“Helia!”
Helia mengabaikannya. Ia berbalik, menarik pintu, lalu berlari tanpa menghiraukan heels-nya yang terlepas.
“HELIA! BERHENTI! KUBILANG BERHENTI!” pekik Gavin, amarahnya memuncak begitu saja. Ia benci jika kontrol lepas dari tangannya.
Tidak, Helia tak mungkin menurunkan laju. Ia terus berlari.
Hingga... di batas koridor ia berpapasan dengan Arani. Kakaknya itu langsung meraih lengannya. “Helia—ada apa? Muka kamu… siapa yang—”
Namun Helia hanya terisak keras, tubuhnya bergetar syok. “Kak… Gavin… Zetta… dia—dia—”
Arani tak menunggu penjelasan lengkap. Ia langsung menarik Helia menjauh. “Kita balik ke hotel. Sekarang.”
“Helia!” Gavin memanggilnya lagi, namun akhirnya langkahnya berhenti saat mendapati Helia kian menjauh bersama Arani.
Ia meraih ponselnya dengan geram, menekan sebuah nomor. “Helia melarikan diri bersama Arani. Kejar mereka!” titahnya dingin, tanpa memalingkan muka dari punggung kedua kakak-beradik yang semakin jauh itu. “Bawa mereka ke hotel.”
***
Udara malam Versailles terasa menusuk kulit, dingin dan berat.
Helia dibimbing masuk ke mobil sewaan mereka oleh sang kakak, masih menangis sesenggukan—tak terkontrol, bukan hanya karena kesedihan, namun juga karena keterkejutan yang belum bisa tubuh dan pikirannya cerna. Arani masuk ke kursi pengemudi, tangannya dialiri amarah, namun ekspresinya tetap terpasang dingin.
“Helia, dengar aku,” ujarnya. “Tarik napas.”
Helia menggeleng, semakin keras menangis. “Dia… m-mereka binatang! Zetta… mem—” suaranya terputus-putus oleh cegukan yang menyakitkan.
Arani menyalakan mobil. “Tenang dulu,” ujarnya lagi sambil meraih selimut tipis di kursi tengah, menyelimutkan ke tubuh adiknya. “Kita cari udara segar.”
Namun baru beberapa meter mobil melaju, Arani melihat pantulan lampu yang terlalu dekat di kaca spion.
Sebuah mobil bercat hitam mengikuti mereka. Terlalu dekat.
“Dek…” gumamnya. “Ada yang ngikutin kita.”
Helia belum bisa mengontrol dirinya. Pukulan tadi, pengkhianatan tadi, seolah mengoyak mentalnya dalam satu jentikan jari. “Mereka... bercin—“ Ia menggeleng cepat. “Mereka berhubungan seperti binatang. Zetta lagi. Gavin—“
“Mukul kamu?”
Helia mengangguk kaku.
“b******k!” geram Arani.
“Kak… aku takut—”
“Helia, fokus!” potong Arani, matanya tetap memandang kaca spion. Mobil di belakang semakin mendekat, mungkin hendak memaksanya berhenti. “Lihat aku.”
“Aku… lihat mereka sendiri…” Helia terisak lagi, kepalanya kian pusing karena kombinasi efek menangis berlebihan dan tamparan keras tadi. “Aku—”
“Helia! Dek, please... tenang dulu—”
‘BRAK!’
Sedan hitam itu menabrak bagian belakang mobil mereka.
“Sialan! b******k!” Arani memaki, menggenggam setir lebih erat. “Helia, pegangan!”
Helia memekik, tubuhnya terdorong ke depan lalu ke belakang seiring dengan pergantian pedal yang Arani injak. Tangisnya berubah menjadi ekspresi histeris penuh ketakutan.
Mobil hitam itu kembali mengejar—lebih agresif.
“Kak!” Helia meraung. “Berhenti! Berhenti, Kak!”
“Kalau aku berhenti, mereka bisa—”
‘BRAKK!’
Tabrakan kedua membuat mobil mereka hampir keluar jalur. Roda belakang slip, serpihan pasir di tepi jalan memercik.
Helia menangis makin kencang, muntahan seolah terkumpul di tenggorokannya. “Kak, aku takut! Kak!”
“Helia! Kumohon tenanglah!” pekik Arani, mencoba menjaga arah kemudi sambil melawan rasa panik. “Pegangan yang kuat!”
Mobil belakang menabrak lagi—lebih keras. Arani tidak sempat menghindar, karena Helia tiba-tiba meraih lengan Arani dengan histeris, memeluknya sambil menangis keras.
“Kak!”
“HELIA! TENANGLAH! TENANG, HELIA!”
Terlambat!
Setir berbelok liar.
Ban depan menghantam trotoar batu.
Mobil berputar.
Lampu-lampu jalan memanjang menjadi garis-garis cahaya.
Helia menjerit.
Tubuhnya terlempar ke samping.
Arani masih mencoba memegang setir dan menahan tubuh Helia sekaligus.
Namun semua terlalu cepat.
Laju terlalu kencang.
Mobil mereka menghantam pembatas besi.
Bunyi dentuman logam memecahkan awal malam di Versailles.
Kaca pecah.
Dunia berputar dengan kecepatan hebat.
Helia merasakan sesuatu menghantam keras wajahnya, kali ini lebih fatal dari tamparan Gavin.
Lalu gelap... total!
***
Pont des Amoureux d’Or, Versailles.
Jembatan Para Kekasih Emas, nama yang diberikan oleh penduduk lokal. Bukan karena jembatannya berlapis emas, melainkan karena warna matahari terbenam yang kerap memandikannya setiap senja. Angin malam berembus lembut di sana. Danau Neuve memantulkan cahaya fairy lamp yang bergelantungan di sepanjang badan jembatan, tenang dan mendamaikan.
Bintang duduk sendirian di bangku kayu, jaket cokelatnya tertutup rapat. Di sampingnya, termos teh dan dua cangkir kertas.
Ia kembali menatap arloji di pergelangan tangan.
Senja sudah pergi, malam baru saja menyentuh tempat itu.
Ponselnya bergetar lagi. Ia membuka layar. Masih tak ada pesan baru dari nama yang ia tunggu.
Helia.
Hanya ada satu pesan yang masuk dan itu dari seorang teman yang seharusnya juga ikut piknik ‘menunggu senja’ tersebut.
Aimée: Bagaimana? Helia sudah datang?
Bintang segera membalas.
Bintang: Belum. Apa kamu berhasil menghubunginya?
Aimée: Belum juga. Dan aku khawatir.
Bintang: Mungkin dia sudah dalam perjalanan ke sini.
Aimée: Kabari aku jika dia sudah datang ya? Dan suruh dia membaca pesanku.
Bintang: Oke.
Aimée: Selamat bersenang-senang.
Ia lalu menggulir layar lagi, membaca ulang chat-nya dengan Helia tadi siang.
Bintang: Izora, bisa ketemu sebentar sebelum pesta? Kamu bilang belum pernah melihat sunset secantik Paris? Aku tau tempat sunset paling bagus di Versailles, bahkan menurutku lebih bagus dari sunset di Paris. Kamu pasti suka. Aku bawa teh, aku buat berdasarkan takaran resep kamu.
Jawaban Helia muncul beberapa menit kemudian.
HeliaIzora: Pesta bisnisnya berlangsung dari sore. Sepertinya aku harus menolak. Maaf, Bintang.
Bintang: Aku menyewa mobil. Sehabis melihat sunset, aku akan mengantarmu ke venue pesta. Anggap saja farewell party sebelum kita pulang ke Indonesia? Bagaimana? Aku mengajak Aimée, jaga-jaga kalau kamu ngga nyaman hanya berdua denganku. Aku janji, sebentar saja. Aku juga membuat parfum untukmu, yang waktu itu kamu bilang wanginya paling enak. Walau hanya satu vial.
Balasan selanjutnya masuk beberapa menit kemudian.
HeliaIzora: Oke. Hanya secangkir teh dan berikan parfum itu padaku.
Bintang: Pasti! Aku jemput?
HeliaIzora: Tidak usah. Katakan saja di mana.
Bintang: Pont des Amoureux d’Or.
HeliaIzora: Oke.
“Seharusnya kamu sudah datang sekarang,” gumamnya, bermonolog. Ia menuang teh hangat ke salah satu gelas, uapnya naik ke udara dingin. “Paling tidak untuk mencaci maki parfum buatanku.”
Bintang mengangkat gelas itu menghidu dalam-dalam. Wangi teh hitam dengan sedikit notes buah dan hint melati menghangatkan dadanya. Aroma yang ia racik khusus, terinspirasi dari resep Helia dan senyum perempuan itu setiap kali melihatnya di tea house kecil di sudut lain kota ini.
Saat ia cicipi di flat-nya tadi, Bintang begitu yakin jika Helia akan suka. Tapi kini, bahkan wanginya pun terasa terlalu hambar.
Di kejauhan, samar-samar ia bisa mendengar suara sirene. Satu. Lalu dua. Menggema samar, seolah memantul di permukaan air dan dinding-dinding batu bangunan tua.
Bintang menegakkan punggung. Kepalanya menoleh ke arah asal suara tanpa sadar.
Firasat dingin merambat dari tengkuk ke tulang punggungnya. Ia mencoba menepisnya—Versailles kota besar, kecelakaan bisa terjadi di mana saja, pada siapa saja. Lagipula Helia bersama keluarganya, bisa saja mereka melarang gadis itu pergi sejenak.
Tapi entah kenapa, Bintang merasa ada sesuatu yang salah.
Ia menatap gelas teh kedua yang masih kosong di sampingnya.
Gelas yang ia sediakan untuk seseorang yang tak pernah datang.