Felisia mulai ketakutan, tanpa sadar ia melangkah mundur. Pelan pelan, namun Garin merasakan itu. Dengan pelan juga Garin mengikuti langkah Felisia. Kebetulan siswa yang datang belum terlalu banyak, bahkan Anggita dan Azura saja belum datang. Jadi, mereka tidak terlalu menjadi pusat perhatian.
"Gak usah mundur mundur gitu, Fel. Bukannya tadi elo setuju gue apa apain?" Tangan Garin menangkap tubuh Felisia, tangan itu kini melingkari pinggang Felisia, lalu menariknya untuk mendekat dengannya hingga sama sekali tak ada jarak di antara mereka.
Air muka Felisia mulai ketakutan, ini Garin serius apa enggak sih? Batin Felisia mulai meracau. Tapi tatapannya itu keliatan serius banget, bikin keringat dingin di telapak tangan Felisia mulai keluar.
"Lo? Mau apa, hah?"
"Mau ngapa ngapain lo." Garin kembali tersenyum. Lagi lagi senyum yang tak mencapai matanya. Garin semakin mempererat rangkulan tangannya di pinggang Felisia, membuat tubuh Felisia semakin dempet dengannya.
"Lo gila!" Felisia memberontak dengan menggerak gerakan badannya.
"Jangan bergerak! Belom gue apa apain kan?" Garin semakin mengencangkan cengkramannya di pinggang Felisia. Sekuat apapun Felisia bergerak, tenaga Garin jauh lebih besar. Gerakan Felisia membuat Garin semakin menjadi, kini kaki Garin mulai menginjak sepatu Felisia agar Felisia tak dapat bergerak lagi. "Bisa kita mulai?" Wajah Garin kini semakin menunduk, kepalanya sudah di tempelkan dengan kepala Felisia. Mata Felisia mendongak, dapat di lihat wajah iblis Garin yang begitu dekat dengannya.
"Wets, gila lo, Gar. Pagi pagi udah mau m***m aja di kelas." Dicky tersenyum geli melihat pemandangan ini ketika sampai di kelas Garin.
"Gak ngajak ngajak pula." Kata Rangga sambil terkekeh pelan. Mereka tak bergerak dari ambang pintu. Namun berhasil membuat Garin dan Felisia menoleh.
"Abis, dia bener bener nantang hari ini. Menggoda iman banget."
Dicky dan Rangga tertawa mendengar jawaban Garin. Namun Garin sama sekali tak melepaskan Felisia.
"Gimana pose kita, keren kan?" Garin mengangkat sebelah alisnya, meminta komentar dari Dicky dan Rangga.
"Agak kurang dempet kayaknya, Gar. Coba si Felis lebih di tarik lagi." Rangga mengangkat jari jempol dan telunjuknya di kedua tangannya, lalu di jadikan satu hingga membentuk persegi empat. Lalu mengarhkan persegi empat di tangannya pada Garin dan Felis.
"Heh cunguk dua! Lo bukan bantuin gue dari temen lo yang stres ini!" Felisia menata berang pada Dicky dan Rangga.
"Lo lupa kalo mereka temen-temen gue? Jelas mereka dukung gue dong."
Felisia mulai kesal, sampai akhirnya sebuah pikiran terlintas di kepalanya. Bukankah tangannya itu sedang bebas. Felisia menyunggingkan senyum tipisnya. Dan tertangkap oleh Garin.
"Ngapain senyam senyum? Udah mulai bisa nerima buat gue apa apain?"
Felisia tak menjawab dengan mulutnya, melainkan ia hanya menjawab dengan tatapan. Tatapannya mulai kembali berani pada Garin. Membuat Garin penasaran ide apa yang terlintas di kepala cewek ini untuk kembali melawannya.
"Gar, kayaknya lo harus nyari tempat yang lebih sepi deh. Anak anak udah mulai dateng noh." Dicky mengangkat kepalanya, seolah menunjuk anak anak kelas Garin yang mulai berdatangan, dan tatapan utama mereka saat memasuki kelas tentu saja kearah Garin dan Felisia yang jelas jelas ada di depan kelas. Di tengah tengah pula. Minta di tonton banget kan posisinya.
"Ah biarin aja, makin banyak yang nonton makin seru." Sahut Garin, tanpa menoleh pada Dicky. Ia meluruskan tatapannya pada Felisia. "Iyakan, Fel?" Garin mengangkat sebelah alisnya, meminta pendapat Felisia.
Felisia lagi lagi tak menjawab. Mulut yang usil itu sementara bungkam dalam situasi seperti ini. Biarlah Garin terus menerus berkata dengan nada pongah, Felisia membiarkan Garin berbangga sedikit karena merasa di atas angin dan memegang kendali. Lihat saja nanti.
Sekarang. Yap! Felisia akan memulai aksinya. Dengan satu tangan yang terbebas itu. Juga di lihatnya sebelah tangan Garin juga bebas. Dengan mengandalkan seluruh kekuatannya yang Felisia tau memang tak seberapa, tapi Felisia yakin sekali mampu melumpuhkan Garin karena sikap Garin yang sedang pongah ini. Felisa mencengkram tangan kiri Garin dengan tangan kanannya. Lalu dengan gerakan cepat dan gesit Felisia memelintir tangan Garin.
Garin yang tidak tau akan ada penyerangan kontan terkejut. Ia segera mengaduh, menarik lepas tangannya yang tadinya melingkari pinggang Felisia. Felisia tak mau lari begitu saja, sebelum pergi, Felisi menekuk kakinya, dengan gaya seperti yang di lihatnya di film film, dengkul Felisia dengan sengaja mengenai perut Garin. Tepat. Dengkul itu dengan telak memukul perut Garin. Membuat Garin semakin meringis sampai tubuhnya membungkuk.
Felisia tak menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Ia segera berlari. Menerobos Dicky dan Rangga yang menghalangi jalannya. Lalu setelah berada di luar kelas, Felisia melongokan kepalanya melalui jendela yang terbuka.
"Sekali bego, lo emang tetep bego, Gar. Udah ah gue kabur dulu, takut di apa-apain lagi." Felisia berseru dengan begitu kencang. Hampir terdengar oleh seluruh anak di kelas.
Mendengar itu Garin segera bangkit dari acara kesakitannya karena ulah Felisia. Rangga dan Dicky sama sekali tidak bertindak. Mereka malah sibuk terkikik dengan ulah Felisia kali ini.
"Lo ngapain pada cekikikan? Kenapa gak di uber?" Garin membentak kedua temannya itu dengan kesal.
"Ah, kan elo yang ada perlu. Lagian adegan film india itu cuma satu cowok yang maen kejar kejaran sama satu cewek." Rangga menyahut sambil tersenyum tipis. "Kalo keroyokan kayak penculikan dong." Lanjutnya, disambut dengan anggukan persetujuan dari Dicky.
Garin melotot kesal pada kedua temannya. Benar-benar temen gak berguna. Garin tak mengacuhkan mereka, ia segera menerobos Dicky dan Rangga yang berdiri sejajar, berdempetan malah, lalu berlari mengejar Felisia. Enak aja! Garin gak mau kalah telak dari cewek yang baru lulus SMP itu yaa. Makadari itu dengan tekadnya yang penuh Garin berlari mengejar Felisia yang masih terlihat oleh matanya.
Disana. Felisia ada di tikungan menuju tangga untuk naik kelantai tiga dan turun ke lantai satu. Tepat. Kelas Felisia dan Garin memang ada di lantai dua. Tanpa menunggu berlama-lama Garin mempercepat tempo larinya. Garin tidak tau Felisia berlari keatas atau kebawah. Tapi kalo dipikir, Felisia gak mungkin naik keatas. Berasa kepengen tenar banget lari-larian di area kelas sebelas. Felisia masih kelas sepuluh lagi. Mungkin lebih aman turun kebawah, meski dibawah hanya ada ruangan-ruangan untuk para guru, staf, karyawan, dan ruang ekskul. Setidaknya di lantai satu gak mungkin guru-guru keliaran di depen kelas buat ngegosip bukan? Palingan hanya ada beberapa siswa yang baru datang atau nongkrong di lapangan atau parkiran.
"Misi, permisi, misi... misi.."
Benar saja, saat Garin telah menuruni tangga menuju lantai satu, Garin dapat melihat Felisia yang setengah berlari menerobos gerombolan beberapa siswa yang baru datang. Bibir Garin terangkat sedikit, lalu ia kembali berlari untuk mengejar Felisia. Tanpa berucap permisi seperti apa yang di lakukan Felisia, hanya melihat Garin berlari saja sudah mampu membuka jalan para siswa yang semula berjalan bergerombol.
"FELISIAAAA!!" Garin berteriak sekencang mungkin, membuat beberapa mata mengarah padanya, lalu mengikuti arah pandang Garin pada cewek yang juga berlari sama seperti dirinya.
Felisia yang berada di depan terkejut, ia menoleh sekilas, melihat jarak Garin semakin dekat. Wajah Garin tampak merah padam, antara kelelahan bercampur kesal.
"Huaaaa.." Felisia berteriak ketakutan sambil berusaha berlari lebih cepat, naasnya kaki Felisia terasa lelah terus menerus berlari tanpa henti. Masih pagi sudah olah raga, gara-gara Garin sialan! Geram Felisia.
Brukk..
"Ahh," Felisia mendengus sebal saat kaki kanannya terselengkat oleh kaki kirinya, membuat Felisia terjatuh telak dengan posisi berlutut. Benar-benar bencana, mana Garin sudah dekat lagi.
"Hosh, hosh.. hah, haha.." terdengar lenguhan nafas Garin disertai tawa mencemooh saat melihat Felisia terjatuh. Garin menghentikan langkahnya saat jarak dirinya dan Felisia sudah dekat. "Ck! Dasar bocah, lari aja pake kesandung." Ejek Garin diiringi senyum meremehkan. "Abis lo sama gue sekarang, tadi elo melintir tangan gue? Oke, gue bakal pelintir kepala lo."
Felisia tidak bangun, posisinya membelakangi Garin. Ekspresinya mulai ketakutan, apa Garin akan benar-benar mempelintir kepalanya? Oh tidak, Felisia tidak dapat menghindar lagi.
Ketakutan. Felisia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Enggan melihat apapun, apalagi saat Garin melangkah kehadapannya. "Mamaaa.." Felisia merengek, meneriakan mamanya, satu kebiasaan yang di lakukan Felisia ketika ketakutan.
Garin terkekeh pelan mendengar Felisia yang berteriak seperti itu, rupanya memang tak salah Garin memanggilnya bocah. Padahal Garin juga belum bergerak, ia sedang mengatur nafasnya yang masih tersenggal.
Garin mulai melangkah, derap langkahnya terdengar di telinga Felisia. Felisia melepaskan kedua tangan yang tadi menutup wajahnya, lalu pandangan pertamanya jatuh pada sebuah kaki yang tepat berada di hadapannya, tanpa menunggu Felisia berdiri cepat, siapapun itu Felisia segera menariknya, lalu menyembunyikan diri di belakang orang yang tadi kakinya di lihat.
"Hey, tolongin gue dari makhluk bego itu dong. Plis, plis, dia bilang mau melintir kepala gue. Kan jahat, gini-gini gue kan cewek, masa di kasarin." Kata Felisia, dengan menjadikan tubuh orang itu sebagai tameng, jemari Felisia menunjuk pada Garin. Tangan sebelahnya memegangi pundak orang itu. Padahal sungguh, Felisia tak mengenal orang itu. Bukan, maksudnya Felisia belum terlalu sadar orang itu siapa, pasalnya Felisia kan hafal anak satu sekolahan, jika melihat wajah orang itu, pasti Felisia tau namanya.
"Gak usah nyari-nyari bantuan, Fel." Desis Garin. "Eh, lo! Minggir!" Garin mengibaskan tangannya seraya mengusir, nada suaranya begitu otoritas, seolah tak terbantahkan. Namun orang itu -tepatnya cowok itu- hanya diam karena tak mengerti.
"Ini apa-apaan sih? Emang mau lo apaan nih cewek, Gar?"
Dia mengenal Garin. Oh tentu, siapa yang tidak kenal Garin? Siswa langganan tidak naik kelas, yang mendekam di kelas sepuluh, tapi tetep ngerasa dirinya kakak kelas dan menyuruh anak kelas sepuluh menanggilnya kakak. Dan gak ada yang berani ngebantah -kecuali Felisia- secara Garin itu veteran, dan gabungnya sama anak kelas dua belas pula. Senioritas di sekolah memang tidak terbantahkan.
Felisia melihat wajah cowok itu, untuk sekedar mengetahui siapa yang menjadi tamengnya. Rupanya Arsal, teman sekelas Garin tahun lalu. Yang tentu saja sekarang sudah naik ke kelas sebelas.
"Dia mau melintir kepala gue katanya, Kak. Padahal dia temen sebangku gue loh, kan sadis." Adu Felisia dengan memanggil Arsal kakak, membuat Garin berdecak, Felisia tidak pernah memanggilnya kakak. Padahal Garin lebih dulu bersekolah disini dibanding Arsal.
"Kepala mana bisa di pelintir sih?" Kata Arsal yang merasa tidak masuk akal dengan pernyataan Felisia.
"Sekalipun gak bisa di pelintir, dia bilang mau ngapa-ngapin gue. Oh no! Gue yang masih polos gini mau di apa-apain? Apa kata nyokap gue nantinya? Gue baru masuk SMA, jalan gue masih panjang, masa depan gue gak boleh suram, cita-cita gue masih ngegantung, harapan gue masih banyak. Kalo gue sampe di apa-apain beneran sama dia, semuanya bisa sirna dalam sekejap. Bayangin, Kak!"
Arsal tertegun mendengar penuturan Felisia, denga cara pengucapan yang ekspresif, suaranya yang cempreng, tanpa ada jeda dalam setiap ucapannya, Felisia berceloteh hal-hal yang terlalu hiperbolis.
"Sal, mending elo minggir deh, sana ke kelas. Udah mau bel."
Arsal belum bergerak, ia melihat kearah pundaknya, dimana tangan Felisia mencengkram begitu erat. Lalu Arsal kembali menatap hadapannya, dimana ada Garin yang sudah ingin menerkam cewek di belakangnya ini.
"Oh iya, Gar. Elo kayaknya di panggil Bu Dinar tadi." Arsal mencoba untuk menyelamatkan Felisia.
Garin terkekeh pelan, alibi apaan itu? Garin tidak mungkin bisa di bodohi. Meski faktanya Garin emang bodoh. "Ngapain juga si Dinar reot nyariin gue. Gak usah ngarang lo!" balas Garin malas.
"Ehem, siapa itu si Dinar reot, Garin?"
Mampus! Garin mengeluh dalam hati saat suara mengerikan itu muncul dari belakangnya. Tidak usah ditanya, saat melihat wajah Felisia yang begitu gembira, Garin sudah tau siapa yang ada di belakangnya. Lagi. Cewek itu emang bikin hidupnya semberaut.
"Eh, ibu. Pagi, Bu. Apa kabar?" Garin berbalik, lalu membungkukan badan sembari menyalami tangan Dinar, guru yang baru saja di katai olehnya.
"Cukup baik." saut Dinar dingin. Ia menatap murid yang sangat di kenalnya ini dengan tatapan sebal. "Sebetulnya, saya memang tidak mencari kamu. Tapi, mendengar tata bahasa kamu yang menamai guru semau jidatmu, sepertinya saya harus memperkenalkan nama-nama guru lagi denganmu. Mari ikut saya." Dinar berkata dengan dingin dan wibawa setinggi gunung. Yang menurut Garin, sok elite.
Arsal sialan! Tidak. Felisia lebih sialan! Gara-gara mereka Garin terjebak dengan guru tua yang tulangnya udah hampir kropos itu. Gak salah dong Garin ngatain dia reot?
Mau tak mau Garin mengikuti Dinar, sambil misuh-misuh tak keruan. Garin menoleh ke belakanh, melotot pada Felisia. Lalu tangan kanan yang terkepal ia tunjukan pada Felisia seolah memberi peringata. Garin bersumpah, jika di Indonesia tidak ada hukum, jika membunuh itu bukan perbutan yang di larang oleh agama, jika Garin mengesampingkan pantangan untuk tidak berbuat kasar terhadap perempuan. Garin tidak segan-segan akan membunuh Felisia dengan cara tersadis yang pernah ada.
Felisia menghembuskan nafas lega setelah Garin pergi. Ia segera menyingkir dari belakang tubuh Arsal, lalu kemudian tersenyum pada kakak kelasnya ini. Jika tidak ada Arsal, Felisia tidak tau bagaimana nasibnya saat ini. Mungkin Felisia sudah mati mengenaskan di tangan Garin. Oke, cukup hiperbolis.
"Thanks, Kak."
Arsal mengangguk sambal membalas senyum Felisia.
Lalu Felisia berjalan cepat untuk kembali ke kelasnya.
Saat sampai di mulut tangga lantai dua, Felisia berpapasan dengan Rangga dan Dicky yang mau naik ke lantai tiga.
"Oi, Fel. Kenapa tuh si Garin di giring Bu Dinar?" tanya Dicky, karena Dicky yakin pasti ada hubungannya dengan Felisia. Pasalnya, 80% kesialan yang terjadi pada kehidupan Garin karena ulah Felisia.
"Gue tumbalin si Garin ke Bu Dinar biar gue selamat. Keren kan gue?" Felisia menanggapi sambil mengangkat kerah bajunya.
Rangga terkekeh dengan sikap Felisia. Cewek itu memang selalu ada-ada saja. "Siap-siap aja lo pulang jalan kaki, Fel." gurau Rangga, mengingatkan bahwa kekesakan Garin hari ini akan terus berlanjut. Yang berarti Felisia tak akan di antar pulang oleh Garin.
"Berarti hari ini Kak Dicky anter gue balik yaa.."
"Bensin seliter delapan ribu kayaknya cukup buat nganter ke rumah lo."
"Cih, perhitungan banget lo. Mending gue maksa si Garin. Udahlah sana balik ke kelas." Felisia mendorong Rangga yang merembet ke Dicky, tenaganya cukup kuat sampai membuat Rangga oleng.
"Heh, bocah!”
Felisia menahan nafasnya, saat melihat sosok Garin muncul dari tangga bawah. Felisia cengar-cengir pada Garin, berusaha agar Garin tidak memperpanjang urusannya lagi. Tapi tatapan Garin tetap datar, langkahnya perlahan mendekat pada Felisia.
Rangga dan Dicky sudah bosan melihat pertengkaran rumah tangga itu. Tanpa berlama-lama mereka kembali ke kelas.
Felisia hanya menunduk, berharap akan ada keajaiban akan datang. Namun terlambat, Garin sudah ada di hadapannya.
Tangan Garin mulai terangkat. Felisia memejamkan matanya. Lalu beberapa saat kemudian Felisia merasa kepalanya seperti disentil pelan. Oleh sebuah tangan. Tidak salah. Tangan Garin. Hanya itu. Dan saat Felisia tersadar lalu matanya terbuka, ia dapat melihat Garin terkekeh pelan sambil menatapnya.
"Ayok ke kelas. Udah mau bel. Besok-besok kalo elo iseng lagi sama gue-"
"Lo bakal sentil kepala gue lagi kayak gitu? Ah gak sakit gitu doang mah, makin demen gue iseng sama lo." Felisia memotong cepat omongan Garin.
Garin yang sudah berjalan duluan menoleh pada Felisia yang masih diam di tempat namun berceloteh. Mata Garin kembali menatap tajam Felisia. Felisia segera mengacungkan kedua jarinya pertanda peace. Lalu berlari kecil menghampiri Garin. Tangannya menonjok pelan bahu Garin.
"Udasih, muka lo gak usah bete mulu gitu. Cepet tua loh!"
Garin hanya menghembuskan nafasnya, sambil geleng-geleng kepala dengan kelakuan cewek satu itu. Garin tidak pernah menyukai sikapnya yang semaunya itu. Tapi tanpa sadar, Felisia adalah cewek pertama yang menerobos kehidupan Garin. Meski Garin terkenal sering gonta-ganti cewek, tapi mereka sebatas pacar sesaat yang Garin ajak makan bareng di kantin, ngobrol di kelas, atau jalan jika suntuk. Bahkan Garin tak pernah mengantar jemput pacar-pacarnya. Felisialah. Cewek satu-satunya yang seolah menjadi tanggung jawab Garin.
***
Angin pagi yang terasa sejuk menerpa wajah Felisia, menerbangkan beberapa anak rambut yang tidak ikut terikat. Beberapa kali Felisia menghentakan kakinya karena bosan. Sudah lima belas menit Felisia berdiri di depan pagar rumahnya, menunggu jemputan rutinnya. Siapa lagi jika bukan Garin?
Dikeluarkan ponsel dari saku seragamnya, segera di hubunginya nomor Garin. Meski badung Garin itu jarang telat, tapi pengecualian untuk hari ini. Telepon Garin mulai tersambung, pada nada kedua Felisia dapat mendengar desahan nafas Garin di ujung sana. Serta suara gemuruh bising kendaraan yang menandakan ia sedang di jalan raya.
"Gue lagi di jalan! Telat bangun. Tunggu aja." hanya sederet kata itu yang Garin ucapkan, dan setelah itu Garin memutuskan hubungan sebelum Felisia sempat mengoceh.
Felisia hanya mendenguskan nafas sebal. Dan kembali menunggu Garin. Matanya memandangi beberapa kendaraan yang berlalu lalang di depan rumahnya. Yang umum karena mereka juga akan berangkat sekolah ataupun kerja.
Ibu Felisia keluar dari rumahnya untuk mencari tukang sayur, dan sedikit terkejut saat melihat anaknya yang sudah keluar rumah sejak tadi ternyata masih berada disini. Tangan lembutnya menyentuh bahu sang anak, membuat Felisia otomatis menoleh.
"Garin belom jemput?" tanya Ibunya , yang sudah hafal dan mengenal Garin.
Felisia menggeleng lemah. Wajahnya tampak bete berat.
"Kenapa gak naik angkot ajasih? Mungkin dia telat bangun." saran Ibunya .
"Dia udah di jalan katanya. Awas ajasih, kalo telat aku apain tuh anak."
Ibu Felisia tersenyum melihat tingkah Felisia. Ibu Felisia mengetahui bagaimana Garin dan segala tingkah buruknya yang selalu di ceritakan Felisia, tapi ia tak melarang putrinya ini untuk bergaul dengan Garin. Sebenarnya Garin tidak seburuk yang Felisia katakan, dia tampa k sopan setiap kali bertemu Ibu Felisia. Bahkan dia begitu bertanggung jawab terhadap putrinya ini. Meski Ibu Felisia tau, betapa menyusahkannya Felisia bagi Garin.
Sebuah motor berhenti tepat di depan Felisia. Felisia segera menoleh, sudah sangat mengenal motor itu milik siapa. Garin membuka helmnya sejenak saat melihat disana ada Ibu Felisia. Segera ia menyodorkan tangan untuk menyalam.
"Pagi, Tante." sapanya sopan, sambil mencium punggung tangan Mama Felisia.
Ibu Felisia tersenyum.
"Udah cepetan, siap-siap di omelin inimah."