Bab. 2 - Kepalsuan

1196 Kata
Wanita muda yang baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki itu, terus saja mengeluarkan air mata. Larasati merutuki perbuatan Abimana beserta istri pertama yang tega bersekongkol dan memanfaatkan keluguannya. Begitu pula dengan kedua orang tua Abimana yang senantiasa bersikap baik dan penuh kasih terhadapnya. "Aku yang bodoh atau mereka yang terlalu pandai menyembunyikan semuanya?" gumam Larasati bertanya pada diri sendiri, di sela isak tangis yang tidak kunjung berhenti. Wanita yang kini pipinya terlihat sembab itu, ingat betul dengan kebahagiaan semua orang di hari pernikahannya. Pernikahan yang dilangsungkan sangat mendadak karena persiapannya hanya sehari saja. Pernikahan tersebut mendapatkan restu bukan hanya dari kedua orang tua, tetapi juga seluruh keluarga besar Abimana. Keluarga kakak Abimana yang berada di luar kota juga hadir di sana. Pun dengan keluarga kecil adik perempuan Abimana yang tinggal di luar Jawa, mereka juga hadir di pernikahannya. Hal itu membuat Larasati benar-benar tidak percaya bahwa mereka bisa bekerjasama untuk membodohinya. "Aku juga tidak menyangka, Mama Hilda yang terlihat tulus menyayangiku dan menganggap aku seperti putrinya sendiri, ternyata kasih sayangnya semu!" Kedua tangan Larasati mengepal dengan sempurna. Ya. Selama Larasati mengandung, Mama Hilda hampir setiap bulan pasti datang berkunjung ke rumah dan menginap di sana. Wanita paruh baya itu senantiasa menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya. Jika Abimana tidak dapat mengantarkan Larasati periksa ke dokter kandungan, maka sang mama mertualah yang menemaninya. "Nak, vitaminnya jangan lupa diminum. Setelah itu, kamu istirahatlah biar Mama yang menunggu Bima pulang," titah Mama Hilda, setelah memijat kaki Larasati yang sedikit membengkak efek kehamilan yang semakin membesar. "Biar Lara ikut nunggu Mas Bima, Ma. Lagian, ini juga belum ada jam sembilan," tolak Larasati dengan halus. "Lara tidak bisa tidur kalau tidak dielus sama Mas Bima, Ma," lanjutnya malu-malu, seraya mengusap lembut perutnya yang semakin membuncit. Mama Hilda tersenyum, mengerti. "Ya, sudah. Terserah kamu saja, Ra. Tapi kamu minum vitamin dulu, ya, biar tidak kelupaan." Mama Hilda segera menyiapkan vitamin untuk ibu hamil dan segelas air putih hangat untuk sang menantu. "Selamat siang, Bu Larasati." Suara merdu seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruang perawatan dan berhasil membuyarkan lamunan panjang wanita muda itu. Di belakangnya mengekor seorang perawat, sambil mendekap map yang berisi data pasien. "Siang, Dok," balas Larasati seraya mengusap kasar sisa air matanya. "Saya periksa dulu ya, Bu, untuk menentukan apakah Ibu sudah bisa pulang atau belum?" Dokter wanita tersebut tersenyum ramah dan kemudian mendekat ke ranjang pasien. Wanita yang masih merasakan lunglai di sekujur tubuhnya karena persalinan yang memakan waktu cukup panjang bakda shubuh tadi, hanya dapat mengangguk lemah. Larasati menurut saja ketika dokter spesialis obgyn itu melakukan tugasnya. Ya, persalinannya di pagi buta tadi memakan waktu yang cukup lama karena ternyata posisi sang janin sungsang dan itu baru diketahui setelah pembukaan hampir sempurna. Masih terbayang jelas dalam ingatan, bagaimana rasa sakitnya ketika mengejan, tetapi sang janin tidak kunjung lahir ke dunia. Hingga dokter lalu mengambil tindakan episiotomi dan membuat sayatan cukup panjang di perineum, yaitu antara a**s dan vagi_nanya. Sayatan yang harus dijahit dan berhasil membuat Larasati merasakan kembali kesakitan tiada tara. Belum hilang rasa sakit di area inti pasca melahirkan, sang suami yang menghilang setelah dia melahirkan tiba-tiba datang dengan membawa kabar yang melukai hati dan perasaannya. Abimana menceraikan Larasati dan mengambil hak asuh sang putra. Pria itu datang bersama seorang wanita yang diakui sebagai istri dan wanita tersebut sama sekali tidak mengizinkan Larasati untuk melihat, apalagi menyentuh putra yang baru saja dia lahirkan dengan bertaruh nyawa. "Semuanya baik, Bu. Hanya tekanan darah Bu Lara cukup tinggi, tapi Ibu jangan khawatir karena Bu Lara bisa segera menyusui bayi Ibu. Dengan menyusui, dapat membantu menurunkan tekanan darah," terang dokter tersebut sambil membetulkan letak kacamatanya. Mendengar keterangan dokter barusan, hati Larasati menjerit. Bagaimana mungkin dia dapat menyusui sang buah hati, jika mereka berdua telah dipisahkan bahkan oleh orang terdekatnya sendiri? "Apa saya sudah boleh pulang, Dok?" tanya Larasati dengan suara bergetar, menahan tangis. "Boleh-boleh, Bu Lara sudah boleh pulang sekarang agar bisa segera menyusui bayi Ibu. Oh, ya, Bu Lara. Bayi Bu Lara sepertinya sudah dibawa pulang duluan ya, sama ayahnya? Wah, pasti keluarga sudah tidak sabar ingin menimang bayi Ibu yang menggemaskan tadi. Badannya montok dan parasnya tampan, menggemaskan pokoknya. Andai saya masih muda, saya juga mau mengadopsinya jika Bu Lara berkenan," lanjut dokter seraya tersenyum dan suster yang bersamanya menganggukkan kepala, tanda setuju dengan perkataan sang dokter. Sementara Larasati terdiam. Apa yang dikatakan dokter kandungan itu barusan, sudah tidak dapat ditangkap dengan baik oleh Larasati karena ingatannya langsung tertuju pada Abimana dan wanita yang menggendong bayinya. "Mereka benar-benar jahat! Tidak punya hati!" batinnya, pilu. Larasati masih terdiam di tempatnya. Netra wanita muda itu berkaca-kaca. Sepertinya, dia masih sibuk memikirkan apa yang baru saja terjadi hingga dia tidak menyadari ketika dokter serta suster yang baru saja memeriksanya, telah pamit, dan meninggalkan ruangan tempat dia dirawat. Keheningan kembali tercipta di ruang rawat Larasati. Hanya ada dirinya yang merasakan luka seorang sendiri. Luka fisik dan juga luka hati. Wanita muda itu kembali menangis, meratapi apa yang telah terjadi. "Apa salahku? Apa dosaku? Hingga Engkau menghukumku sedemikian berat, Tuhan? Aku tidak pernah merebut suami orang! Aku sama sekali tidak tahu kalau dia sudah memiliki istri! Lalu, kenapa aku yang harus menanggung semua ini?" Pilu, Larasati mengungkapkan semua isi hati, di sela isak tangis. Lelah menangis, Larasati kemudian beringsut dan perlahan turun dari ranjang. Tidak, dia tidak boleh terus meratapi nasibnya. Dia tidak mau terlihat terpuruk dan merana. Sementara orang yang telah berbuat jahat padanya, tersenyum bahagia di sana. "Aku harus bangkit dan aku pasti bisa! Akan kurebut kembali anakku!" janji Larasati dalam hati. Setelah membersihkan tubuh dan berkemas dengan susah payah sembari menahan rasa sakit yang teramat sangat, Larasati segera meninggalkan rumah sakit tempat dia melahirkan. Dia berjalan tertatih menuju pinggir jalan untuk mencari angkutan. Kebetulan ada taksi melintas dan Larasati segera menghadang. "Perumahan Permata, Pak." Larasati memberitahukan tujuannya, setelah dia duduk di bangku penumpang dan sopir taksi berwarna biru tersebut mengangguk. Taksi dengan logo gambar burung tersebut terus melaju, membelah jalanan beraspal yang panas karena matahari tepat berada di atas kepala. Di bangku penumpang, wanita muda yang duduk dengan menahan rasa sakit di area inti, diam seribu bahasa. Larasati yang biasanya ramah dan selalu menyapa duluan pada setiap orang yang dijumpai, kini tidak berminat untuk mengajak sopir taksi berbicara. Pikiran mantan istri Abimana itu masih tertuju pada sang putra, yang baru saja dilahirkan, dan belum sempat dilihatnya. "Dokter bilang, kamu tampan dan menggemaskan, Nak. Bunda ingin melihatmu, Sayang. Bunda ingin memelukmu." Air mata wanita muda itu kembali menetes. "Bu kita sudah sampai. Apa rumah bercat biru itu yang Ibu maksud?" Sopir taksi menunjuk rumah di sisi kiri Larasati dan wanita muda itu mengangguk. Setelah membayar ongkos taksi, Larasati segera turun. Dia tertegun menatap daun pintu rumahnya yang tertutup rapat. Di sana tertulis dengan sangat jelas bahwa rumah tersebut dijual. Tulisan dengan tinta hitam dan dengan huruf yang besar. "Kini, aku semakin tahu siapa kamu, Mas? Tanpa kamu mengusirku dengan cara seperti ini, aku memang sudah bertekad untuk meninggalkan rumah yang penuh dengan kepalsuanmu! Cinta dan kasih sayangmu palsu, Mas! Perhatian dan kebaikan kamu juga palsu! Semuanya palsu hingga sulit bagiku membedakan bahwa yang kamu berikan adalah kepalsuan!" geram Larasati. Air mata kembali luruh membasahi pipi wanita berhijab itu. bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN