Hampir Terbongkar

1164 Kata
Di kelas, Cita tampak heboh melihat kedatangan Tari bersama Wisnu. "Omeigat, ini serius Tari sama senior?" Cita nampak tak percaya dan masih heboh dengan pikirannya sendiri. Tari dan Wisnu merasa heran dengan tingkah Cita. "Kamu kenapa, Cit?" sapa Tari. Cita pun kikuk di tempatnya. Dipandang Wisnu seperti itu, membuatnya salah tingkah. "Ehehe ... gak papa, kok. Kalian, lanjut saja ngobrolnya." Cita masuk ke dalam, kemudian duduk di bangkunya. Tari mengalihkan atensinya pada Wisnu. Laki-laki itu terlihat masih setia menunggu Tari membuka suara. "Makasih ya, tumpangannya. Aku masuk duluan." Wisnu tersenyum tipis, membuat siapapun yang melihatnya pasti meleleh. "Sama-sama. Kuliah yang rajin, semangat! Kalau mau diantar pulang, samperin aja ke kelasku." Tari menggigit bibir bawahnya, ia merasa tak enak. Tidak ada maksud bagi Tari untuk menolak, tapi ia tidak mungkin memberi tahu orang lain, jika dirinya pulang ke rumah Rigi. "Nggak usah, Kak. Aku baliknya naik angkot saja, seperti biasa. Tapi makasih atas tawarannya." Wisnu mengangguk, mungkin butuh waktu buat ia benar-benar bisa mengambil hati Tari. "Oke, kalau gitu, aku ke kelas dulu. Sampai jumpa lain waktu." Tari tersenyum paksa, "Ehe, iya, sampai jumpa." Sepeninggal Wisnu, Tari pun masuk ke dalam kelas lalu menghampiri Cita yang kebetulan sebangku dengannya. "Hei, ada tugas gak, hari ini?" Tari berniat memastikan sekali lagi, takut-takut dirinya lupa. Cita yang masih dalam mode heboh, langsung bergegas mengintrogasi Tari. Ia seperti seorang polisi yang sedang bertanya pada buronannya. "Demi apa kamu berangkat bareng Kak Wisnu? Kok bisa? Jelasin, jelasin, ratu kepo penasaran." Tari membekap mulut Cita yang kelewat toa ini. "Jangan keras-keras! Bisa diem gak?" Cita berusaha melepas tangan Tari yang membekapnya. Ia kemudian menarik napas naik turun karena tadi sempat sesak. "Nggak bisa. Kamu harus jelasin sekarang." Tari menatap Cita serius. Cita memang teman baiknya, tapi ia sedikit ragu menceritakan masalahnya ini. Tari memastikan sekali lagi. Ia mau meyakinkan diri jika keputusannya tidaklah salah. "Oke aku cerita." Cita sudah memasang wajah seriusnya. Menyiapkan telinga baik-baik untuk mendengarkan cerita dari sahabatnya. "Jadi gini, aku tadi itu gak sengaja ketemu Kak Wisnu di pinggir jalan. Dia lihat aku jalan kaki dari gereja, makannya dikasih tebengan." Cita mengangguk, kemudian pertanyaan di pikirannya muncul. "Bentar, bentar, ngapain kamu jalan kaki? Bukannya biasanya naik angkot sampai depan?" Tari menelan salivanya, matanya bergerak gelisah. "Kalau ini, kamu harus janji dulu buat gak kasih tahu siapa-siapa. Aku takut akan bocor ke mana-mana." Cita mengernyitkan bingung. Ia jadi makin pusing. "Kamu ngomong apa sih Tar? Aku gak paham loh. Apanya yang bocor? Ban angkotnya?" Tari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia gemas dengan kelemotan cita yang kumat. Berulang kali, Tari melihat situasi kelasnya yang masih sepi. Ia kemudian berbisik. "Aku bareng Kak Rigi." Mata Cita membelalak. Mulutnya pun membuka lebar. Dengan buru-buru Tari membekap mulut Cita agar tidak bersuara. "Demi apa?" Cita ikut berbisik. Tari memutar bola matanya jengah. "Aku serius. Aku sama Kak Rigi tinggal serumah. Bahkan, minggu depan aku sama dia mau nikah. Kita dijodohin, mamanya Kak Rigi maksa aku buat nikah sama anaknya. Aku nggak bisa nolak. Akhirnya kita sepakat untuk jalanin hidup masing-masing di kampus. Kita udah ada perjanjian, kalau pura-pura tidak saling kenal. Makanya aku minta buat diturunin depan gereja. Aku gak mau semua orang tahu hubungan kita." Cita membekap mulutnya dalam-dalam. Ia tak tahu harus senang atau sedih menanggapinya. "Yang sabar ya? Aku tahu ini berat buat kamu. Apalagi, Kak Rigi dikenal sudah menjalin hubungan dengan Kak Viola. Pasti gak mudah." Tari tersenyum getir. "Bukan itu yang aku permasalahin. Aku bebasin Kak Rigi buat deket sama siapapun. Yang aku takutin cuman satu, sandiwaranya akan terbongkar." Cita mengusap pelan pundak Tari. "Tenang saja, aku akan bantu kamu buat jaga rahasia ini." Tari menatap sahabatnya penuh nanar. Ada luka yang tak bisa sembuh hanya dengan sebuah perkataan. Semua ucapan-ucapan penenang tidak akan berpengaruh lagi untuk Tari. "Gak tahu lah, Cit. Nasib aku gini amat yak? Pengen rasanya hidup bebas menentukan pilihan. Bukan seperti burung di sangkar emas. Meski semewah apa pun, tetap saja di dalam sangkar. Aku gak bisa menentukan pilihan sendiri." Cita merangkul sahabatnya. Tak tega sebenarnya melihat Tari yang ceria mendadak murung. Tapi dirinya juga tidak bisa berbuat banyak. "Sabar ya, Tar. Kamu pasti bisa." Tari menghembuskan napas kasar, menaruh kepalanya di atas meja. "Aku pasrah, Cit." Tak lama, dering bel berbunyi. Mata kuliah pun dimulai. *** Setelah sekian jam berkutat dengan mata kuliah, akhirnya Tari dan Cita bisa menikmati makanan di kantin. Mereka berdua memanfaatkan waktu istirahat dengan memakan sepiring batagor dan segelas es teh. Satu jam lagi, mata kuliah akan kembali dimulai. Tentu Tari tidak akan menyiakan kesempatan ini. Di kantin, sudah ada geng Rigi yang sedang menongkrong di kantin. Tari pun hanya melihat sekilas pada lelaki itu. Toh, sesuai kesepakatan, mereka tidak akan saling tegur sapa. Tak sengaja, sepasang bola mata milik Tari menangkap bayangan Viola and the genk menghampiri Rigi. Gadis itu hanya bisa membuang muka pada Cita. Ia tidak bisa berbuat banyak, toh pada nyatanya Rigi memang bukan miliknya. Viola menyapa dengan mesra hingga suaranya terdengar di meja Tari. "Hay, Sayang." Rigi hanya membalas sapaan Viola dengan senyum tipis. Cita yang memahami perasaan sahabatnya pun berusaha menghibur. "Sabar ya, Tar, ini ujian kamu." Sembari tersenyum tulus untuk meyakinkan Cita, Tari mengheleng pelan. "Its oke, aku gak papa kok. Toh dari awal hubungan aku sama dia juga cuman pura-pura. Dia berhak bahagia. Aku gak mau mengikat Kak Rigi." Tari hanya menyunggingkan senyum, ketika Viola bermanja-manja dengan calon suaminya. "Mereka terlihat serasi ya? Andai saja ada laki-laki yang mencintaiku dengan tulus, pasti aku juga bisa sebahagia ini." Tari menatap jauh pada dua sejoli yang tengah kasmaran itu. Ia sampai tidak sadar, jika diam-diam Rigi pun memperhatikan dirinya. "Orang yang kamu cari ada di sini." Tari dan Cita pun termangu mendengar suara baroton yang berdengung di telinga. Sesosok laki-laki dengan perawakan tinggi macho terlihat tengah berdiri di belakang Tari, sontak keduanya merotasikan bola mata ke sumber suara. Tak terkecuali Rigi, atensi pria itu pun jatuh pada Wisnu yang berdiri gagah di belakang Tari. "K-Kak Wisnu?" ujar Tari tergagap. Wisnu tersenyum ramah pada gadis pujaannya. "Hay, Tar, boleh ikut gabung?" Tari hanya menanagguk lemah. Melihat ekspresi Tari yang masih kaku, Wisnu pun terkekeh. "Kenapa? Mau disuapin?" Dengan cepat Tari menggeleng, "Nggak, Kak." Pipi Tari bersemu merah. Seperti sedang ketahuan maling sesuatu. Cita yang usil pun berniat menggodanya, "Ekhem, sikat, Tar, mumpung masih jomblo, gapapa deh, aku jadi obat nyamuk." Tari memukul lengan sahabatnya pelan, "Jangan bikin malu!" gerutunya kesal. Tari kemudian tersenyum kikuk pada Wisnu, ia merasa sedikit tak enak. "Maaf ya, Kak. Emang suka ngaco, anaknya." Tahu jika Tari merasa sungkan, Wisnu berusaha mencairkan suasana. "Santai saja." Lagi-lagi hanya senyum kikuk yang bisa Tari beri. Tanpa basa-basi, Wisnu pun bermaksud mengutamakan tujuannya. "Tar, entar sore ada waktu gak? Jalan yuk! Entar pulangnya aku antar." Mata Tari bergerak gelisah. Ia menatap Cita seperti sedang butuh bantuan. Gak mungkin kalau dirinya pulang dengan Wisnu, bisa-bisa rahasianya terbongkar. "Tari pulang bareng gue!" Tari tercengang mendengarnya. Tiba-tiba saja, Rigi sudah ada di depannya. Tak kalah terkejutnya, Cita pun sampao menutup mulut mendengar pernyataan Rigi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN