Perdebatan Kecil

2306 Kata
Tari mengerucutkan bibirnya manyun, bukan jawaban seperti itu yang ingin didengar dari mulut Rigi, tapi sepertinya sikap nyebelin Rigi mulai kumat, membuat Tari menekuk wajahnya masam. Rigi yang melihat Tari manyun, sikap jahilnya pun keluar. Lelaki itu meledek Tari hingga gadis itu melotot tajam. "Kenapa bibirnya manyun? Habis kesetrum?" Tari pun mengangkat tangannya dan bersiap meninju pelan lengan Rigi. "Bisa diem gak? Rese banget sih?" omelnya Bukannya mengamuk, Rigi malah terkekeh melihatnya. Ia menganggap tingkah Tari persis seperti Rena kalau sedang merajuk. Tak heran jika ia merasa cukup akrab dengan Tari. "Kamu ternyata lucu juga ya? Tidak sejutek yang saya kira." Dipuji seperti itu membuat Tari tersipu malu. "Sabar Tar, jangan baper. Dia hanya nyaman sama kamu, bukan tertarik padamu." Tari berusaha meyakinkan diri sendiri. Ia tidak boleh terlena dengan perlakuan Rigi padanya. Setelah ia berhasil meyakinkan hati, Tari berusaha menampik gombalan Rigi. "Makanya, jangan mengira-ngira! Belum tentu apa yang kita lihat itu fakta." "Eleh, tapi ngeselinnya sama saja," tampik Rigi membuatnya tersenyum kecut. Seperti diterbangkan ke awan, kemudian di hempaskan lagi ke bumi, itu rasanya menyakitkan. Tari membuang muka ke arah lain. Tatapannya jatuh pada sate jeroan yang berada dihadapannya. Tangannya tergerak untuk mengambil satu tusuk lalu melahapnya pelan. Tari menikmati segigit makanan yang ada di dalam mulutnya. Matanya tak lepas dari sosok Rigi yang menatapnya serius. "Mau?" tawarnya sambil menyodorkan sisa sate yang baru dimakannya. Rigi menggeleng cepat. Ia seperti merasa jijik dengan makan yang ada di tangan Tari. Sepengetahuan dirinya, jeroan adalah tempat yang dekat dengan pencernaan ayam. Pasti banyak kotorannya. "Emang enak? Aku belum pernah makan." Tari mengangguk dalam. "Enak kok, cobain deh." Ekspresi Rigi tampak jijik, membuat Tari mengernyit bingung. "Kenapa? Tenang saja, aman kok. Sudah dicuci bersih sama ibunya, sudah direbus juga." Nampak Ragu, Rigi mengambil sate jeroan sisa Tari, tapi perempuan itu mencegah. "Eh, ambil yang baru saja, itu bekas aku." Rigi menggeleng pelan. "Gak papa. Sayang kalau kemakan dikit doang. Aku cuman incip." Sedikit ragu-ragu, Rigi mulai memakan sate jeroan bekas Tari. Nampaknya, lelaki itu mulai menikmati makanan yang ada di mulutnya. Tari mengamati eksprsi Rigi yang tampak keasikan makam sate jeroan. Terlihat nikmat sekali. "Giman rasanya? Enak kan?" tanya Tari antusias. Rigi mengangguk seraya tersenyum. Senyumnya memikat bak Dewa Yunani. Hampir saja Tari terjerat akan pesona Rigi yang luar biasa. "Enak! Aku baru pertama kali nyoba udah suka." Tari terkekeh mendengarnya. "Maklum, orang kaya. Makannya ayam dan daging. Mana pernah makan ginian." Rigi memperotes. Memangnya kenapa kalau orang kaya? Gak semua orang kaya makan nikmat terus. Bahkan ia sanggup makam nasi hangat pakai lauk ikan asin, menurutnya itu jauh lebih nikmat. "Memangnya kenapa kalau orang kaya? Apa orang kaya gak boleh makan gini? Toh, ini juga masih bagian dari ayam." Saat perdebatan dimulai, ibu warteg datang membawa nampan berisi makanan yang mereka pesan. Ada dua porsi nasi lodeh beserta kelotok dan ikan asin, dua gelas es teh dan sepiring dadar jagung yang masih panas. Asap mengepul dari atas piring membuat Tari menelan salivanya. Ia tak sabar mencicipi sepiring dadar jagung yang tersedia di atas piring. Ibu warteg pun mempersilakan mereka untuk menyantap hidangannya. "Silakan dimakan, Nak." Tari menyambutnya dengen hangat. "Terima kasih, Bu" Ibu warteg pun pamit undur diri. Selepas kepergian ibu warteg, Tari dan Rigi pun memilih untuk mengakhiri perdebatannya. Tari terus memperhatikan cara Rigi makan. Tak disangka, lelaki itu memakan makanannya dengan sangat lahap, seolah hidangan yang ada di hadapannya adalah makanan yang sangat lezat. Melihat cara makan Rigi yang sedikit urak, membuatnya berinisiatif untuk menegur. "Makan pelan-pelan! Gak ada yang minta juga." Dengan pipi bersemu, Rigi memandang Tari malu. Ia memelankan makannya yang lahap. "Iya, maaf kelepasan. Habisnya nikmat banget." Tari sedikit terkejut dan kagum. Seorang Rigi bisa memuji makanan kampung begini sebagai makanan lezat? Apa di rumah ia sama sekali tidak pernah makan masakan desa? "Di rumah gak pernah makan ginian ya?" Rigi menggeleng. "Boro-boro ada yang masak. Paling sarapan roti, makan ayam, daging sama sup, kalau gak gitu ya yang simple kayak nasi goreng dan pasta." Mendengarnya saja, sudah terasa membosankan di mata Tari. Pada dasarnya ia memang gadis kampung. "Oke deh, kapan-kapan aku masakin makanan desa. Udah pernah coba bobor bayam belum?" Rigi menggeleng pelan. "Belum. Makanan apa lagi itu? Bubur?" Tari tertawa kecil. Ya kali makan bubur. "Bukan. Itu semacam apa ya? Kayak lodeh tapi bukan. Pokoknya salah satu makanan favorit aku. Kalau disajikan dengan pepes tahu, rasanya pasti nikmat." Rigi mengangguk kecil. "Boleh deh, nanti masakin ya? Jadi penasaran sama masakan calon istri." Nada bicara Rigi terkesan meledek membuat Tari mendengkus tak suka. "Eleh! Calon istri apaan? Ingat! Kita hanya pura-pura," protes Tari tak terima. "Tapi sah di mata hukum dan agama." Tari pun tak bisa menampik akan hal itu. Yang dibilang Rigi memang benar, pernikahan mereka memang sah di mata hukum dan agama, tapi tetap saja, ini hanya pernikahan pura-pura. "Udah ah! Jangan dibahas lagi. Buruan habisin makanannya, habis itu pulang. Aku gerah mau langsung mandi,"pungkas Tari. Sebelum Rigi membahas pernikahan itu terlalu jauh. Rigi memutar bola matanya jengah. Menatap lurus ke arah Tari, lalu menjejalkan sebiji dadar jagung ke dalam mulut gadis itu. "Tadi aja disuruh pelan. Sekarang malah disuruh cepet-cepet. Gimana sih?" Tari hampir tersedak dibuatnya. Dengan buru-buru, gadis itu menyambar teh manis yang ada di hadapannya, lalu menenggak hingga setengah. Tari kemudian mengamuk pada Rigi yan mengganggu suasana makannya. "Bisa gak sih, gak usah ganggu orang? Lagi enak makan juga!" Rigi membantah ucapan Tari. "Bisa gak sih, kalau makan diem aja? Banyak omong kamu!" Tari mendengkus kesal. Bisa-bisanya Rigi membalikkan omongan? "Ngeselin banget ish! Aku sumpain jadi jomblo." Rigi terkekeh mendengar gerutuan Tari. Gak salah dia berdoa seperti itu? "Gimana bisa aku jomblo, kalau calon istrinya ada di depan mata? Yang kreatif kek, kalau nyumpahin!" Tari menatap Rigi, gadis itu memandang Rigi tak percaya. Makin kelihatan bodoh deh, dirinya di mata lelaki itu. "Ya udah, ralat doanya. Moga aja batal nikah," ucapnya kesal. Rigi kembali menahan tawa membuat gadis itu makin geram "Orang pernikahan tinggal hitungan hari, gimana mau gagal" Tari tidak terima bila Rigi mampu menyangkal semua ucapannya. Tari memberengut kesal. "Moga istrinya bengek!" Sesaat suasana mendadak hening. Rigi tak berani menimpali. Tari pun terdiam memikirkan ucapannya. "Aku dong yang bengek? Gak ah! Doanya batal," ucap Tari lirih. Ia kemudian membuang muka ke arah lain. Tari tersipu malu pada Rigi yang memandangnya heran. "Doa, doa sendiri, diralat, ralat sendiri, mau heran, tapi ini Tari," sindir Rigi membuat wajah Tari semakin memerah. Sungguh ia sangat malu dengan kebodohannya. "Udah deh, gak usah ngeledek. Cepat habiskan makanannya." ujar Tari mengalihkan topik pembicaraan. Dengan begini, dirinya bisa terbebas dari cemoohan Rigi. Rigi kembali melahap makanannya sambil menatap Tari heran. Masih ada ternyata, perempuan yang gak jaga image di depan laki-laki seperti ini. Rigi pun tersenyum melihat tingkah Tari yang menurutnya menggemaskan. Pandanganya tak lepas dari tingkah gadis itu. Tari yang ditatap seperti ini mendadak salah tingkah. "Ngapain senyam-senyum?" ujar Tari jutek untuk menutupi rasa gugupnya. "Gak papa." Rigi melanjutkan makannya dan membuang muka ke arah lain. Meski diam-diam Rigi masih curi-curi pandang pada Tari. Usai melahap habis semua makanannya, Tari dan Rigi memutuskan untuk pulang. Keduanya pun meninggalkan tempat setelah membayar semua makanan. "Kita langsung pulang kan?" tanya Rigi saat keduanya sedang dalam perjalanan. Tari yang agak b***k dengan suara kendaraan di sisinya pun hanya menanggapi dengan kembali bertanya. "Hah? Ngomong apa?" Rigi yang geram pun menggerutu. Matanya tergerak menatap spion. "Diajak bicara, ngang, ngong, ngang, ngong," Tari pun kesal. Nada bicara Rigi terlihat seperti orang mengejek. Belum tahu saja dia rasanya duduk di belakang. Main ngatain orang seenaknya. "Gak usah ngajak ngobrol!" putus Tari cepat. Rigi pun terdiam dan enggan untuk mengulang pertanyaannya lagi. Akhirnya pun mereka saling diam sampai motor Rigi memasuki pekarangan megah miliknya. Tari langsung turun tanpa mengucap sepatah kata apa pun. Ia langsung masuk dan berlalu menuju kamarnya. Rumah masih tampak sepi karena Mayang berada di butik, untuk mengecek karyawannya. Sementara Rena berada di kamar, setelah sopir keluarga menjemputnya pulang. Di dalam kamar, Tari memutuskan untuk mandi agar tubuhnya bersih dari keringat dan kuman sebelum ia menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Tari mengambil handuk dan baju ganti sebuah gaun santai semi baju tidur lalu beranjak menuju kamar mandi. Setelah melakukan ritual mandinya, Tari keluar dengan aroma harum strawberry yang berpadu dengan vanilla di rambutnya yang basah. Ia menggulung handuk kecil di atas kepalanya lalu bergerak di depan cermin, menabur wajahnya dengan sedikit bedak dan polesan liptin di atas bibirnya. Sembari menunggu rambutnya kering, Tari pun mengecek ponselnya yang sedari tadi ia anggurkan. Ada beberapa pesan masuk dari cita, karena memang gadis itu hanya menyimpan nomor orang-orang penting di hidupnya saja. Jari Tari tergerak untuk membuka pesan Cita. Tawanya menguar membaca pesan Cita yang menurutnya sangat lucu. Cita-citaku: Tar, gimana diantar Kak Rigi? Kamu aman kan? Gak digadai atau dijadikan jaminan pinjol kan? Jari Tari tergelitik untuk membalas pesan Cita. Jingga Mentari: Aman Cit. Ini aku baru selesai mandi. Ya kali dijadikan jaminan pinjol. Orang dia udah sultan dari lahir. Tari mengirim balasan pesan dari Cita dengan kekehan kecil. Tiba-tiba notifikasi dari kontak baru berhasil mencuri perhatian Tari. Tulisan calon suami di kontak yang tertera, membuat Tari mengernyit bingung. Ia tampak berpikir, perasaan tidak pernah menulis nama calon suami di kontaknya. Sembari mengingat, ia teringat kejadian di parkiran. Rigi meminta paksa ponselnya. "Apa Mas Rigi?" gumanya membatin. "Halah, orang tinggal serumah pakai pesan segala," tukas Tari selanjutnya. Karena penasaran, Tari pun membuka isi pesannya. Calon suami: Entar malam, mau ikut jalan gak? Aku mau nongkrong sama temen-temen komunitas Tari pun membalas dengan cepat Jingga Mentari: Ogah ah! Entar rahasia kita kebongkar. Aku mau tidur di rumah saja. Calon suami: Gak akan. Ini teman-teman komunitas motor, gak ada anak kampus di sini. Adanya bapak-bapak. Mau kenalan sama mereka. Tari tampak menimang pesan Rigi. Sebenarnya ia juga bosan kalau berbaring di kamar saja, tapi gimana nanti kalau ada anak kampus yang melihatnya. Jingga Mentari: Emmm ... Oke deh. Keluar jam berapa? Calon suami: Habis magrib, siap-siap saja. Nggak usah dandan cantik, kalau gak mau digoda. Di kamarnya, Tari mendengus kesal. Enak saja, siapa yang mau digoda om-om? Jingga Mentari: Ya. Hanya pesan singkat yang ia balaskan untuk Rigi. Sebuah notifikasi masuk dari Cita. Cita-citaku: Syukurlah kalau gitu. Kamu bisa tidur dengan nyenyak, hari ini gak ada tugas. Dengan cepat, Tari menjawab balasan untuk Cita. "Kak Rigi habis magrib ngajak aku jalan sama teman komunitasnya. Udah bosen jalan sendiri kali?" tebak Tari. Di tempatnya, Cita tampak terkejut. Cita-citaku: Seriusan? Kayaknya kalian udah deket banget ya? Moga langgeng deh. Tari tampak kesal membaca pesan Cita. Jingga Mentari: Langgeng apanya? Orang pernikahan juga cuman pura-pura. Kamu jangan kompor deh. Cita-citaku: Iya, iya, maaf. Udah sana siap-siap, aku gak mau ganggu kencannya. Jingga Mentari: Rese kamu! Setelahnya, hanya centang dua biru yang terpampang di sana. Tidak ada balasan lagi dari Cita, membuat Tari memanfaatkan waktu untuk mengeringkan rambutnya. Ia mengambil hairdryer di atas meja riasnya, lalu menyisir rambutnya hingga rapih. Tak lama, terdengar suara kumandang azan yang membuat Tari harus bersiap mengambil wudhu sebelum berangkat ke luar bersama Rigi. Usai menuntaskan kewajibannya, Tari yang tampak cantik dengan balutan dress berwarna navy dan sepatu kets putih yang tampak kasual membuat tampilannya sangat menarik. Ia pun berbaur dengan yang lain di ruang keluarga. Mayang yang terpesona dengan penampilan Tari, dibuat terkagum-kagum dengan apa yang gadis itu kenakan. "Mau ke mana, Tar?" tanyanya penasaran. "Diajak Mas Rigi keluar, Ma." Mayang tampak tersenyum melihat Rigi mulai akrab dengan Tari. "Keluar ke mana?" Tari bergidik pelan. Ia juga tidak tahu Rigi akan membawanya ke mana? "Tidak tahu, Ma," Rigi perlahan turun ke bawah. Ia mengenakan hoody yang senada dengan baju Tari. Memakai jeans dan sepatu putih yang hampir senada dengan yang Tari kenakan. Terlihat sangat serasi. "Itu orangnya," tunjuk Tari dengan jarinya membuat Mayang dan Rena mengalihkan atensinya. Rena tampak terpesona dengan penampilan abangnya yang cukup keren. "Waw! Couple able banget! Jadi iri lihatnya!" gumam Rena pelan. Tari pun tampak salah tingkah, wajahnya bersemu merah. "Rigi mau keluar?" tanya Mayang ketika sang putra sudah berada di hadapannya. "Keluar bentar, Ma, cari angin, sekalian ngumpul sama teman-teman. Mama mau titip?" "Martabak telor sama seblak," sahut Rena membuat Rigi memutar bola mata jengah. "Aku nawarin Mama, bukan kamu." Rena nyengir tanpa dosa. "Tapi aku juga mau ditawarin. Dibeliin juga maksudnya." Tari terkekeh mendengar Rena. "Ya, sudah, biar kakak aja yang beliin buat Rena." Rena pun tersenyum jail. "Makasih kakak ipar, emang paling pengertian. Gak kayak itu tuh," tunjuk Rena pada Rigi menggunakan dagunya. Rigi tampak acuh. "Ya sudah, kita berangkat dulu, takut yang lain nungguin." Mayang memberikan restunya. "Iya, hati-hati. Mama nitip roti bakar deh kalau ada." "Oke, Ma, Rigi berangkat dulu. Assalamualaikum." Lalu diikuti Tari setelahnya. "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam." Tari pun mengekor di belakang Rigi. Sesampainya di garasi, Rigi mengeluarkan motor crossnya bersama komunitas. Setelah Tari menerima helm dan naik di jok belakang, Rigi langsung membela jalanan menuju tempat yang sudah dijanjikan. Tak lama, Rigi pun sampai. Ternyata, tempat kumpul sudah ramai dengan sekelompok bapak-bapak beserta istrinya yang gaul. Hanya Tari yang terlihat feminim di sini. Bagaimana tidak? Jika dirinya lah satu-satunya perempuan yang mengenakan dress di sini. Tari masih tak melepas pelukannya dari pinggang Rigi membuat yang lain penasaran. "Wah, si berondong kita bawa cewek nih. Siapa Gi? Boleh dong, dikenalin." Mereka yang akrab dengan Rigi, tampak tak sungkan menanyakan itu pada Rigi. Rigi menunjuk Tari dengan dagunya, sontak membuat Tari melepas pelukannya. Gadis itu tampak salah tingkah. "Ini bang? Dia Tari, calon bini." Pernyataan Rigi sontak membuat Tari melotot tajam. Dengan cepat, Tari pun menyangkal. "Bukan, cuman temen." "Udah, gak usah bohong sama mereka. Mereka udah seperti keluarga sendiri, jadi mereka bakal aku undang di pesta pernikahan kita." Tari tampak malu-malu. Wajahnya bersemu merah seperti orang yang ketahuan mencuri. Ia sudah tidak bisa berbohong lagi sekarang. "Maaf, ya?" "Jadi beneran calon istri?" tanya salah satu dari mereka yang penasaran Tari terpaksa mengangguk, gadis itu tak ada pilihan lain. Toh, Rigi sendiri yang membocorkan. "Iya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN