MATAHARI YANG BERSINAR LAGI

1173 Kata
Sembilan bulan kemudian Gavin dan Arani masih belum menikah. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tetapi ikrar suci tak juga terucap. Anehnya, keduanya seperti tak memusingkan fakta itu sama sekali. Gavin terlalu sibuk menyelamatkan perusahaannya yang terus tak mencapai target penjualan. Sementara Arani terlalu sibuk menstabilkan Janitra Corporation sebagai akibat panjang dari mundurnya investor besar mereka lebih dari setahun yang lalu. Helia menyaksikan itu semua tanpa berkomentar, tanpa perasaan. Kepeduliannya pada usaha keluarga benar-benar menghilang. Sampai suatu malam, saat makan bersama lagi, Helia kembali memastikan sesuatu. “Kalau posisi aku di Janitra… sekarang gimana? Dokter bilang, aku sudah bisa bekerja secara normal.” Semua menatapnya. “Berdasarkan meeting pemegang saham—“ “Kalian meeting tanpa ngasih tau aku?” Helia memotong kalimat Arani. Sang kakak menatapnya lekat, tak ada gentar di sorotnya. “Iya,” sahutnya. Helia menyeringai. Arani tak peduli. “Dan berdasarkan keputusan bersama… kami ngga bisa nerima kamu kembali bekerja di Janitra. Kita perlu stabilitas, dan untuk posisi itu, kita butuh seseorang yang fit fisik dan psikis.” Helia sama sekali tak terganggu dengan jawaban itu. Ia hanya mengangguk. Tak bertanya alasan lebih lanjut. Tak bertanya siapa yang melempar voting penolakannya. Tak pula bertanya apakah Gavin yang mempengaruhi Arani. Yang Helia tanyakan justru hal lain. “Kalau gitu… apa baiknya aku lepas sahamku juga?” Yudi tertegun. Munik menoleh cepat. Karena pertanyaan itu lebih terdengar seperti ‘persetan dengan perusahaan!’ “Helia....” Arani mencoba menurunkan tensi di ruang makan mereka. “Bisa, nanti Papi urus,” potong Yudi. Nadanya terdengar kesal. Mungkin, Yudi hendak memberi Helia pelajaran karena sudah bicara semaunya. “Dividen dan profit kuartal dua akan Papi transfer ke rekening kamu.” Helia mengangkat wajahnya. “Oke. Aku mau pakai untuk buka kafe di Jakarta.” Tersua hening kembali. Arani menatapnya lekat-lekat. Rahang Yudi mengetat. Munik langsung gelisah. “Jakarta? Kamu ngga waras? Kondisi kamu belum stabil, Helia!” cecar Munik. “Terus Mami maunya aku ngapain? Situasinya jelas kok, ngga ada tempat buat aku di Janitra. Entah karena aku dianggap ngga kompeten, atau Mami, Papi, dan Kak Arani khawatir aku bikin suasana kerja jadi ngga nyaman karena saat ini sudah di tahap akhir persiapan merger Janitra dan Laksmana,” balas Helia. “Tapi ngga ke Jakarta juga, Helia! Kita ngga punya keluarga dekat di sana.” Helia terkekeh. “Di sini pun aku hidup sebatang kara, kok Mi,” tanggap Helia tenang. Nada suaranya datar. Terlalu datar dan terlalu dingin untuk seseorang yang sebelumnya dikenal lembut. Munik menutup mulut, matanya membesar. Yudi terdiam, tidak menyanggah. Arani menyandarkan punggung, wajahnya kaku namun sorot matanya meredup. “Buka di Surabaya saja, Ya,” ujar Yudi lagi. Suaranya melembut. “Setidaknya, kita masih tinggal di satu rumah.” Helia menatap mereka satu per satu. Tidak marah. Tidak menangis. Hanya jujur. “Apa Papi pikir, Helia bicara seperti ini untuk bertahan tinggal di rumah ini?” “Helia....” “Kita semua tau, Helia sudah mati di kecelakaan yang bahkan aku ngga ingat pernah terjadi.” “Dengar Papi, nak—“ “Gimana kalau kali ini Papi yang dengar Helia?” Yudi tertegun. “Helia ngga akan minta didengar lagi setelah ini.” “Segitu marahnya kamu sama Papi? Sama Mami? Sama kakakmu? Kami semua sibuk, nak. Bukan karena sengaja membuat kamu merasa sebatang kara.” “Kalian sengaja,” sahut Helia. Lembut, namun tegas—tak mau disanggah. “Aku ngga apa-apa. Jadi, ngga usah berbohong.” “Kamu pikir gampang buka usaha di Jakarta?” Arani masuk ke dalam percakapan. Helia menoleh, menatap dingin pada kakaknya. “Ngga usah sok perhatian, Kak. Urus aja Gavin, perusahaan, dan diri Kakak sendiri.” “Helia!” sentak Munik. “Bayar aja hak aku,” lanjut Helia, datar. “Lalu aku akan pergi, seperti yang kalian semua harapkan setahun lalu.” Kata-kata itu menampar ketiganya. Munik mulai menangis terisak, menutup wajah dengan tangan. Yudi mencoba bicara tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Arani hanya menatap adiknya, ‘topengnya’ sedikit retak—ada rasa bersalah yang sulit disembunyikan, namun ia tak mengucapkan apa pun. Tak bisa. Helia berdiri dari duduknya. Tenang. Bungkam. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar memilih dirinya sendiri. *** Tiga bulan berselang Jakarta, malam hari. Hujan baru saja reda. Lampu-lampu kota memantul di genangan air. Bintang baru selesai memeriksa stok bahan parfum di butiknya kala ponselnya berdering. Daim. Seorang pemuda yang sudah ia anggap adiknya sendiri—putra sulung dari pasangan yang ikut bekerja dengan orangtua Bintang sejak dua puluh tahun lalu. “Assalamu’alaikum,” sapa Bintang. “Wa’alaikummussalam,” jawab Daim. “A, ini motor abdi mogok,” keluhnya. “Kayaknya gara-gara kena banjir semalam.” “Jangan bilang maneh ngga bisa ke apartemen urang. Masa urang makan lauk segitu banyak sendiri? Tadi Bunda udah wanti-wanti, harus dikasih ke maneh sebagian, biar ngga kurang gizi. Paham?” Daim terkekeh. “Atuh kumaha, ya A? Ini aja masih antri da. Bengkel aja penuh. Mana banjir lagi tuh jalanan.” “Maneh teh di mana?” “Di bengkel… deket SCBD.” “Shareloc weh. Tunggu situ. Urang samper.” Lepas telpon ditutup, Bintang bergegas meninggalkan butik, meluncur di jalanan Jakarta dengan Vespa biru mudanya. Beberapa saat kemudian, ia tiba di bengkel yang Daim maksud. Helm biru gelap masih menempel di kepala, jaket denim basah oleh sisa gerimis. “Heh!” panggil Bintang. Daim menoleh, mendekati Bintang. “A, anterin abdi sebentar.” “Ke mana?” “Ke tempat penumpang langganan,” jawab Daim. “Barusan nelpon, ada barangnya yang ketinggalan di bagasi.” Ia mengangkat sebuah tas belanja berwarna kuning lembut. “Urang juga ngga inget. Lupa.” “Boros maneh! Lupa ya ngga inget!” “Oh iya, bener.” “Buruan naik. Tunjukin jalannya.” Vespa itu melaju melewati lampu-lampu SCBD yang berkelip hingga akhirnya berhenti di depan sebuah ‘tea house & café’ mungil bergaya modern-paris. Daim turun. “Tunggu bentar, ya A.” Bintang mengangguk. Daim mengayun langkah, terdengar ketukan di pintu kaca beberapa kali, lalu suara bel yang berdenting saat pintu terbuka. Bintang tetap duduk di motor, menunggu. Namun saat pandangan menyapu, dan tertuju ke dalam kafe... ia berhenti bernapas sejenal. Tertegun. Di balik konter bar, dengan apron hijau tua dan rambut diikat rapi, seorang perempuan tampak tengah menyeduh teh. Gerakannya anggun, pelan, dan teliti. Sorot lampu jatuh di wajahnya—wajah yang dulu pernah Bintang bayangkan penuh luka, penuh perban, penuh jahitan. Wajah yang terakhir kali ia ingat begitu pias, lelah, dan sendu. Namun kini... wajah itu terlihat begitu tenang. Tangan Bintang melemah di stang vespa. Seluruh tubuhnya seolah ditarik kembali ke tepi danau Versailles. Ia sembuh. Ia berdiri tegap. Ia bekerja, melakukan sesuatu yang disukainya. Bintang tersenyum. Meski matahari hatinya tak menoleh. Meski gadis itu tak mengenalinya. Meski ia hanya mendengar kabarnya dari seorang teman di rumah sakit tempat Helia menjalani terapi selama satu tahun terakhir. Ia cukup bahagia, Izora akhirnya benar-benar terlihat hidup. Dan mungkin... ini adalah jalan dari Tuhan untuk mendekatkan mereka kembali. Membuka pintu kesempatan bagi Bintang untuk masuk ke hidup gadis itu lagi. Untuk berharap, sekali lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN