya sedang sakit?
Ingin rasanya Senja melontarkan kalimat itu namun ia tidak sanggup. Ia takut perkataannya akan melukai hati bunda. Tidak apa jika Senja harus mengalah pada adiknya. Ia yakin kalau suatu saat nanti, bunda juga akan menyayanginya.
"Dikasih uang jajan? Nggak yakin gue," ujar Dilan tak percaya.
Dilan, satu-satunya orang yang paham bagaimana kehidupan pahit seorang Senja Aluna. Tentang keluarganya yang pilih kasih, tentang Senja yang harus mengalah, dan semua tentang Senja, Dilan tahu.
Bahkan tentang Senja tidak pernah diberi uang saku pun, Dilan juga tahu. Entah apa yang ada di dalam pikiran kedua orang tuanya sampai tega membeda-bedakan kedua anaknya hanya karena kakaknya Senja tengah sakit.
"Beneran, Dilan. Hari inu bunda sengaja ngasih aku uang jajan karena dia belum masak. Bunda sayang banget, kan, sama Senja?" tutur Senja lagi-lagi menampilkan senyuman lebarnya.
Dilan berdecak. "Nggak usah pura-pura, deh. Paling juga itu uang hasil dari lo kerja," kata Dilan membuat Senja terdiam.
Hasil kerja? Iya. Uang yang dipakai untuk makan tadi memang hasil dari kerjanya sebagai penjaga toko di kedai dekat sekolahnya.
Ah, Dilan. Kenapa dia sulit sekali untuk dibohongi.