First Meet

1123 Kata
“Mak!” “Maak!” Aku berteriak, tak peduli, dalam jarak satu rumah lagi, rumah papan emakku itu baru tercapai, ya anggap saja halaman tetangga sebagai teritori rumah kita ‘kan? Aku mengayuh dengan cepat sepeda ini, kemudian menghentikannya ketika sampai di depan pintu rumah, lalu meletakkan sepeda genjot ini dengan sembarangan. Setelah itu, tangan ini membuka pintu dengan gerakan grusa-grusu hingga daun pintu ini beradu dengan dinding papan dan menghasilkan benturan suara gedubrak. “Astaghfirullah!” teriak emak yang sedang berdiri di antara panci-panci, penggorengan dan semua alat perang di ruangan ini. Satu-satunya ruangan di rumah ini yang digunakan sebagai ruangan multipurpose. Satu-satunya harta yang kumiliki itu geleng-geleng kepala. “Baru pulang ngaji, masuk rumah salam aja enggak!” bentak wanita itu. Seketika aku segera berbalik dan berlari ke depan pintu rumah. “Assalamualaikum, Makk!” seruku dengan semangat empat lima ditambah empat lapan ketika bangsa Indonesia mengusir kumpeni dalam agresi militer Belanda dua. “Waalaikum salam, Ya Allah, punya anak gadis kok gitu kali ...,” keluh Emak sambil menata bangku pendek dan ubo rampe-nya untuk segera membungkusi makanan yang baru dibuat. “Makk!” Aku mendekat tanpa mempedulikan gerutuan wanita ini. Segara kutarik bangku pendek dan duduk di depannya, satu meja kecil memisahkan kami. “Mbok Kamu jadi anak gadis tuh yang elegan gitu lo,” saran Emak seperti biasanya ketika aku melakukan hal-hal sembarangan. Tapi, seperti biasa juga, saran emak itu bablas wus ... wus ... tanpa pernah bisa masuk ke kuping. “Mak! Mak!” panggilku berulang tak puas hanya dapat deheman saja. “Apa sih?” serunya sambil akhirnya menoleh ke arahku. “Di pesantren itu dikasih makan apa sih? Kok kalau keluar dari sana itu anaknya jadi ngguantennngg buangget!” seruku dengan memejamkan mata dan mengepalkan tangan untuk menggambarkan level kegantengan yang tak termaafkan itu. “Ya nasi ... lauknya tergantung pihak pondok masaknya apa,” jawab Emak datar. Aduh, Mak! bukan itu pertanyaannya, bukan selurus itu maksud pertanyaanku tadi Mak .... Aku hanya bisa menjejak-jejakkan kaki menahan geram. “Sebenarnya mau ngomong apa, sih?” tanya Emak sambil mengambil selembar daun, meletakkan serutan kelapa muda, nanas, kolang-kaling dan menuangkan agar-agar bening kemudian membungkus pesanan makanan yang disebut putri kaca itu. Aku beringsut sambil mendekatkan bangku pendek itu ke depan. “Mak, ada ustaz baru, fresh from pesantren, masih muda dan nggantengnya itu lo Mak, menggetarkan ... meresahkan masjid sampai ke halaman-halamannya,” seruku seolah sedang mengiklankan sebuah produk sikinker glowing. “Oalah ... kirain berita apa, kok sampai gedubrakan gitu lo,” protesnya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya terus mengulang gerakan membungkus putri kaca itu. “Uh! Saking nggantengnya lo Mak, sampai kelebatan sarungnya saja mampu memecahkan konsentrasi belajar, benar-benar the real ... real distraction, whet ... whet ...,” tambahku gegap gempita sambil menggerakkan telapak tangan ke kiri dan ke kanan sesuai arah gerakan sarung ketika pemiliknya sedang berjalan. Dua sudut bibir Emak tertarik ke belakang membentuk senyum yang tak jadi. “Oh ... itu ya, kayak ... sarungnya Mbah Sastro pas dijemur di belakang rumah kita ini ya?” sahut Emak enteng, wajahnya datar, tanpa emosi. “Makk!” protesku seketika, “ya nggak begitulah, Nyonya!”. “La apa bedanya, ‘kan sama aja to, whet ... whet,” balas Emakku sambil menggerak telapak tangan ke depan dan ke belakang mengikuti gerakan jemuran tertiup angin. “Makk!” teriakku tak terima. Aku tak mempedulikan tanggapan emak yang memang biasanya begitu. “Bener lo Mak, pas itu ‘kan Rayya sedang keluar ruangan, trus berpapasan dengan ustaz baru itu, uh ... langsung deh ... itu lo Mak, kayak Ajussi Goblin pas first meet sama Ji-eun tak, itu lo Mak, na na na beautiful ...,” lanjutku dengan semangat yang tak berkurang sambil menyanyikan sound track film itu. Mendadak Emak menghentikan gerakan tangannya sambil menatapku dengan kening berkerut. Wajah clueless nyata terlihat. “Pap parapapap falling ....” tambahku dengan mendendangkan original sound track yang lain. Emh belum ada perubahan raut wajah Emak. “Tat tat tat ... deodige.” Kutambah dengan bagian lirik rap agar lebih menyakinkan. Emak masih belum menemukan petunjuk. Sejurus kemudian terjadi perubahan ekspresi wajah Emak. “Oh itu, kayak pas Madhuri Dixit dan Shah Rukh Khan pas ini? Em ... pas nari hujan-hujan bareng anak-anak kecil itu ‘kan? Yang cak dung dung cak, itu ‘kan?” cetusnya semringah dengan ekspresi seolah baru menemukan lembar lima puluh ribuan di saku baju pas nggak punya duit. Tangan Emak melambai-lambaikan selembar daun menirukan sebuah gerakan tarian ala kadarnya. Kini giliran aku yang cengoh. Otak ini seolah sedang mampir di blackhole, tersesat tanpa petunjuk. “Koi na na na,” nyanyi Emak agar aku paham, mungkin ia sedang berusaha menyamakan visi em ... vision. Aku mengerutkan kening berikut memicingkan mata. Apa sih? Yang mana? Tangan ini segera bergerak melepas satu tali tas punggung yang dari tadi belum kulepas. Kemudian meraih handphone yang tersembunyi di saku samping tas ini. Dengan cepat menyalakan layar dan mengetikan lirik yang sekiranya mirip dengan apa yang dinyanyikan Emak. Tak berganti detik, setelah kutekan pencarian di plaform berlogo segitiga dalam kotak merah itu, berikutnya jari ini menekan tombol pencarian, munculah satu klip video sepasang actor dan actress India. Aku menekan video itu dan munculah anak-anak kecil sedang menari diikuti oleh sepasang tokoh utama itu. Aku mendesah lelah. “Mak, nih pilem, pas aku dah lahir belum sih?” keluhku merasa nggak related. Emak mengedikkan bahu sambil melantunkan acapela dung-dung cak dengan pelan. Giliran aku yang menggeleng-nggelengkan kepala. Emak meletakkan satu bungkusan yang telah selesai dibuat dalam sebuah loyang plastik warna biru. “Ya ... yang penting, emak tu paham gitu, suasana dalam ceritamu tadi, perst mit mu dengan ustaz ngguantengmu itu lo,” sindir Emak sambil melirik sinis mirip dengan emak-emak di sinetron. “Ingat, mau seganteng apa ustaznya, secantik apa ustazahnya, satu yang harus diingat, belajar yang bener, apalin, amalin, semua yang diajarkan guru-gurumu itu, nggak usah ono ini, ini inu.” Petuah Emak sekaligus peringatan langsung berhamburan. Aku pura-pura mengedarkan pandangan ke sudut lain di satu-satunya ruangan ini. Biasanya jika sudah begini, bakalan lama. Aku memiringkan badan kemudian meluruskan kaki dan mengusap-usap layar handphone. Masuk dalam aplikasi perpesananan dan mulai mengintip pesan dari teman-temanku yang tadi sama-sama heboh ketika kedatangan Ustaz ganteng itu. “Na! Malah megang handphone! Terus-terus! Lanjut-lanjut!” sindirnya sinis. “Ganti bajumu cepat, masih banyak yang harus di bungkus ini, ini harus diantar sebentar lagi!” serunya galak, aku hanya merespon dengan melirik. “Zurayya!” bentak Emak tanpa ampun. “Siap, Pattimura!” seruku seketika sambil berdiri dan bergegas menuju tangga. Bayangan gambar pahlawan yang membawa golok pada permukaan uang seribuan itu membuat aku mempercepat langkah kaki.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN