Ririn menatap langit kamarnya beratap genting lapuk hingga sebagian kecil terlihat sela sela bolong jika hujan akan mudah di lalui air hujan, di sampingnya, Dinda, adiknya tengah tertidur pulas beralaskan kasur tipis di atas lantai kayu, dadanya berdegup kencang kalau-kalau dirinya tak bisa membahagiakan sang adik, pakaian yang di kenakan oleh gadis kecil itu terlampau lusuh serta ada bekas tambalan sana sini, miris.
Sejenak Ririn terperanjat mendengar ketukan halus dari balik kusen pintu dari anyaman bambu, terlihat pamannya berdiri di balik pintu kamarnya.
Mereka kini duduk berdua hanya di terangi sumber pencahayaan dari lampu minyak lantai terasa dingin mengenai langsung kulit kaki mereka
Pak Lik mengambil sepucuk surat di kantongnya, surat yang sempat di lupakan Ririn ternyata sudah di bawa pak Lik. Pria tua itu menyodorkan surat kepada Ririn, seperti Dejavu tadi siang
Ririn sama sekali diam tak tau bereaksi apa, pak lik tersenyum teduh pada dirinya, tak lama pak Lik mengeluarkan gulugan uang di ikat karet serta uang koin di plastik bening di sodorkan di depannya.
" Ini ap-"
" Ini yang pak Lik kumpulin selama ini, niat nya buat hajatan kamu nikah biar kamu gak malu dari keluarga miskin," pak Lik terdiam sebentar berdehem melanjutkan ucapannya, "kalau kamu pergi niat kamu belajar di kota, pergi saja jangan mikir kita di desa. Tapi kamu harus ingat di kota itu hidup cukup keras dari pada di desa, di sini cukup makan bisa tidur gak ngutang sudah seneng sama cukup, tapi kalau di kota kamu hidup kalau gak bisa beli yang kamu pengen di sana bukan jual singkong tapi jual diri" ujar pak Lik serius.
Ririn terperangah menatap wajah sayu yang kian kuyu itu menahan tangis,
" Pak Lik, doa kan kamu di sana, nduk"
Ririn lalu memeluk tubuh pria yang di anggap ayahnya, menahan tangis kedua orang itu namun berakhir pecah. Tak ayal tangisan dua manusia itu membangunkan gadis kecil di sana, Dinda sama sekali tak bertanya ataupun menganggu kedua keluarganya itu hanya terdiam lalu berjak dari sana kembali pura-pura tertidur sekembalinya Ririn dia menatap punggung adiknya yang kurus keronta kurang gizi Dirinya memeluk tubuh itu dari belakang tanpa tau Dinda sudah membuka mata sedari tadi
" Mbak, mbak mau ninggalin aku sama pak Lik?"
Ririn seketika terduduk tau adiknya belum tidur
" Mbak mau belajar di kota Din,"
" Tapi Dinda kok gak di ajak"
" Kalau Dinda ikut, siapa yang jaga pak Lik? Kan kita cuman punya pak Lik, Din"
Dinda ikut duduk, menatap kakaknya Dengan uraian air mata, takut jika kakaknya akan meninggalkan dirinya seperti kedua orang tua mereka.
Ririn memeluk tubuh ceking adiknya erat hari itu kedua kalinya dia memeluk dua orang penting di hidupnya meluapkan emosi terpendam.
Hari dimana dirinya pergi ke kota berbekal uang saku seadanya serta berpamitan dengan pak Lik serta Dinda, subuh itu dimana langit masih cukup petang Ririn Mecari mobil kap sayur yang mau menampung nya.
" Pak de, ini mau ke kota ya?" Tanya nya pada supir sayur
" Iya neng, ini mau ke kota nganterin sayur ke pasar sana," jawabnya sembari menyedot bakau rokok menghasilkan asap di udara
" Boleh saya numpang ke kota pak?" Tanya Ririn memohon,
Terlihat supir itu berfikir lalu mengangguk mengiyakan
" Boleh neng, tapi duduknya bareng sayur di belakang ya, di depan gak muat"
" Iya pak de, gak papa saya cuman numpang ke kota aja".
Pagi itu dengan kabut masih menutupi jalan Ririn memeluk dirinya sendiri mengurangi udara menusuk di kulit, hampir siang menjelang dirinya berganti menaiki bis serta angkot sampailah dirinya di kota dimaksud dimana ia akan menempuh pendidikan lanjutan.
Di dapatnya kos murah sekitar unversitas hasil dari pencarian aplikasi di Hp tanpa perlu bingung, sederhana tak begitu mewah namun cukup sekedar untuk tidur.
Acara penerimaan murid baru pun sudah di lalui semenjak beberapa bulan lalu tapi Ririn belum mendapatkan teman akrab seperti grommbolan anak gadis lainnya, " yaudah, kalau gak ada temen buat jalan-jalan makan bekal di taman belakang deh" ujarnya sembari menuju taman luas unversitas.
" Udah deh, gua gak mau urusan sama loe!" Teriak nya kesal pada pemuda berbaju hitam.
" Nin, ayo dong sekali aja mumpung gak banyak orang nih" desaknya mengapit gadis cantik kurang bahan itu ke pohon
Bruak. .
Benda berbentuk persegi melayang tepat ke kepala pria tadi Hinga mengaduh kesakitan, " b******n siapa nih" maki pria itu kesal
" Ada dosen ke sini pak Ujang lagi patroli," ungkap Gadis itu menyakinkan, sontak pemuda tadi lari tak mau berurusan dengan dosen terkenal killer tersebut.
" Kamu siapa,"
Tak menjawab Ririn malah berjongkok memunguti sisa bekal yang terjatuh bersukur nasi serta Sop bening di taruh dalam plastik
" Eh- mbak, maaf tadi reflek gak niat ganggu" kikuknya setelah tersadar, wanita tadi berdiri sembari memegang sisi pinggang nya angkuh.
Mereka kini duduk bersama di gazebo sekitar sana, sembari menikmati makanan dengan cuek melupakan Nina di sebelahnya,
" Nama kamu siapa?" Tanya Nina
" Ririn Megawati, mbak" jawabnya setelah menyelesaikan bekalnya
Nina menatap kotak makan yang sudah tandas dengan heran, " itu kan kotor ngapain kamu makan"
" Masih aman mbak, ada plastiknya kok" bella nya
Tak mau berdebat Nina mangut-mangut
" Nama ku Nina, El Nina yuris,"
" El Monas Turis?" Kagetnya mendengar nama yang sulit di ucapkan
Nina malah tergelak tawa mendengar kesalahan teman barunya.
" El Nina Yuris, bukan El Monas Turis. Ingat itu" ulangnya
" Nama anak kita ribet-ribet ya mbak"
" Emang kamu dari mana? Kayak nya kita seangkatan deh, jangan pangil mbak"
" Dari Situbondo, iya mba- eh, iya Nin"
Nina tersenyum memamerkan gigi putihnya, mereka berdua mengobrol Hingga saling mengenal satu sama lain
Ternyata Nina satu jurusan dengannya.
***
Kurang lebih Ririn tahu bahwa Nina kini akrab dengannya punya pangilan tak menyenangkan, ayam kampus. Seperti itu gosip tak enak di dengar kuping.
" Nin, emang apa sih arti ayam kampus. Se-engak enak itu banget di dengar" celetuk Ririn
Mereka berdua tengah asik menyelonjorkan kaki, sembari menikmati cup es coklat di kost Ririn.
" Kamu beneran gak tau, atau gak mau tau"
Ririn menggeleng heboh
"Yah, kayak simpenan om-om bahasa halus nya dari p*****r lah" santai nya.
"Kamu?.."
"Iya, aku anai-anai, simpenan om-om berduit"
" Kenapa kamu gitu Nin" sesalnya berwajah muram.
"Nyokap bokap gue..." Nina terdiam menahan buram di mata
" Ngebuang gue, setelah tau anak nya jadi piala bergilir pacarnya. Tau ngak? Gua kira setelah jadi korban pelecehan orang tua gua bakal ngedukung mental gua, nyatanya.."
Nina tak melanjutkan, merebahkan badannya terasa berat di lantai dingin.
" Kamu gak salah kok Nin, maaf aku ikut campur"
" Gak, gak papa. Jarang-jarang gua bisa bicara hal sepele kek gini kek orang lain"
" Ini gak sepele Min" sergahnya