Si Otoriter!

1039 Kata
Menjadi bawahan berarti siap lembur! Bawahan yang tertindas *** Senja mengempaskan tubuhnya di kursi begitu keluar dari ruangan Langit. Sekuat tenaga dia berusaha menahan kuap yang ingin menguasai. Sebagai bentuk pertahanan Senja menyeruput teh dengan taburan lemon di atasnya. Setidaknya ini lebih baik dari kopi mengerikan milik Langit. Teleponnya di atas mejanya berdering, Senja dengan cekatan mengangkatnya. "Halo, kantor Langit Samudera, dengan Senja—" "Senja apa kamu bisa mengantar sarapan ke ruanganku?" Itu suara Langit. Sepertinya pria itu baru sadar kalau tubuhnya butuh asupan nutrisi. "Apa yang Anda inginkan sebagai sarapan, Pak?" Senja berdiri dari kursinya. "Apa saja yang bisa kamu rekomendasikan." Karena sudah terlalu biasa mendengar jawaban seperti itu, Senja sudah tidak pernah memusingkannya lagi. Lagi pula, selama ini Langit belum pernah protes dengan pilihan menunya. "Siap, 15 menit lagi makanan Anda akan tiba." "Dan buatkan satu untukmu juga. Aku tahu kamu belum sarapan." Senja sebenarnya ingin membalas dengan mengatakan "siapa juga yang punya waktu sarapan jika dibangunkan di jam-jam kuntilanak", tapi karena Senja tidak berani mengungkapkannya dia memilih memelototi telepon seakan benda itu Langit Samudera. "Baik, Pak, makanan Anda akan sampai dalam 15 menit." "Bagus, tolong sekalian dengan kopinya." Senja mematikan telepon begitu selesai menerima perintah Langit. Dia berjalan masuk ke lift yang hanya membutuhkan waktu 5 menit menuju lantai bawah. Begitu berada di kantin kantor Senja memesan waffle dan pancake serta roti isi dan yogurt sebagai menu sarapan untuk mereka berdua. "Terima kasih," ucapnya saat menerima kotak makanannya. Senja bergegas menuju ruangan Langit. Pria itu sedang sibuk berbicara dengan seseorang saat Senja menyiapkan makanannya di atas piring. "Tidak, proses likuidasi masih dalam tahap pembicaraan. Perusahaan itu terlalu banyak menghambur-hamburkan uang. Kita perlu melihat apa CEO nya bisa dipertahankan dan jika tidak aku ingin dia ditendang. Mempertahankannya bukan prioritas jika dia tidak menunjukkan kemampuan terbaiknya." Senja meletakkan makanan di atas meja Langit kemudian menyiapkan kopi pria itu. "Kapan? Tidak, aku tidak ingin datang, ada yang harus kulakukan. Mungkin seminggu, aku tidak tahu. kirimkan saja surelnya padaku, aku akan membaca sisanya." "Kopinya," ujar Senja setelah melihat Langit selesai dengan siapapun itu yang sedang dia ceramahi. Siapapun itu Senja ikut kasihan padanya. Langit menyesap kopinya tanpa mengangkat wajahnya dari layar komputer sampai Senja mengeluarkan suara mendecak, pria itu akhirnya mengangkat wajah. "Ada masalah?" Senja menunjukkan protes lewat wajahnya. "Makanan paling enak dinikmati saat perut kosong. Jadi meninggalkan pekerjaan Anda sejenak tidak akan membuat perusahaan ini bangkrut." "Ada conference call yang harus kulakukan sepuluh menit lagi." "Percuma jadi bos kalau Anda justru jadi b***k pekerjaan Anda sendiri." Upss Senja menutup mulutnya sendiri karena tahu telah kelepasan bicara. Dia buru-buru berbalik sebelum Langit mengeluarkan kemarahan termonuklirnya. Untungnya ruangannya dan Langit dibatasi partisi kaca sehingga Senja memiliki ruangan untuk dirinya sendiri. Senja membuka bungkusan roti isinya dan mulai melahap makanannya. Teleponnya kembali berdering membuat Senja buru-buru menelan. "Halo, kantor Langit—" "Keruanganku sekarang, Senja!" What. The. Senja bahkan belum benar-benar mengunyah suapan pertamanya dan sekarang dia sudah harus kembali ke kantor bos tiran itu? Senja menatap makanannya dengan pandangan memelas. Dia meneguk yogurt miliknya sebelum kembali ke ruangan Langit. Makanan pria itu bahkan belum benar-benar habis, pikir Senja dongkol. Senja menggertakkan gigi dibalik senyum sabarnya. "Ada apa, Pak?" "Apa kau tahu hadiah yang bisa diberikan pada pasangan orang tua? Anggaplah usianya akhir 60-an." Kening Senja mengerut. "Saya bisa rekomendasikan sweater couple, kolase foto atau bunga." Langit mengangguk. "Kalau begitu kirimkan link toko yang menjual sweater couple dan juga toko bunga yang lengkap. Aku akan memilih sendiri sweater dan bunganya." Pasti 2 orang itu istimewa, itulah sebabnya Langit ingin memilih sendiri hadiahnya. "Baik Pak, akan saya kerjakan secepatnya. Itu saja?" "Itu saja." Senja sudah setengah jalan menuju ruangannya saat Langit tiba-tiba bersuara. "Apa yang kamu lakukan akhir pekan ini, Senja." Tidak, tidak, tidak. Bos tiran ini tidak mungkin ingin mengacaukan liburannya bukan? Senja sudah menunggu-nunggu minggu ini selama 1 buan terakhir. Jangan lagi liburannya diganggu! Senja harus berbohong. "Saya akan mengunjungi orang tua saya, Pak." "Orang tuamu? Mereka tidak tinggal bersamamu?" Oh Tuhan! Padahal Senja sudah pernah katakan kalau dia merantau, tapi ternyata informasi itu tidak cukup penting mengingat Langit tidak mengingatnya. "Tidak, Pak. Mereka tinggal di kampung." "Berapa lama perjalanan yang harus kamu tempuh ke kampung halamanmu? Apa ini? tumben amat Langit tertarik dengan kehidupan pribadinya. "Kurang dari 7 jam, Pak, tergantung kemacetan yang dialami." Bohong. Sebenarnya hanya dibutuhkan waktu 3 jam ke rumah orang tuanya. Langit mengangguk-ngangguk. "Batalkan!" What. The. "Apa maksudnya dibatalkan, Pak?" gumam Senja dengan suara tercekik. "Kamu tidak bisa ke sana minggu ini Senja karena kamu akan ikut dengan saya." "Ikut Bapak ke mana? Tidak ada eksekutif yang bekerja di hari minggu kecuali Bapak," protesnya, berharap atasannya tahu maksud dibalik kata-katanya. Langit menggeleng, menunjukkan bibirnya yang melengkung. "Ini bukan pekerjaan kantor." Bukan pekerjaan kantor? Lalu apa hubungannya dengannya? Senja memang mengurusi banyak hal kehidupan Langit tapi itu hanya tentang kantor tidak pernah lebih. Jadi sangat membingungkan ketika Langit memintanya melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. "Kamu akan ikut denganku menemui keluargaku." Mata Senja melebar sempurna. Jika memungkinkan matanya bisa saja keluar saat ini. Pasti ada yang salah dengan atasannya. "Kenapa saya harus ikut?" Senja akhirnya menemukan suaranya setelah syok yang menderanya. "Karena kamu akan jadi kekasihku selama berada di sana." Satu Dua Tiga Senja mulai menghitung dalam hati, menunggu atasannya tiba-tiba berteriak dan mengatakan kalau itu hanya candaan. Akan tetapi Senja tidak kunjung mendapatkannya. Pria itu masih menatapnya lurus-lurus, menunggu jawabannya. Lagipula, sejak kapan seorang Langit Samudera tahu apa itu bercanda? Senja menelan ludah. "Maaf, tapi saya tidak bisa, Bapak bisa mencari orang la—" "Aku tidak menginginkan orang lain, Senja, aku menginginkanmu." Betapa menggelikannya. Bahkan dalam khayalan terliarnya sekalipun percakapan seperti ini tidak pernah terbayangkan olehnya. Senja berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk menanyakan pertanyaan paling krusial. "Kenapa Bapak perlu membawa kekasih Bapak? Dan keluarga Bapak ada di mana? Saya tidak yakin sandiwara ini tidak ketahuan mengingat—" "Pemikiran keluargaku masih kolot dan keluargaku tidak ada di sini. Apa itu menjawab semua pertanyaanmu?" Satu pun tidak, tapi Senja tidak ingin memperpanjang pembicaraan karena tahu hal itu percuma. Sekarang menanyakan bagian penting lainnya. "Apa yang kudapatkan dengan membantu Bapak?" Senja bersedekap menatap Langit. "Bapak meminta bantuanku tentunya ini tidak gratis. Jadi katakan apa yang bisa Bapak tawarkan yang akan mengubah penilaianku mengenai permintaan Bapak?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN