Prologue

1436 Kata
Vivian POV "Ayah, ada yang bisa saya bantu?" Aku berjalan memasuki kantor ayahku, bertanya pada Ayah yang tengah sibuk memeriksa berkas kerja. Ayah menggeleng tanpa memindahkan pandangannya pada kertas-kertas yang berhamburan di meja kerjanya. "Tidak. Pergilah ke ruang kerjamu, Vivian. Tanyakan ke Lexus apa saja tanggung jawabmu mulai sekarang. Pelajari dan pahami, kemudian pergilah berkeliling kantor untuk mengenal lingkungan kerja barumu. Jika setelah itu masih ada yang tidak kamu pahami, baru cari ayah. Sekarang tinggalkan Ayah sendiri." Jelas Ayah dengan nada bicara memerintah. Aku langsung mematuhinya, pergi keluar dari ruang Presiden Direktur tersebut. Berjalan menuju ke ruang Direktur Keuangan, ruang kerjaku mulai hari ini. Tersenyum membalas sapaan beberapa jajaran Direksi yang mengenali wajahku. Hal pertama yang kulakukan adalah merapikan ruang kerjaku, memastikan semuanya tampak rapi dan terorganisir dengan baik. Barulah aku beranjak ke ruang Wakil Presiden Direktur, ruang kerja Abang Lexus yang berada di lantai lima. Sedangkan ruang kerjaku sendiri berada di lantai empat. Namaku Vivian Kaela Angelo, tahun ini usiaku menginjak enam belas tahun. Memang terlalu muda untuk memegang posisi penting dalam perusahaan sebesar ini. Akan tetapi, Ayah tidak mau tahu. Baginya aku dan Abang sudah cukup terlatih untuk menjalankan bisnis keluarga kami. Sebab ia cukup kesulitan mengendalikan perusahaan sebesar ini sendirian, mengingat Papa dan Mama terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri hingga meninggalkan posisinya begitu saja. Tentu saja aku sama sekali tidak merasa terpaksa melakukannya, sebab lebih baik aku yang bekerja keras daripada membiarkan Kakak Lexie atau Marvella yang menanggung beban berat. Mereka terlalu rapuh dan tidak akan siap menjalani kehidupan berbisnis yang dipenuhi oleh orang-orang picik penuh tipu muslihat. Sedangkan Vance? Aku pikir tidak masalah. Dia cukup siap memegang posisi Direktur Marketing di usia empat belas tahun. Bersamaan dengan saat aku dan Abang dinobatkan secara resmi. Salahnya sendiri, tidak mau ikut pulang ke Boston dengan Uncle Tyler dan memilih tinggal menetap di rumah utama cuma untuk menantikan kelahiran anak Marvella. Ayah jadi memanfaatkan tenaganya dengan seenaknya, kan. Yah ... Walaupun Vance kelihatan tidak peduli juga sih. Dia, kan memang suka bekerja, meskipun dengan cara kotor dan licik. Lagi pula aku juga sudah menyelesaikan studi musikku tahun lalu. Meski aku harus rela melepaskan impianku sebagai musisi dan berhenti di tengah jalan, saat karirku sebagai pianis mulai membaik, tapi aku tidak menyesal kok. Soalnya dibandingkan dengan karir sebagai musisi, aku lebih peduli pada kebahagiaan saudara-saudaraku. Akhirnya aku sampai juga di ruang kerja Abang, Kak Samantha langsung menyambut kedatanganku dengan senyuman lembut. "Selamat siang, Nona Vivian. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan, menunjukkan sikap seorang asisten yang baik. "Abang ada, Kak Sam? Dan bisa tolong jangan panggil aku dengan sebutan 'nona'? Kita belajar dan berlatih bersama sejak balita, aku merasa tidak nyaman diperlakukan seperti orang asing, bahkan di lingkungan kantor sekali pun." Kurasa aku harus memintanya untuk berhenti bersikap terlalu sopan kepadaku. Sebab, aku bukan orang yang gila hormat dan maniak etika kerja seperti Ayah. Makanya tidak nyaman kalau para asisten memperlakukan ku seperti seorang nona besar. Untungnya Kak Samantha mengerti, dia tersenyum kembali, tapi jenis senyuman tulus, bukan senyuman bisnis seperti tadi. Karena Abang sedang ada tamu, jadi aku memilih untuk berkeliling kantor lebih dulu. Tentu saja aku memulai dari lantai satu, berjalan dengan santai menelusuri tiap ruang yang ada dan menyapa tiap Kepala Bagian di lantai masing-masing. Ditemani oleh asistenku, Melani. Seorang wanita menarik yang aku rekrut lewat seleksi website pribadiku, bukan hasil pelatihan seperti asisten milik Abang dan Vance. "Vivi, ada telepon. Aku ke sana dulu ya, tidak apa-apa, kan keliling sendiri?" tanya Melani, sambil menunjuk ruang rapat yang kosong. "Tak apa kok, Mel. Kalau begitu saya duluan," pamitku. Kemudian aku melanjutkan sendiri, ke lantai tiga. Divisi Marketing yang menjadi tanggung jawab Vance. Betapa terkejutnya aku, begitu lift terbuka ... mataku langsung disuguhi oleh pemandangan Vance tengah mencumbui seorang karyawati yang telah menikah, menurut tebakanku dari cincin emas yang tersemat di jari manisnya. "Hentikan kelakuanmu itu, Vance!" bentakku. Vance berbalik, menatapku sinis. "Jangan ganggu aku, Vivi! Pergilah ke divisimu sendiri!" Ia membalas dengan bentakan yang lebih keras. Aku langsung menamparnya, sebagai bentuk hukuman karena sudah menyentuh wanita milik orang lain dan karena sudah bersikap kurang ajar terhadapku yang merupakan kakaknya. "Jaga sikapmu Vance, aku ini kakakmu!" tegurku dengan nada bicara datar dan dingin. Kami berdebat cukup lama hingga akhirnya ia menyerah, kembali ke ruangannya sambil mengumpat kasar. Benar-benar adik yang liar. Usai Vance pergi, aku menarik tangan wanita yang dicumbui oleh Vance tadi. Memaksanya mengikuti langkahku. "Lain kali, jika saya melihat Anda berlaku tidak senonoh dengan adik saya lagi ... bukan hanya saya pecat, tetapi juga akan saya tuntut karena bertindak tidak senonoh dengan anak di bawah umur. Paham?" Aku sedikit mengancamnya, setelah menyeretnya ke dalam toilet. Bukan hanya untuk mengancamnya kok, tapi buat membantunya membereskan pakaiannya yang nyaris telanjang akibat perbuatan Vance, ancamanku tadi cuma sekalian saja. "Maafkan saya, Bu Vivian. Saya hanya takut dengan ancaman Pak Dempster," jawabnya gemetaran saat, aku membantu mengancingkan kemejanya. Aku mengangguk paham, mengerti kalau Vance memang bertabiat amat buruk. Mungkin malah yang paling bersifat buruk di antara kami semua. Aku lalu tersenyum menenangkannya. "Tidak apa-apa, lain kali kalau Vance macam-macam lagi, segera laporkan ke saya. Jangan ladeni kemauannya di luar masalah pekerjaan, paham?" Memberinya solusi. Ia mengerti, setelah merapikan pakaiannya, wanita itu kembali ke kubikelnya. Refleks aku langsung menghela napas lelah. Ini baru hari pertama kerja dan Vance sudah mencoba memerkosa istri orang. Mungkin sebaiknya seluruh karyawati di lantai tiga ini, aku rolling saja dengan karyawan di lantai empat yang menjadi wewenangku. Setelah menenangkan diri di toilet, aku berjalan menuju pantry untuk membuat secangkir teh, berniat mengistirahatkan pikiranku sebelum melanjutkan kunjungan ke divisi lain. Namun saat aku baru saja tiba di depan pintu pantry, lagi-lagi mataku disuguhi oleh pemandangan yang tidak sepantasnya tampak di lingkungan kantor milik Ayah yang terkenal tiran dan perfeksionis. Seorang karyawan muda bertelanjang d**a sambil menyerap secangkir kopi di depan wastafel. Kemeja yang harusnya ia kenakan, malah dimasukkan ke dalam wastafel yang airnya terus mengalir begitu saja. Penampilannya tampak kacau dengan rambut acak-acakan. Dasi terpakai dengan longgar di lehernya, masih dalam keadaan telanjang d**a tanpa sehelai benang pun yang melekat dari pinggang ke atas. "Apa yang sedang Anda lakukan?" tegurku. Ia merespons dengan mengangkat cangkir kopinya. "Ngopi. Apalagi?" Sambil tersenyum lebar, jenis senyuman polos tanpa ada niat tersembunyi. "Bukan itu maksud saya, kenapa tidak berpakaian di lingkungan kantor?" Aku mendekat, melihat keadaan kemejanya yang sudah basah kuyup. "Yah ... kena tumpahan kopi. Gue cucilah, tapi nggak bersih-bersih," jawabnya santai. Aku langsung terperangah, mana mungkin kemejanya bisa bersih cuma dengan dibiarkan di bawah wastafel!? "Tentu saja tidak akan bersih, harusnya diberi sabun dan dikucek dulu," balasku, sambil membuka satu per satu lemari penyimpanan. Mencari detergen dan sikat yang bisa digunakan. Sedangkan dia malah kembali memasak air panas, mungkin untuk menyeduh kopi yang baru. "Gue nggak tahu, biasanya Nyokap yang nyucikan. Terus lo kemari buat apa? Nama lo siapa? Gue Prima," tanyanya, masih sibuk di depan kompor. Sekalian mengenalkan diri dengan cara yang terlewat casual. Aku pasrah saja. Memang laki-laki itu, banyak yang tidak paham tentang hal-hal sederhana seperti cara mencuci baju yang benar. Aku lebih memilih untuk mulai mencucikan kemejanya. "Nama saya Vivi, tadinya saya mau membuat secangkir teh, tapi saya rasa sebaiknya saya mencuci kemeja Anda saja dan salam kenal." "Ooh ... Gila! Cara bicara lo sopan banget. Bule emang semua kayak gitu?" "Saya bukan bule. Secara surat kelahiran, saya berstatus Bipatridea. Tentu saja saya juga termasuk WNI. Lalu apa yang salah dari cara berbicara yang sopan?" "Serius!? Wajah lo bule banget tahu gak!! Malah muka muda banget. Pakai  gaun  tuan putri begitu juga cakep kok!! Anak salah satu bos di sini?" "Ayah memang salah satu pimpinan, dan saya memang masih muda, Kak Prima, tapi saya bukan tuan putri atau sejenisnya," jelasku, setelah kami membicarakan berbagai hal. Noda kopi di kemeja Kak Prima juga sudah bersih. Jujur saja aku terkejut saat ia menyodorkan secangkir teh lemon untukku, sambil mengambil kembali kemejanya yang masih basah. "Buat lo, teh buatan gue tuh kejamin lho rasanya. Duduk aja sana, gue bisa keringin sendiri kok." Ia pun sibuk di depan mesin pengering tangan, mengeringkan kemejanya dengan sabar. Tanpa sadar aku tersenyum saat menyerap teh buatannya yang terasa pas lidahku. Enak, bahkan lebih enak dari teh buatan Daddy dan Kak Lexie. Kami mengobrol cukup lama, membicarakan mengenai teh dan kopi hingga kemejanya kering. Kemudian berpisah saat ia harus kembali ke pekerjaannya dan aku pun kembali melanjutkan rencana berkeliling kantor. Saat itulah aku baru sadar bahwa aku, bahkan tidak tahu nama lengkap dan di bagian apa ia bekerja. Dan entah kenapa ada sedikit rasa kecewa saat terbesit pikiran, bahwa kami tidak akan pernah bertemu kembali. Padahal kami bekerja di kantor yang sama dan tidak saling mengenal pula.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN