4
Tak terasa, ia tiba di depan pintu elevator yang akan membawanya turun ke lobi menara. Karena baru pukul lima sore, suasana masih cukup sepi. Para pekerja di ibu kota bekerja dengan cukup keras. Meski jam pulang sudah tiba, biasanya mereka masih berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Karena jika pekerjaan tidak selesai, esok harinya akan ada pekerjaan lain, yang praktis akan kian menumpuk.
Hanya ada satu orang di dalam elevator saat pintu terbuka. Viona melangkah masuk. Tepat saat pintu akan menutup, tangan berkulit kecokelatan menahannya. Viona mendongak dan seketika dadanya berdesir tatkala melihat Christian berdiri di hadapannya, lalu masuk ke dalam elevator.
"Kebetulan sekali," ujar Christian sambil mengambil posisi di samping Viona.
Viona tersenyum tipis.
"Kita pulang bareng saja," ucap Christian tanpa basa-basi.
Viona menatap Christian terkejut. "Tapi …."
"Kita searah, lagi pula lebih cepat sampai jika kau pulang denganku. Kau bisa punya banyak waktu untuk beristirahat sebelum mengemas barang-barangmu."
Viona menatap mata gelap di depannya hampir tak berkedip. Dari mana atasannya itu tahu kalau ia akan mengemas barang-barang? Apakah Navia yang memberitahu? Namun sepertinya hal itu tidak mungkin. Selama ini Christian hampir tidak pernah berbicara dengan Navia, karena urusan pekerjaan mereka jarang berhubungan langsung. Christian lebih banyak berhubungan dengan para manajer dan kepala devisi. Lalu dari mana? Apakah Christian mendengar pembicaraannya dengan Navia?
Pintu elevator terbuka.
Dua wanita dan satu pria masuk membuat elevator mulai terasa sesak. Akhirnya mereka tidak melanjutkan percakapan. Apalagi, menurut Viona, dua wanita muda tersebut bertingkah menyebalkan. Keduanya tampak berusaha menarik perhatian Christian dengan suara manja dan geliatan tubuh yang menggoda saat mengobrol satu sama lain.
Tanpa sadar Viona menghela napas kesal. Berharap elevator segera tiba di lantai tujuannya dan ia bisa segera angkat kaki.
***
Setelah berpuluh-puluh menit menyusuri jalanan yang cukup padat dalam kebisuan, akhirnya mobil Christian berhenti di pelataran parkir kondominium Viona.
"Terima kasih," ujar Viona pelan, lalu melepas sabuk pengaman, membuka pintu mobil dan turun.
Christian memutari mobil dan berdiri di sampingnya.
"Aku rasa ...." kalimat Viona menggantung.
Christian mengangkat alis. Bertanya tanpa suara akan kelanjutan kalimat Viona.
"Emm …, Maaf, Christian. Malam ini aku tidak bisa menerima tamu.”
"Maksudmu aku tidak boleh mampir sejenak ke kondominiummu?" tanya Christian dengan nada tajam.
Viona menelan ludah. "Aku ..., aku sedang ada sedikit pekerjaan. Aku merasa tidak enak padamu jika kau bertamu dan terganggu dengan kesibukanku nanti," ucap Viona ragu-ragu dengan kata-kata yang terdengar ia pilah-pilih sebaik-baiknya.
"Aku tak mungkin terganggu. Ayolah. Aku sudah tak sabar menyesap kopi buatanmu. Kau tahu? Aku pecinta kopi sejati, dan aku suka kopi buatanmu. Sangat nikmat."
Viona tersenyum kaku dan menghela napas pelan. "Baiklah."
Jawaban itu membuat Christian sangat puas.
***
"Kau akan pindah?" tanya Christian. Setelah hampir satu jam bertamu, bahkan dihidangkan makan malam sederhana oleh Viona, kini wanita itu meminta izin untuk mengemas barang-barangnya.
Viona mengangguk samar, "Ya. Ada yang membeli kondominium ini," kata Viona sambil membuka lemari tempat menyimpan gelas dan piring bersih.
"Sudah menemukan tempat tinggal baru?"
Viona menggeleng muram.
Tentu saja, tidak mungkin Viona bisa mendapatkan tempat tinggal baru yang nyaman dalam waktu singkat.
"Daripada pusing mencari tempat tinggal baru, lebih baik kau tinggal di kondominium milikku saja, Vi," ucap Christian sambil menghampiri Viona. Ia membantu mengeluarkan gelas dan piring dari lemari.
Tak sengaja tubuh mereka bergesekan membuat keduanya terdiam sesaat. Mata keduanya beradu.
Christian dapat melihat rasa gugup di mata cokelat keemasan yang menatapnya tak berkedip itu.
Lama keduanya beradu pandang. Sampai akhirnya Viona-lah yang lebih dulu mengalihkan pandangan dan menarik tubuh sedikit menjauh dari Christian.
"Aku tidak mau merepotkanmu."
"Aku tidak merasa direpotkan," tukas Christian cepat. Sedikit merasa kesal dengan sikap Viona yang terlalu mandiri dan keras kepala. Jika wanita lain saja, pasti langsung menyambar kesempatan itu.
Viona hanya diam. Ia menyusun beberapa piring dan gelas ke dalam kardus.
Melihat itu, Christian semakin kesal, tidak ada cara lain. Ia harus melakukan sesuatu.
***
Sepanjang hari Viona bekerja dengan perasaan suram mengingat harus mencari tempat tinggal baru dalam waktu singkat.
Dan sore harinya, saat akan pulang kerja, kesuraman sepanjang hari berubah menjadi kenyataan yang paling buruk. Viona ingin menangis setelah menerima panggilan tak terduga dari sepupunya. Dinie dengan suara sangat menyesal meminta maaf dan mengatakan kalau pembelinya esok hari sudah menginginkan kondominium tersebut. Sepupunya itu merasa bersalah. Bahkan menawarkan menginapkannya di hotel untuk sementara waktu. Namun Viona menolak dengan halus dan berbohong kalau ia sudah mendapatkan tempat tinggal baru. Viona tidak mau merepotkan Dinie yang sudah sangat baik kepadanya selama ini.
Dengan wajah muram Viona meninggalkan kantor. Sepertinya tidak ada pilihan lain, ia harus tinggal di rumah orangtuanya untuk sementara waktu sampai menemukan tempat tinggal baru yang nyaman dan dekat dengan tempat kerjanya.
Tadi pagi Navia sudah mengabarinya bahwa di tempat tinggalnya tidak ada lagi kamar kosong yang bisa disewa. Viona kecewa. Namun akhirnya pasrah.
Dan sepertinya berita dari Dinie belum cukup membuatnya harinya buruk, karena saat keluar dari menara dan akan berjalan kaki menuju halte bus, mobil sport berwarna merah berhenti di dekatnya, dan dengan suara tegas Christian memaksanya untuk masuk.
Viona sudah tak punya tenaga untuk berdebat atau menolak. Lagi pula ia harus buru-buru pulang untuk menyelesaikan pengemasan barang-barang dan segera angkat kaki.
Mobil bergerak perlahan dalam padatnya lalu lintas. Waktu terasa berjalan lamban. Perjalanan menuju kondominiumnya serasa berabad-abad bagi Viona. Akhirnya begitu tiba, ia segera mengucapkan terima kasih kepada Christian dan keluar dari mobil.
Kali ini ia membiarkan saja Christian mengikutinya. Ia benar-benar sedang tidak dalam suasana hati ingin berbicara, bahkan sepatah kata pun.
Begitu masuk ke kondominium, Viona segera menyiapkan segelas kopi, berikut dua potong cake cokelat. Setelah mempersilakan Christian menyantap cake dan meminum kopi buatannya, tanpa banyak omong, Viona meninggalkan Christian dan masuk ke kamar. Dengan muram ia mulai mengeluarkan semua pakaiannya dari lemari.
Dada Viona sesak. Ia menerima kenyataan jika harus pindah dari kondominium yang sejak lama ia huni. Yang membuatnya sedih adalah waktu yang ia miliki terlalu singkat. Ingin Viona memaki si pembeli yang benar-benar tak punya etika dan perikemanusiaan, tapi siapa pembelinya, Viona tidak tahu. Dan jika pun tahu, Viona tak mungkin berani melakukan hal itu, pastinya.
Pintu kamarnya yang terbuka membuat Viona menoleh. Terlihat Christian berdiri di ambang pintu.
"Maaf sedikit lancang. Aku hanya merasa bosan duduk sendirian," kata Christian dengan senyum tipis.
***
Love,
Evathink
Follow i********:: evathink