SERIGALA BERBULU DOMBA

1416 Kata
“Kecurigaanmu benar.” “Semuanya?” “Ya, semuanya.” “Ini, lihatlah bukti-buktinya.” Namun, titik pandangnya teralihkan. Sosok Helia yang berlari di lorong berdinding kaca sontak mengacaukan fokus dan emosinya. “Kamu mau ke mana?” sergah lawan bicaranya. “Simpan bukti itu untukku.” Hanya itu yang Arani katakan, hingga ia meraih Helia dalam keadaan kacau, membawa adiknya itu dari pesta bisnis yang masih berlangsung. Yang Arani tak perhitungkan, keduanya nyaris kehilangan nyawa dalam pelarian tersebut. Arani meringis, lalu menghela napas panjang, membuyarkan memori buruk yang sontak membuat nyeri di seluruh tubuhnya terasa berkali-kali lipat. Matahari siang menembus tirai ruang rawat inap Arani, menyisakan tarian bayangan di lantai. Namun, sekalipun Versailles cerah di luar sana, kehangatannya tak memeluk Arani. Ruang rawat itu tetap terasa dingin baginya. Kosong. Dan menyesakkan. Tangannya naik perlahan, meraba perban di kepalanya yang terasa ketat, selang infus terlihat menjuntai, sementara nyeri menusuk setiap kali ia menarik napas terlalu dalam. Dan yang paling menyita pikirannya adalah kabar terbaru tentang Helia yang belum juga ia dapatkan lagi. Ia baru saja ingin menekan bel untuk memanggil perawat saat terdengar ketukan di pintu kamarnya. Helia diam saja, lalu pintu itu terbuka pelan. Dua pria asing melangkah masuk. Dari postur dan gesture mereka sepertinya adalah penyidik. “Bonjour, Mademoiselle Janitra,” sapa salah satunya, “Kami dari kepolisian, ingin sedikit keterangan mengenai kecelakaan hari Sabtu malam. Hanya beberapa pertanyaan ringan.” Arani memperhatikan keduanya, lalu mengangguk lemah. Petugas pertama duduk di samping kirinya sambil menggenggam perekam suara, sementara yang lain berdiri di ujung ranjang, bersiap mencatat. “Kami mulai dari awal,” ujar petugas di dekatnya. “Sebelum kecelakaan. Anda dari mana? Dengan siapa?” Arani menarik napas pelan. “Dari pesta bisnis. Ayah dan ibuku memiliki perusahaan kosmetik yang berpusat di Surabaya-Indonesia, kami sedang berusaha memperluas pasar produk kami,” jawabnya. “Tapi, di tengah pesta, adik saya terlihat kurang baik, jadi saya mengajaknya pulang ke hotel.” “Apa Anda yakin dalam kondisi baik untuk mengemudi? Misalnya, tidak mengantuk, tidak sambil menggunakan gadget, atau mungkin Anda bertengkar dengan Adik Anda?” tanya petugas di ujung ranjang. “Saya sadar penuh,” tanggap Arani. “Bukankah situasi saat kecelakaan bisa kalian dapatkan dari rekaman kamera dashboard?” Penyidik di sampingnya menggeleng. “Tidak ada, Mademoiselle.” “Tidak ada?” “Ya, kameranya tidak memiliki kartu memori.” “Bagaimana mungkin?” “Masih kami selidiki lebih lanjut.” Petugas itu mengubah posisi duduknya. “Lalu… beberapa saksi menyebutkan ada mobil lain di jalan yang sama. Dan dari pemeriksaan terhadap kendaraan yang Anda dan Adik Anda gunakan, ada bekas benturan—seperti tabrak belakang. Bisa Anda jelaskan soal itu?” Pertanyaan itu langsung menghantam d**a Arani. Cahaya lampu yang menyilaukan, klakson singkat di belakang, suara Helia yang memohon agar ia mempercepat laju. Dan satu unit mobil bercat gelap yang menempel bumper mereka. Arani menegang. “Saya… ingat ada lampu,” ujarnya. “Terang sekali. Terlalu dekat.” “Pengemudinya terlihat?” Arani berusaha membuka memori itu lebih dalam — namun setiap kali ia mencoba, bayangan kecelakaan menyeruak dan tubuhnya gemetar. “Mademoiselle?” “Tidak. Terlalu silau untuk melihat siapa di balik kemudi,” jawab Arani. Dan dari sudut matanya, di balik kaca jendela pintu, ia melihat siluet seseorang berdiri, seolah tengah menguping atau memantau ruangan ini. Firasatnya langsung bicara. ‘Gavin!’ Betul memang. Gavin yang berdiri di balik pintu. Ia ingin menemui Arani, namun didahului dua penyidik. Gavin menunggu, berdiri di lorong. Pendengarannya ia fokuskan, menangkap dialog sama di kamar Arani, mengawasi. Jantung Arani mencelos. Selama tiga hari ia tak sadar, Gavin bisa melakukan apa saja, bukan? Misalnya bicara dengan polisi, menciptakan versi ceritanya sendiri terkait kondisi Helia, menghapus bukti, bahkan mungkin menyiapkan saksi untuk memperkuat alibinya—berjaga-jaga jika ia terseret ke dalam skenario kecelakaan. “Ada yang ingin Anda sampaikan pada kami, Mademoiselle? Apa pun itu untuk mempermudah kami menyelidiki,” ujar penyidik di sampingnya lagi. Arani menimbang-nimbang. ‘Apa yang terjadi jika aku mengatakan Helia dalam keadaan kacau setelah melihat perselingkuhan Gavin? Apakah CCTV di venue masih aman? Apa Gavin sudah mengatakan sesuatu ke penyidik? Jika sudah, apa yang dia katakan? Apakah dia memutarbalikkan cerita? Jika aku membeberkan kejadian sebenarnya, apa akan dianggap halusinasi akibat trauma? Atau Helia bisa menjadi target berikutnya? Sialan, Gavin! Brengs3k!’ “Mademoiselle?” Petugas itu membuyarkan kekalutan pikiran Arani. “Mademoiselle? Apakah ada orang yang Anda curigiai?” Di ruang yang tenang itu, untuk pertama kalinya, Arani benar-benar memahami betapa bahayanya Gavin bagi keluarganya. Ia menelan ludah. Mengatur napas. “Saya berusaha mengingat, tapi tidak menemukan petunjuk apa pun,” ujarnya akhirnya. Kedua petugas mengangguk. “Baik. Itu sudah cukup untuk sementara. Jika Anda ingat sesuatu lagi, tolong beritahu kami.” Mereka lalu meninggalkan ruangan. Pintu perlahan tertutup kembali. Namun, sebelum celah itu menutup sempurna, Arani melihat Gavin yang berbicara dengan ekspresi sendu, seolah ia adalah orang yang paling menderita menghadapi kecelakaannya dan Helia. Perutnya Arani menegang. Rasa takut dan amarah membakar tekadnya. *** Arani buru-buru menyeka air matanya saat pintu kembali terbuka. Gavin masuk bersama Fabian—orang kepercayaan pria itu. Anehnya, Gavin tetap tampak perlente. Rapi, wangi, dan pastinya... tenang. Seolah ia baru menghadiri makan siang bisnis dengan investor, atau bahkan habis berkencan, bukannya dari menunggui tunangannya yang tengah berjuang di antara hidup dan mati di ruang ICU. “Arani,” sapanya lembut — seakan-akan khawatir nada yang sedikit tinggi membuat Arani pecah berkeping-keping. “Bagaimana keadaan kamu?” Arani tak menjawab langsung. Ia hanya menatapnya, mempelajari ekspresi di wajah Gavin lapis demi lapis. “Aku lega karena kamu akhirnya sadar. Menurut Dokter, kamu sudah melewati masa bahaya,” ujar Gavin lagi. ‘Lega? Helia bahkan masih kritis dan kamu sudah lega?’ “Di mana Mama dan Papa?” balas Arani. “Sedang bicara dengan Dokter soal keadaan Helia,” jawab Gavin. “Dan bagaimana keadaan Helia?” Gavin menarik kursi. Duduk di tempat penyidik yang datang sebelumnya merekam penuturannya. Sebentara itu, Fabian berbalik. “Jangan pergi!” pinta Arani pada asisten pribadi Gavin itu. “Tetaplah di ruangan ini.” “Kenapa?” tanya Gavin. “Aku tidak nyaman hanya berdua denganmu.” Gavin menyeringai. Fabian diam di posisinya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujar Arani lagi. “Bagaimana keadaan Helia?” “Hmm... ada banyak luka. Trauma kepala berat. Tulang wajah retak. Pendarahan. Dokter bilang—” Gavin menghela napas, ekspresinya tampak seperti seseorang yang begitu berduka. “—dia masih koma. Dan tidak ada yang bisa memprediksi kapan dia akan bangun.” Arani meremas tepi selimut erat-erat. Di saat itulah, dari seringai singkat saat Gavin menunduk, Arani tau jika pria itu menyimpan ceritanya sendiri. Gavin tidak datang ke ruamh sakit untuk Helia. Ia datang untuk memastikan statusnya aman dan namanya tak ikut terseret. Demi menjaga reputasi, jika perlu untuk menciptakan narasi baru. Atau bahkan untuk menyingkirkan kebenaran. “Bukankah ada yang harus kamu katakan padaku?” tanya Arani kemudian. Gavin mengangkat pandangannya kembali. “Apa itu?” “Apa yang terjadi di pesta, Gavin?” Pertanyaan Arani meluncur datar — namun dengan sorot mata tajam. Sekilas mata Gavin berkedut. Lalu ia tersenyum, tanpa dosa. “Helia sedang emosional. Dia salah sangka. Aku mencoba menenangkan dan mengejarnya. Lalu ada kamu, dan kalian berdua menghindariku.” Arani menatapnya. Dingin. “Kami menghindarimu?” “Aku memanggil kalian jika kamu lupa.” Arani memalingkan titik pandangnya, sejenak bersirobok dengan Fabian yang berekspresi datar. Ia menghela napas panjang sambil menahan nyeri di dad4. “Jadi, kamu mau bilang kalau kamu tidak tau kenapa Helia menangis dan sekacau itu?” “Aku memang tidak tau,” jawab Gavin cepat. Ia kesal, dan itu tampak jelas. “Kamu mau aku mengerahkan orang-orang untuk mencari tau drama yang membuat tunanganku menangis dan tiba-tiba saja memutuskan pertunangan kami? Siapa tau tiba-tiba muncul bukti jika dia mengkhianatiku.” ‘Mengerahkan orang-orang?’ ‘Tiba-tiba muncul bukti yang menempatkan posisi Helia sebagai pelaku?’ ‘Brengs3k!’ ‘Dia yang mencelakakan kami! Pasti! Aku hanya perlu mencari bukti kuat!’ Arani menutup matanya, berusaha menguasai amarahnya. “Arani…” Gavin berdiri, meletakkan tangan di bahu Arani — sentuhan yang membuat Arani ingin menggosok keras kulitnya sendiri. “Aku tidak akan menyimpan sakit hati. Aku yakin, Helia punya alasan memutuskanku. Dan aku mau kamu tau, aku ada di sini untuk keluarga kalian.” Arani bergeming, menolak membuka mata. “Aku pamit dulu,” ujar Gavin kemudian. “Semoga kamu cepat sembuh.” Aroma parfum pria itu menjauh, lalu terdengar suara pintu menutup pelan. Dan udara di kamar terasa lebih tipis dari sebelumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN