Bab 2

1649 Kata
  Sepulang dari Yogya, Elang kerap meminta maaf pada Emilia. Elang merasa sangat bersalah dan menyesal karena selama di kota gudeg ia tidak sempat menghubungi istrinya. Elang menelpon Emilia ketika dalam perjalanan pulang, itu pun sudah tiga hari ia berada di kota Yogya dengan alasan ada perkerjsan yang mendadak harus ia tangani.    Permintaan maaf yang dilontarkan terus menerus oleh sang suami, justru membuat Emilia berpikir buruk terhadap suaminya. Karena, tidak biasanya suaminya bersikap seperti itu. Apalagi kini sorot mata Elang saat memandang dirinya sedikit berbeda. Emilia tetap merasakan besarnya cinta Elang lewat tatapan itu, tetapi seperti ada sesuatu yang Elang sembunyikan darinya.    "Mas, hari Sabtu besok kita jengukin Luna yuk. Aku udah kangen banget lho, udah satu bulan lebih enggak ketemu. Pengen meluk rasanya." Emilia berbicara pada Elang ketika berada di atas tempat tidur.    Mereka biasa berbagi cerita tentang rutinitas hariannya atau apa saja sebelum tidur. Elang sedikit terkejut dengan pemintaan istrinya.    "Kan masih bisa video call Sayang. Lagi pula aku ada kerjaan lagi di luar kota," ucap Elang menyakinkan istrinya.    "Memangnya tidak bisa diwakilkan ya? Biasanya juga Mas nyuruh Dewa atau Anton kalau urusan kenluar kota. Kenapa sekarang rajin benget kenluar kota?"    "Bukan begitu Sayang. Aku hanya memberi kesempatan pada Dewa dan Anton supaya mempunyai banyak waktu untuk anaknya."   "Karena alasan itu kamu jadi sering pergi? Apa kalau kita punya anak kamu juga akan memilih untuk menemani anakmu?" Emilia menghembuskan napasnya panjang. "Karena kamu hanya punya istri jadi kamu pikir istrimu ini gak butuh perhatian dari suaminya ya?"   "Ma-maksudku ...."   "Sudahlah, lebih baik kita tidur." Emilia membaringkan tubuhnya lalu membelakangi suaminya.   Elang turut berbaring lalu memeluk istrinya dari belakang. "Maaf. Maafkan aku kalau akhir-akhir ini sering mengabaikanmu," bisik Elang di telinga Emilia.   Emilia bergeming. Ia menutup rapat matanya, memilih mengabaikan ucapan suaminya, meskipun hatinya seperti teriris mengingat sikap suaminya akhir-akhir ini.   Elang sering pergi ke luar kota, atau kerap pulang larut malam. Padahal biasanya apabila sedang banyak pekerjaan atau masalah lainnya, pasti Elang akan bercerita kepadanya. Namun, sekarang apabila ditanya, Elang akan menjawab dengan memberikan kecupan diseluruh wajahnya. Bukan, bukan Emilia tidak senang menerima kecupan suaminya, tetapi rasanya ada yang ditutupi dari Elang. Meskipun Emilia tau kalau suaminya memang termasuk orang yang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tetapibitu berlaku apabila Elang sedang berhadapan dengan orang lain. Apakah sekarang ia telah dianggap orang lain oleh suaminya sendiri?  ***   "Dari pagi aku gak bisa makan apa-apa By. Kapan kamu ke sini? Kamu tau sendiri 'kan aku bisa makan kalau kamu yang suapin."   "Sabar ya, Sabtu ini insya Allah aku ke Yogya," ucap pria di seberang sana.   "Apa aku harus menunggu selama tiga hari untuk bisa makan?" Ada getar suara seperti menahan tangis.   Terdengar hembusan napas dari pria yang Luna hubungi lewat telpon siang ini.   "Begini saja, sekarang kamu minta tolong Bu Wulan untuk siapkan makan siang kamu. Kalau sudah, nanti kamu video call aku. Siapa tau kalau kamu makan sambil melihat wajahku, kamu tidak akan mual lagi, dan makanan yang kamu makan bisa masuk ke perut."   "Baiklah. Aku coba. Aku matiin dulu telponnya."   Setelah memutuskan sambungan telponnya, Luna memanggil Wulan--orang yang dipercaya Elang untuk menemani dan menyiapkan kebutuhan Luna selama ini.   "Ini makan siangnya Nduk. Semoga ndak dimuntahin lagi ya."   Luna mengangguk. "Terima kasih Bu."   Bu Wulan keluar dari kamar Luna dan tak lupa menutup pintunya. Setelah Bu Wulan keluar dari kamarnya, Luna segera melakukan video call kepada orang yang ditelpon ya tadi. Ternyata lumayan manjur juga, makan sambil video call dengan ayah dari bayi yang dikandungnya. Meskipun ia terkadang sedih kalau lelaki itu memutuskan sambungannya secara tiba-tiba jika terdengar suara perempuan yang tak lain adalah istri pertama suaminya. Ya, status Luna kini adalah istri kedua. Tidak terlintas sedikitpun di pikirannya bahwa nasibnya hanyalah seorang istri kedua. Tadinya Luna merasa seperti hina karena secara tidak langsung menyakiti hati istri pertama suaminya, walaupun sampai saat ini istri pertama suaminya belum mengetahui yang sebenarnya. Namun, lambat laun Luna mulai menikmati statusnya, karena benih-bemih cintah sudah mulai bermekaran di hatinya untuk sang suami, apalagi sekarang ia tengah mengandung anak yang diidam-idamkan terutama oleh ibu mertuanya.   Luna mengelus perutnya yang masih rata. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan mencintai dan dicintai oleh laki-laki yang telah menghidupinya selama 10 tahun belakangan ini. Pertama kalinya ia merasakan kasih sayang dari seorang laki-laki yang kala itu kasih sayang yang diberikannya tentu berbeda dengan kasih sayang saat ini.   Ah, kenapa tiba-tiba ia kangen dengan ibunya. Selama ini ia hanya berani bertegur sapa dengan sang ibu lewat chat saja. Berbicara lewat telpon hanya sesekali, itu pun terpaksa ia lakukan karena tidak tega mendapatkan panggilan berkali-kali dari ibunya yang sering ia abaikan. Ia terlalu pengecut setelah apa yang telah terjadi pada dirinya yang tanpa ibunya ketahui, ia telah menghancurkan kehidupan ibunya.   Tak terasa, hari Sabtu pun tiba. Hari yang mana ia sedang menunggu kedatangan seseorang. Seseorang yang beberapa hari ini selalu melintas di pikirannya. Baik itu wajahnya, suaranya, dan juga sentuhannya.Ya, Luna merindukan semua itu dari pria yang kini tengah berdiri di hadapannya. Luna tersenyum saat mengetahui pujaan hatinya telah datang dan kini merentangkan kedua tangannya menanti pelukan dari Luna.   "Hubby!" Luna berlari ke arah suaminya lalu sedikit melompat, kini ia sudah berada di dekapan sang suami. Membelikan kedua kakinya di pinggang sang suami. Melingkarkan tangannya pada leher pria berambut ikal itu, tak lupa ia hadiahi kecupan di bibir tebal itu.   "Lain kali jangan berlari. Kalau jatuh berbahaya buat baby," ucap suami Luna.   "Oh, jadi yang dikhawatirkan cuma baby aja? Aku enggak?" tanya Luna sambil mengerucutkan bibirnya.   "Kamu juga Sayang," jawabnya sambil mengelus punggung Luna.   "Sudah makan By?"    "Belum."   "Ya, sudah, aku siapkan makan malam dulu. Tadi Bu Wulan sudah masak tinggal dipanasin," ucap Luna berniat untuk turun dari gendongan suaminya. Namun, segera dicegah oleh sang suami.   Luna menatap suaminya. "Ada apa?"   "Mau makan kamu dulu boleh?"   Semburat merah jambu hadir dikedua pipinya. Luna mengangguk sambil tersenyum. Elang membawa Luna dalam gendongannya, berjalan menuju kamar tak lupa menutup dan mengunci pintu kamar itu.   Setelah saling melepas rindu dengan mereguk kenikmatan di atas tempat tidur, kini Elang dan Luna sedang menikmati makan malamnya. Terpancar jelas binar kebahagiaan dari wajah wanita hamil itu.   "Coba kalau setiap hari begini, aku enggak perlu capek bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk mengeluarkan makanan yang baru saja masuk ke perut," keluh Luna sambil menerima suapan dari sang suami.   "Sabar ya, aku sedang mencari waktu buang tepat untuk jujur. Kalau sekarang aku belum bisa, rasanya tidak tega melihatnya hancur pastinya," ucap Elang dengan wajah frustasinya.   "Iya lah enggak tega. Namanya juga cinta. Wajar sih, Bunda itu kan cantik, pintar, baik, berpendidikan. Tidak seperti aku, baru daftar kuliah langsung cuti."   "Sstt, jangan bicara seperti itu. Kalian itu berbeda tapi sama-sama sepesial."   "Kalau aku enggak bisa hamil apakah masih sepesial?"   "Tentu. Makanlah yang banyak, selagi bisa masuk. Beri anak kita nutrisi yang banyak, biar kuat seperti mamanya," ucap Elang sambil mengelus perut rata Luna.   "By, apa enggak sebaiknya aku tinggal di Solo saja? Lagi pula aku cuti kuliah karna kondisi ku ini."   "Tidak, terlalu beresiko. Akan berpeluang besar Emilia bertemu denganmu."   Hati Luna mencelos. Luna pikir setelah ia hamil, ia akan mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang utuh dari laki-laki yang dicintainya. Namun, lagi-lagi harapannya terpatahkan karena setatusnya yang hanya istri kedua, bahkan pernikahan mereka hanya dilakukan secara agama. Ia harus sadar bahwa, suaminya masih sangat mencintai istri pertamanya, meskipun ia bisa memberikan apa yang tidak dapat diberikan oleh Emilia.   Di tempat yang berbeda   "Kau pulang sendiri?" tanya Dewa pada Emilia yang berjalan menuju mobilnya.   "Kelihatannya bagaimana?"   "Elang sering pulang cepat. Apa ada sesuatu?"   Pulang cepat?   Sejak kapan Mas Elang pulang cepat   Bukankah hampir setiap hari ia selalu pulang larut?   "Tidak ada apa-apa," jawab Emilia berusaha tenang menutupi rasa gundahnya.   "Aku pikir ada berita bahagia yang membuatnya selalu betah di rumah. Ya sudah, aku duluan. Hati-hati di jalan. Salam buat Elang yang selalu libur di waktu weekend, meski kerjaan menumpuk."    Dewa berjalan menuju mobilnya. Saat akan meninggalkan area parkir rumah sakit, tak lupa ia membunyikan klakson pada Emilia.   Emilia berjengit, ia baru sadar bahwa Dewa sudah tidak ada di hadapannya lagi. Sedari tadi pikirannya sibuk mencerna ucapan sahabat suaminya.   Apa maksud ucapan Dewa?    Ah, pasti dia sedang bercanda.   Minggu malam, Elang sudah berada di Solo. Wajahnya terlihat sangat lelah. Emilia menyambutnya dengan senyum tulus, meski banyak sekali pertanyaan yang ingin ia ajukan pada sang suami, tapi ia memilih untuk mengurungkannya. Mencari momen yang tepat untuk menanyakan perihal suaminya yang sering ke luar kota.    "Mau langsung makan atau mandi dulu Mas?" Emilia mengurai pelukan suaminya. Ditatapnya mata lembut suaminya yang terkadang berubah menjadi tajam apabila berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya. Diusapnya dengan lembut wajah suaminya.   Kenapa aku merasa kamu berubah Mas   Apakah hanya perasaanku saja?   "Aku rasa, mandi bisa sedikit menghilangkan rasa lelahku."   "Kalau begitu, aku siapkan air hangatnya dulu." Emilia bergegas menuju kamarnya, menyiapkan air untuk mandi sang suami.   "Airnya sudah siap Mas," ucap Emilia saat keluar dari kamar mandi.   Elang yang posisinya sedang berbaring, segera beranjak menghampiri istrinya.   "Bajunya juga sudah aku siapkan," ucap Emilia lagi, lalu ia hendak menuju tempat tidur namun tangannya dicekal oleh Elang.   "Mandi bersama?"   Emilia terkekeh kemudian menggeleng. "Aku sudah mandi Mas."   "Kalau begitu, temani aku," ucap Elang dengan suara parau.   Setelah selesai mandi yang memakan waktu satu jam lebih, tentu saja mereka tidak hanya sekedar mandi. Ada aktifitas lain yang dilakukan oleh pasangan suami istri itu. Emilia tak kuasa menolak saat Elang memintanya, apalagi sentuhan lembut seorang Elang Pandawa mampu membuat ia melupakan rasa penasaran dan curiga pada sang suami. Emilia memunguti baju kotor yang berserakan di lantai kamar mandi untuk dimasukan ke dalam keranjang pakaian kotor. Saat mengambil kemeja milik Elang, samar-samar terlihat noda merah dibagian dalam kerah kemeja. Rasa penasaran yang besar membawanya untuk meneliti. Setelah diamati noda merah tersebut seperti bekas lipstik, karena masih agak terlihat bentuk bibir tercetak di sana.    Tubuhnya seketika panas. Seolah darah yang mengalir di dalam tubuhnya sedang mendidih. Semua yang ada dalam genggamannya terlepas, kecuali kemeja biru laut yang masih dicengkeramnya dengan erat. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN