Seandainya semua keinginan bisa terwujud dengan mudah tak akan ada yang namanya kegagalan. Sebuah keputusan akan membuat segalanya berubah. Perubahan yang bisa masa depan, entah itu lebih baik atau jadi semakin buruk.
Begitulah perasaan Maria. Ia merasa resah dan gelisah sendiri. Bagaimana ia tidak merasakan hal tersebut karena malam ini keluarga Philip akan datang ke rumahnya. Kedatangan mereka secara resmi untuk melanjutkan acara perjodohannya dengan Ansell. Ia ingin sekali menggagalkan pertemuan dua keluarga ini, tapi bagaimana caranya, ia sendiri pun tak tahu.
Maria melihat mamanya sibuk dengan beberapa pelayan untuk menyiapkan semua keperluan dari makan, dekorasi. Ia makin pusing dan bingung harus melakukan apa?
"Aduuh, gimana caranya yaa," keluhnya.
Hari menjelang malam, matahari sudah dipenghujung petang tergantikan rembulan yang menyinari gelapnya malam. Maria melihat bulan berharap sesuai keajaiban bisa terjadi, tapi semua itu hanyalah tinggal angan-angan semu. Keluarga Ansell Philip sudah berada di dalam rumahnya.
"Mar, dipanggil Mama dan Papa," ujar Mario, kakak Maria.
"Kak bantuin aku," rengek Maria.
"Bantuin ngapain?"
"Aku ga mau dengan acara jodoh-jodohan ini, aku cintanya sama Exel."
"Kamu jalani aja dulu, Ansell itu jauh baik dibandingkan si Exel. Masih muda, berpendidikan, dan pengusaha yang sukses. Ga ada apa-apanya sama si cunguk Exel itu."
"Kakak, jangan menghina Exel dong. Kita 'kan dulu sering bermain bersama Exel." Maria mengerucutkan bibirnya.
"So what gitu. Mau dia teman sepermainan, tapi dari dulu memang Kakak ga suka. Kamu aja yang gampang dipermainkan sama si Exel."
"Kakak, aku mau nya cuma sama Exel."
"Dasar matamu ga beres wahai adikku tersayang. Masih baik Ansell kemana-mana lagi."
"Iya sih, Ansell baik. Walau sebaik apapun, tapi dihatiku hanya ada Exel, Kak."
"Sudahlah kamu turun aja ga usah banyak protes dan ingat wajahmu harus smile atau Papa Mama akan marah sama kamu."
Maria menghela napas dengan berat mencoba mengontrol emosinya. Saat melihat wajah-wajah orang yang ia kenal termasuk Ansell, ia menarik bibir tersenyum dengan menawan hingga membuat garis lengkung di bagian sudut bibirnya.
Tanpa semangat Maria mendengarkan semua perkataan orang tuanya, terutama papanya Roland dengan tegas menyatakan kalau dirinya diputuskan untuk dijodohkan dengan Ansell. Ia lagi-lagi terpaksa tersenyum dan harus setuju dengan keputusan Roland walau dalam hatinya ingin memberontak, tapi ia tak berani. Jika Roland sudah mengambil keputusan tidak akan ada orang dalam keluarganya berani membantahnya.
Setelah selesai acara beramah-tamah antar keluarga, Maria duduk di taman belakang rumah dengan wajah yang berbeda. Sudah tak ada lagi senyuman palsu ala bintang telenovela yang sangat lihai dalam berakting dan berganti mimik wajah.
Ansell mendekati Maria dengan membawa minuman bersoda. Ia bukannya tidak tahu kalau Maria tidak mencintainya dan enggan bertunangan dengannya, tapi ia yakin kalau bisa menaklukan gadis manja itu.
"Sendirian aja," tegur Ansell.
"Bukan urusanmu," sahut Maria kesal.
"Kalau dulu kamu cemberut memang bukan urusanku, tapi sekarang jadi urusanku karena kamu tunangan Ansell Philip."
"Ansell, aku ga bisa bertunangan sama kamu, kita batalkan saja yaa."
"Tapi, orang tua kita sudah menentukannya Maria."
"Aku tidak mencintaimu."
"Aku tahu kamu belum mencintaiku, tapi saat kamu mengenalku lebih jauh kata-kata akan berubah jadi 'aku mencintaimu."
"Apa kamu yakin? Aku sudah berpacaran dengan kekasihku selama 9 tahun. Dia cinta pertamaku."
"Ok tak masalah, setiap orang pernah merasakan cinta pertama dan cinta pertama belum tentu jadi cinta terakhir, 'kan?"
"Kamu kenapa sih ngotot banget harus sama aku? Apa kamu mau menikah dengan orang yang ga cinta kamu? Apa perasaanmu ga akan sakit?"
"Suka-suka aku dong, perasaan aku sendiri, aku yang menentukan bukan orang lain," ujar Ansell cuek.
Pembicaraan mereka terputus saat Maria dering ponsel Maria berbunyi.
"Aku mau angkat telepon dulu," ujar Maria dengan santai mengangkat teleponnya.
Maria menjauh dari Ansell, ia lalu mengangkat telepon dari sahabatnya, Belin."
"Halo Berli," sapa Maria.
"Mar, aku ada kabar ga enak nih," ujar Berli.
"Kabar apaan?"
"Si Exel jalan sama Sicilia. Aku lihat mata kepalaku sendiri. Sekarang kamu kesini deh."
"Ooh kurang asem, kurang manis nih orang. Kamu dimana?"
"Aku di club Alicante."
"Ok. Tunggu aku disana."
"Cepetan yaa, Mar."
Maria memutuskan komunikasinya dengan Berli. Ia sangat kesal kesal mendengar perkataan Berli, ia harus segera ke club malam untuk bertemu Exel. Baru saja ditinggal sebentar kumat lagi kelakuan kekasihnya yang mata keranjang, tapi bagaimana caranya pergi dari pertunangan yang memuakkan ini?