1. Perjalanan

3295 Kata
Semua itu hanya kudengar dari kabar-kabar yang beredar. Bahwa aku ditemukan di satu malam yang sunyi. Teronggok dalam kegelapan malam. Tersingkir dari keramaian dunia. Tanpa ada penghangat. Selain surai-surai halus bewarna hitam dan putih itu. Yang bergelung dalam lingkaran sempurna. Memberikan perlindungan seadanya pada sebuntal bayi yang tak berdaya. Itulah Exandria. Kurang lebih ... begitulah kisah tentangku yang beredar di antara para rakyat kawanan. Desus-desus yang secara otomatis akan terngiang kembali setiap kali kakiku melangkah di jalanan. Sama seperti yang terjadi pada kali ini. Tatkala satu undangan dari Kabupaten Merapi memaksaku untuk pergi ke sana. Pada satu acara pemberkatan yang biasa dilakukan demi menyambut kelahiran pengubah bentuk yang baru. Bisikan-bisikan yang membicarakan asal usulku terdengar kembali. Hal yang tentu saja sebenarnya harus segera diantisipasi sebelum terjadi. Hingga beberapa orang pengawal yang turut serta mendampingi kehadiranku, bersiap. Memasang sikap waspada bila ada sedikit saja tampak sesuatu yang mencurigakan. Termasuk dengan perkataan-perkataan yang dianggap merendahkan posisiku. Mereka ... sebenarnya tidak mengatakan hal itu tepat di dekatku. Tapi, bakat yang aku miliki membuat aku bisa mendengar setiap suara yang terbawa oleh angin. Udara yang bergerak itu layaknya mata-mata yang hanya bisa dipahami olehku. Hingga hanya aku sendirilah yang mengerti dan paham dengan pasti apa artinya dibicarakan di belakang. Sesuatu yang telah menjadi rahasia umum sebenarnya. Di sini, di antara para rakyat kawanan, tidak semua menyukai keberadaanku. Alih-alih, tidak sedikit yang justru membenciku. Memandangku rendah karena asal-usulku yang tidak jelas. Mencemoohku. Walau tentu saja, di depanku mereka harus bersikap dengan sopan. Harus, bila mereka masih menghormati pihak kerajaan dan menyayangi nyawa mereka. “Selamat datang, Putri.” Mungkin aku memang hanyalah sebuntal bayi yang tak berdaya, dulu. Tapi, ketika sepasang tangan Raja meraih tubuhku. Memelukku. Mendekapku. Dan lalu memberikan titahnya, aku bukan lagi kemalangan di malam sunyi. Alih-alih, akulah keberuntungan yang membuat banyak hati menjadi iri. Seandainya itu aku. Seharusnya itu aku. Oh, beruntungnya dia yang menjadi bayi itu. Itu ... juga adalah kata mereka. “Terima kasih untuk undangannya.” Berusaha untuk bersikap sopan walau tanpa ada senyuman, aku membalas ucapan itu. Untuk kemudian kakiku kembali melangkah. Memasuki ruangan pertemuan di Gedung Balai Merapi. Dan mendapati semua orang-orang kepemerintahan telah hadir semuanya. Kedatanganku membuat semua orang-orang di dalam ruangan itu segera bangkit dari duduknya dengan sigap. Memasang sikap sopan dan hormat. Menyambut kedatanganku beserta rombongan yang aku bawa. Seorang gadis pelayan dan juga pengawal pribadiku, beserta sepasang anjing Kintamani yang mengapitku di kiri dan kanan. Sementara itu, pengawal kerajaan kubiarkan berjaga di luar. Sebagai seorang putri dan juga utusan langsung dari sang raja, aku mendapatkan kehormatan yang tidak didapatkan oleh yang lainnya. Dimulai dari satu singgasana yang menjadi tempatku duduk di sana. Dengan satu meja berhidangkan jamuan-jamuan lezat. Dan juga sepasang pelayan yang siap untuk mengipasiku. Aku melirik sekilas. Pada seorang gadis yang berjalan tepat di belakangku. Mata kami bertemu. Dan gadis itu, yang bernama Murti Kencana, mempercepat langkah kakinya. Dengan sigap meminta sepasang pelayan pengipas itu untuk pergi. “Jangan ada angin. Kalian tidak ingin terjadi sesuatu pada kalian bila cadar Sang Putri terbuka bukan?” Sang Gubernur Merapi yang kuingat bernama Hendra Laksmana dengan segera membungkukkan badannya. Tanpa berkilah sedikit pun meminta maaf. “Maaf, Putri.” Di balik sehelai cadar yang menutupi sebagian wajahku, bibirku bergerak. Berkata padanya. “Tidak apa-apa. Dan jangan ada yang kedua kali.” Itu adalah aturan di kalangan pengubah bentuk. Putri Raja akan terlindungi wajahnya. Tidak boleh ada seorang pun yang bisa melihatnya, kecuali orang-orang terdekatnya. Termasuk keluarga dan pelayan pribadiku. Seingatku, sepanjang usiaku baru yang menginjak angka tujuh belas tahun ini, hanya ayah dan Murti Kencana yang pernah benar-benar melihat wajahku. Bahkan ketika aku dulu kecil, wajahku sudah terlindung. Dengan mantera penjaga yang menjadi salah satu keistimewaan sang raja. Konon katanya mantera itu diturunkan dari generasi ke generasi demi melindungi setiap putri yang lahir. Melalui mantera penjaga itu, mata orang-orang tidak akan bisa melihat wajahku. Aku sempat mendengarnya. Mereka mengatakan bahwa wajahku tampak seperti tayangan kaset yang kusut. Atau tak ubahnya dengan foto yang diambil tanpa fokus. Sempat kubertanya pada ayah, mengapa harus ada mantera penjaga. Dan kala itu ayah berkata. “Karena setiap putri itu adalah permata bagi ayahnya. Dan di antara permata lainnya, kau adalah yang paling bersinar.” Kata-kata ayah memang sangat manis. Tapi, tentunya aku tidak yakin bahwa hanya itu tugas mantera penjaga. Dan aku menemukan jawabannya. Dari Mahesa Indra, seseorang yang menjadi penasehat untuk ayah selama ini. “Kurang lebih memang seperti itu. Tapi, yang pasti adalah ... karena kau seorang putri pengubah bentuk, maka kau harus selalu terlindungi. Kau tau bukan? Dunia kita kejam. Kekuatan menjadi hal yang utama. Dan menjadi seorang putri di antara rakyat kawanan, tidak akan pernah menjadi hal yang mudah. Akan ada banyak orang yang nantinya berusaha memanipulasimu. Menjaga wajahmu ... itu lebih dari menjaga nyawamu.” Begitulah yang dikatakan oleh Mahesa Indra waktu itu. Tepat ketika aku mendapatkan menstruasi pertamaku dan secara ajaib mantera penjaga itu luruh. Sekarang semua orang bisa melihat wajahku. Dan untuk itulah kain cadar ini tidak akan pernah meninggalkan wajahku. Membiarkan hanya mataku yang terlihat oleh orang-orang di sekelilingku, itulah satu alasan mengapa aku tidak pernah tersenyum. Percuma saja. Tak akan ada yang melihatnya. Dan aku tidak ingin melakukan hal yang sia-sia. Seperti tadi, ketika aku membalas sapaan Hendra Laksmana, tak ada ekspresi yang tercetak wajahku. Datar dan mungkin terkesan dingin. Persis ketika aku bertanya. “Siapa namanya?” Hendra Laksmana menatap wajah tampan yang imut di gendongannya itu. Hingga membuatku tanpa sadar turut melihat ke sana. Benar-benar bayi yang sehat. “Jacob Adiyaksa.” Pelan dan perlahan, aku melangkahkan kaki. Mendekati bayi itu dan mendapati matanya yang bening menembus retina mataku. Pandangan kami beradu. Dan layaknya tau ia sedang berhadapan dengan siapa, bayi yang semula menggeliat manja itu, mendadak diam seketika. Kuambil alih bayi itu dari gendongan ayahnya. Kutimang sekilas. Dan kudapati Murti Kencana memberiku semangkuk air bunga. Dengan air bunga itu kuusap perlahan kepala sang bayi. Yang masih tipis belum tertutupi rambut. Seraya kuberkata padanya. “Jacob Adiyaksa, putra pertama Hendra Laksmana dari klan kelelawar. Bayi yang akan memimpin klan kelelawar dengan penuh keluhuran. Darinya akan ada kemakmuran yang membahagiakan.” Penuh kehati-hatian, kuangkat Jacob Adiyaksa. Kuperlihatkan pada semua orang yang berada di balai itu. Dan tepuk tangan pun membahana. * Menjadi seorang putri bukan berarti menjadi hal yang benar-benar menyenangkan. Dulu aku sempat mengira seperti itu. Berbekal buku dongeng yang menghiasi perpustakaan Istana. Bacaan yang tak pernah kutinggalkan hingga usiaku menginjak tujuh tahun. Karena pada saat itu, kenyataan pelan-pelan mulai membuka mataku. “Apa ada jadwal selanjutnya?” Pertanyaan itu aku layangkan pada Murti Kencana tepat ketika mobil limosin bewarna hitam yang membawa kami melaju di jalanan. Mengembuskan napas sejenak, aku memilih untuk merebahkan punggungku di kursi penumpang itu dengan nyaman. Kutinggalkan sejenak sikap tangguh seorang putri yang harus selalu kutampakkan di hadapan semua orang. Di depan Murti Kencana, aku bisa sedikit menjadi diriku yang sebenarnya. Murti Kencana tampak membuka satu tablet di tangannya. Menyentuh jarinya di sana dan kemudian tampilan proyeksi muncul di hadapanku. Ia menjawab. “Hari ini jadwal Putri telah selesai.” Aku pun melihatnya. Dari tampilan proyeksi itu tampak jadwalku yang kosong hingga esok pagi. Memancing napas kelegaan berembus dari hidungku. Yang diiringi oleh refleks mataku yang kemudian menuju pada anjing Kintamaniku. “Hitam. Putih.” Aku memanggil nama keduanya. Nama yang kuberikan berdasarkan warna surai halus yang menyelimuti sekujur tubuh mereka berdua. Mereka tampak menggelung santai di lantai mobil, tak jauh dari kakiku. “Akhirnya kita bisa beristirahat.” Sepasang anjing Kintamani itu menguik sekilas. Dan lalu, mereka memejamkan mata. Layaknya mereka yang benar-benar membutuhkan istirahat kala itu. Murti Kencana segera menyingkirkan tabletnya. Ia beralih mengambil satu botol air minum yang selalu tersedia di dalam mobil itu. Dengan cekatan, ia memutar tutup botolnya. Menuangkannya di satu gelas bening tanpa lupa menyelipkan satu sedotan di sana. “Silakan, Putri,” kata Murti Kencana. “Putri pasti lelah.” Sebenarnya menghadiri berbagai acara, undangan, atau pun jamuan adalah hal yang menyenangkan bagiku. Setidaknya hal tersebut bisa membuatku keluar sejenak dari Istana. Tapi, tetap saja bukan tanpa kerugian untukku. Praktis semua hidangan yang tersaji, tidak bisa benar-benar aku sentuh. Lantaran cadar yang aku kenakan membuat aku berpikir ribuan kali untuk sedikit saja menyingkapnya. Karena cadar yang aku kenakan ini diikuti oleh satu aturan mutlak di dunia pengubah bentuk. Siapa pun yang melihat wajahku, mati adalah hukumannya. Hingga sampai saat ini, aku tidak pernah ingin membuktikan keseriusan aturan itu. Nyawa orang jelas bukanlah hal yang pantas untuk dipermainkan. “Selalu seperti ini setelah jamuan kepemerintahan,” desahku lesu seraya mengambil segelas air yang sudah disiapkan Murti Kencana untukku. Menyesap air dingin itu dengan bantuan sedotan, aku membasahi kerongkonganku yang terasa kerontang dengan hanya sedikit menyibak cadar yang kukenakan. Walaupun kala itu hanya ada aku dan Murti Kencana, tapi posisi kami sedang berada di luar Istana. Dan aku tau, semua tempat di luar Istana adalah tempat yang tidak bisa dipercaya. “Katakan pada saya, Putri,” kata Murti Kencana kemudian. “Apa Putri ingin sesuatu saat kita tiba di Istana nanti? Mungkin Putri ingin sekadar memanjakan diri? Atau mungkin ada makanan yang ingin Putri santap sebelum makan malam nanti?” Tidak langsung menjawab pertanyaan itu, aku memilih menuntaskan dahulu dahagaku yang masih menyiksa. Dan tepat setelah tetesan terakhir di gelas itu lenyap, aku menjawab. “Tidak.” Murti Kencana kembali mengambil gelas yang telah kosong itu. Mendengarkan perkataanku selanjutnya dengan saksama. “Aku hanya ingin tidur sejenak,” lanjutku padanya. “Ini hari yang melelahkan.” Tuntas mengatakan itu, aku pun memutuskan untuk memejamkan mataku. Memanfaatkan waktu yang tak seberapa untuk memulihkan sejenak tenagaku yang terasa terkuras. Dan kala itu, Murti Kencana dengan begitu penuh maklum membiarkanku beristirahat. Tak mengeluarkan sepatah kata pun lagi, keheninganlah yang menjadi teman perjalanan pulang itu. * Ketika kembali ke Istana setelah melakukan tugas kepemerintahan, ada satu rutinitas yang berlaku untuk semua orang. Yaitu, pemeriksaan keamanan. Demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, siapa pun yang keluar dan masuk dari dan ke dalam Istana, akan menjalani pemindaian. Menggunakan berbagai peralatan canggih, termasuk di dalamnya penggunaan sinar Z. Yang memastikan tidak ada satu benda asing pun yang menempel. Entah itu di tubuh atau pun di pakaian. “Bagaimana kunjungannya hari ini, Putri?” Berdiri dalam satu bilik transparan, aku sekarang berada di satu ruang pemindaian khusus. Yang hanya diperuntukkan bagi kalangan atas kerajaan. Dan sejauh ini, hanya aku dan ayah yang menjadi penggunanya. “Melelahkan seperti biasanya, Gaury.” Gaury Bimala, wanita yang sudah memasuki usia senjanya itu merupakan petugas dari bagian keamanan. Berasal dari klan anjing, aku pernah sekali melihat ia berubah bentuk. Dan kuputuskan untuk tidak bertanya dua kali mengapa ayah sampai menunjuknya menjadi salah satu bagian dari tim keamanan. Bentuk manusia Gaury Bimala benar-benar menipu bentuk hewannya. Satu senyum ramah tersungging di wajah Gaury Bimala. Seraya fokus pada tampilan komputer di hadapannya, ia membiarkan sinar Z membasuh tubuhku dari atas hingga ke bawah. Sebanyak tiga kali. Warna ungu gelapnya berpendar. Menyelimuti diriku. Lantas membawa tampilan di layar komputer Gaury Bimala. Yang dengan saksama langsung ia perhatikan dengan cermat. Hingga menampilkan kerutan di dahinya. Lantas, ia bicara dengan nada sangsi di suaranya. “Jangan katakan pada saya kalau Putri belum makan apa pun selepas sarapan pagi tadi.” Pemindaian yang sempurna bukan? Bahkan aku yakin, bila ada sebutir debu saja yang ikut terhirup olehku, maka debu itu akan terlihat oleh pemindai Gaury Bimala. “Jadwalku terlalu padat,” keluhku. “Jadi ... bagaimana? Apa ada yang aneh?” Gaury Bimala tersadar dari tugasnya. Lalu ia menggeleng seraya memadamkan pemindai. Sinar ungu itu menghilang. Dan aku keluar dari bilik transparan itu. “Semua aman, Putri.” Aku mengangguk. “Terima kasih.” “Selamat beristirahat.” Segera keluar dari ruang pemindai khusus itu, aku mendapati Murti Kencana dan juga sepasang anjingku telah selesai melakukan hal yang serupa. Kami bersih. Tanpa ada sedikit pun hal yang mencurigakan. Termasuk di dalamnya cip mata-mata yang mungkin saja diberikan tangan-tangan usil selama kami berada di luar Istana. Menarik napas dalam-dalam, aku melihat tangga yang menjulang di hadapanku. Satu-satunya sarana yang disediakan untuk menuju ke Istana Utama. Tempat di mana kehidupanku sebagai seorang putri bermula. Menapaki tiap anak tangga itu satu persatu, lagi-lagi membuat aku teringat dengan perkataan Mahesa Indra. Di mana ia pernah menjelaskan padaku mengapa Istana Utama tidak tersentuh beberapa kemajuan teknologi. Seperti lift, misalnya. “Pengubah bentuk adalah kaum yang kuat, Putri. Dibandingkan dengan kaum manusia, makhluk spiritual, dan penyihir, pengubah bentuk adalah satu-satunya kaum yang terlahir dengan fisik sempurna. Penggunaan beberapa teknologi, itu hanya untuk mempermudah kaum yang tidak sekuat kita.” Kala itu aku ingat, aku pernah membalas perkataan Mahesa Indra seperti ini. “Tapi, aku melihat ada ratusan mobil yang berjejer di parkiran Istana Utama.” Mahesa Indra tertawa. “Yang pertama ... kita tidak mungkin berlarian di tengah kota dengan bentuk hewan kita. Dan yang kedua ...” “Yang kedua ...?” “Karena Sang Raja menyukainya.” Setidaknya ...berkat obrolan aneh malam itu, aku memiliki sedikit kenangan lucu yang menjadi andalanku ketika langkahku mulai terasa berat di tangga itu. Mungkin bisa dikatakan sebagai penyemangat. Hingga tanpa sadar pada akhirnya, kami pun tiba di Istana Utama. Memiliki beberapa bagian, Istana yang sering dikenal oleh orang-orang di luar sana tidak hanya menjadi tempat tinggal anggota kerajaan. Alih-alih lebih dari itu. Di bagian depan, di mana gerbang Istana berada, di sana ada lingkaran bangunan yang mengelilingi keseluruhan Istana. Berisi banyak ruangan, tempat itu lebih dikenal dengan istilah Istana Luar. Fungsinya? Tempat rakyat kawanan yang terpilih untuk belajar. Baik itu ilmu pengetahuan atau pun ilmu bela diri. Dan tentunya, mereka diajar berdasarkan dengan klan masing-masing. Walau tidak menutup kemungkinan akan ada pengajaran gabungan yang melibatkan semua klan. Melewati Istana Luar adalah Istana Tengah. Di sinilah pemindaian keamanan akan dilakukan. Dan tak hanya itu, kegiatan surat menyurat atau pun aktivitas yang melibatkan dunia luar, dilakukan di sini. Selanjutnya ada Istana Dalam. Tempat di mana semua kegiatan kepemerintahan kerajaan berlangsung. Pun tempat untuk menjamu tamu-tamu dari luar. Yang mana intinya adalah bagian ini merupakan jantung kegiatan kerajaan. Di bagian belakang terdapat Istana Belakang. Bagian dari Istana yang merupakan tempat untuk para pekerja kerajaan tinggal. Entah itu pelayan, prajurit, koki, dokter, panglima, atau bahkan penasehat raja. Tentunya mereka tinggal di lantai dan kawasan yang berbeda. Disesuaikan dengan jabatan mereka. Dan terakhir, satu tempat yang jarang tersentuh oleh dunia luar adalah Istana Utama. Di mana semua anggota kerajaan tinggal di lantai-lantai yang berbeda sesuai dengan silsilah keluarga. Tentunya ... aku berada di lantai tertinggi nomor dua. Hal yang sungguh melelahkan untukku. “Sebenarnya aku heran, Murti.” Mengatakan itu tepat setelah aku tiba di lantai kamarku, Murti Kencana bertanya dengan nada bingung di suaranya. “Heran apa, Putri?” “Setelah menaiki seribu anak tangga setiap hari,” lanjutku seraya menarik napas. “Mengapa kakiku tidak membesar?” Murti Kencana terdengar mendehem sekilas. Aku tau. Itu pasti karena ia nyaris tertawa setelah mendengar pertanyaan konyol yang kulontarkan. “Anak tangganya berjumlah 999, Putri.” Bola mataku berputar sekali. “Oh, yang benar saja, Murti,” desahku. “Ingatkan aku untuk bertanya pada Mahesa Indra kalau kami bertemu nanti. Aku ingin tau mengapa jumlah anak tangganya tidak seribu?” “Akan saya ingatkan, Putri.” Menuntaskan percakapan aneh itu, aku melihat sepasang pengawal yang berjaga di depan pintu kamarku langsung memasang sikap hormat. Pun diikuti oleh gerakan mereka yang tangkas dalam membuka pintu setinggi lima meter itu hanya dengan satu tangan. Kedua pintu itu membuka dalam tarikan arah yang berbeda. Menyilakan aku untuk masuk. Berikut dengan Murti Kencana, Hitam, dan Putih. Lalu pintu menutup kembali. Di dalam kamar, Murti Kencana langsung menaruh tas kerja yang ia bawa di atas meja. Untuk kemudian ia bergegas bergerak ke belakang tubuhku. Menarik jas formal yang aku kenakan. Melepaskannya dari tubuhku. Hingga menyisakan satu kemeja bewarna hijau lumut itu. Beranjak duduk di meja rias, aku mendengar Murti Kencana berkata. “Saya akan segera menyiapkan air hangat untuk Putri berendam. Mohon ditunggu sejenak.” Mungkin karena cadar atau mungkin karena aku memang tidak nyaman dengan orang lain, alhasil Murti Kencana tidak hanya sekadar menjadi pelayan dan pengawal pribadiku. Tapi, ia nyaris benar-benar melakukan semuanya untukku. Bahkan termasuk dengan menyiapkan air mandi. “Nanti saja, Murti,” cegahku. Melalui cermin, aku melihat padanya. “Kau bawa dulu Hitam dan Putih. Mereka lebih letih ketimbang aku.” Mendengar perkataanku, Hitam dan Putih menyalak sekali. Mendekatiku seraya mengibas-ngibaskan ekor mereka yang naik. Aku berpaling. Mengulurkan tangan dan mengelus mereka. Pertama pada Hitam, aku berkata. “Lihat? Seharian berada di luar membuat wajah tampan bujangku ini terlihat lelah.” Dan pada Putih, aku berujar. “Dan gadis cantik ini ... tentu saja harus mendapatkan perawatan khususnya.” Selesai memberikan beberapa kali elusan pada Hitam dan Putih, aku kembali beralih pada Murti Kencana. “Urus mereka dulu. Aku bisa menunggu.” Murti Kencana mengangguk. “Baik, Putri,” katanya. Dan ia tersenyum pada kedua anjing itu. “Ayo, Hitam. Putih. Kita lihat camilan apa yang tepat setelah mandi sore kalian.” Sepeninggal Murti Kencana, Hitam, dan juga Putih, tinggallah aku sendiri di kamarku itu. Yang berdiri dengan kokoh dan tentunya megah. Walau tentu saja berbeda dengan kemewahan yang biasa ditawarkan di luar sana. Mempertahankan jati diri sebagai kaum pengubah bentuk, Istana mutlak dibangun dengan hasil kekayaan alam. Dengan kayu-kayu yang besar dan kokoh, serta berbagai aksesoris unik yang hanya mampu dimiliki oleh kaum kami. Dan tentunya, dari semua keunikan itu, ada satu yang benar-benar membuat semua orang memandang takjub pada Istana. Yaitu, pembangunannya yang tidak melibatkan alat-alat berat seperti yang digunakan kaum lainnya. Aku jadi teringat perkataan Mahesa Indra, lagi. Bahwa kaum pengubah bentuk adalah kaum yang kuat. Dan itu terbukti. Mengingat betapa luas, besar, dan megahnya Istana ini secara keseluruhan, rasanya mustahil bisa dibangun dengan alat-alat buatan manusia. Dan pada kenyataannya kami hanya butuh klan kera, maka semua pembangunan akan selesai. Yang bahkan saking kuatnya klan kera, membangun 999 anak tangga menuju ke Istana Utama membutuhkan waktu yang tidak lebih dari 12 jam lamanya. Itu cerita yang aku dengar. Menyingkirkan sejenak mengenai hiruk pikuk kehidupan kaum pengubah bentuk, aku menatap pantulan wajahku di cermin. Yang tertutup sehelai cadar bewarna hijau lumut pula. Senada dengan kemeja yang aku kenakan. Tak ada siapa pun. Hanya ada aku seorang. Hal itu membuat aku tanpa ragu melepas cadar itu dari wajahku. Untuk beberapa detik lamanya, aku menatap diriku sendiri. Hingga kemudian kutarik satu jepit yang menahan rambut hitamku. Membiarkan helai-helai lurus sepunggung itu jatuh dengan anggunnya. Rasanya ... bebas. Aku bisa menarik napas dengan lebih leluasa. Dan seperti beban yang ada di pundakku terangkat seketika. Karena kalau di luar Istana aku adalah seorang putri, maka di dalam kamar ini ... aku adalah aku. Memanfaatkan waktu yang ada, aku memutuskan untuk merebahkan sejenak tubuhku di atas tempat tidur. Yang empuk dan terasa amat nyaman untuk tubuh yang dipaksa menghadiri berbagai acara dalam kurun waktu sembilan jam lamanya. Sedetik, mataku rasanya berhasil memejam. Sempat membuat aku berpikir bahwa aku akan jatuh tertidur sore itu. Tapi, satu denting ponsel membuat kesadaranku pulih sepenuhnya. Kurogoh saku celanaku. Melihat pada benda itu, aku mendapati ada satu pesan yang masuk di sana. Hal yang membuat aku menarik napas dalam-dalam. Ternyata ada acara makan malam yang mendadak harus kuhadiri. Mataku menyipit? Ada apa dengan ayah? * bersambung .... Hai, cerita ini ekslusif hanya bisa dibaca di Innovel/Dreame/Mari Baca. Bila kalian membaca cerita ini di tempat lain atau dalam bentuk PDF/foto/video Youtube/ebook, maka bisa dipastikan bahwa cerita ini sudah disebarluaskan secara tidak bertanggungjawab (ilegal). Dengan kata lain kalian membaca cerita hasil curian. Yang perlu kalian ketahui adalah memperjualbelikan atau menyebarluaskan cerita ilegal merupakan tindakan yang melanggar hukum (silakan cari artikelnya di Google). Dan tentu saja aku tidak akan ikhlas,  karena bagaimanapun juga itu artinya kalian telah mengambil hak penghasilan yang seharusnya bisa aku dapatkan. Pesan aku, carilah kerjaan yang halal ya? Nggak malu hidup dari hasil kerja keras orang lain? Terima kasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN