POV RASTI
Anak-anak diajak serta tidur bersama kami di kamar. Sepertinya, Mas Danang ingin menghabiskan malam bersama mereka. Aku sampai menggelar sebuah kasur di bawah. Karena tempat tidur tidak muat untuk menampung kami berempat.
“Papa, jangan tinggalkan aku, ya?” pinta Raline saat Mas Danang sudah tidak bersuara.
“Hemh,” gumam Mas Danang lirih.
Aku berdiri di tepi ranjang, mengamati tiga orang yang sangat berharga dalam hidupku. Rasanya, aku tidak sanggup berbagi. Meski Mas Danang menganggap pernikahan mereka hanya sebatas formalitas semata. Siapapun wanitanya, tentu tidak ada yang mau dimadu, dengan cara dan niat apapun itu. Terlebih, wanita yang menjadi madunya, masih sesame menantu.
Pagi hari, kami beraktivitas seperti biasanya. Mas Danang bersiap kerja, sementara anak-anak bersiap untuk berangkat sekolah.
“Jaga rumah, ya? Aku berangkat dulu,” ucap Mas danang saat Nadine dan Raline telah berada di luar, menunggu ayahnya untuk mengantar ke sekolah. Aku masih membenahi piring yang kotor.
Mendengar Mas Danang berpamitan, entah mengapa, hati merasakan sebuah kekhawatiran. Tangan ini berhenti sejenak dari aktivitas mengemasi barang bekas makan kami. Mataku lekat menatap wajah pria yang telah hidup bersama selama bertahun-tahun itu.
“Kamu kenapa?” tanya Mas danang lembut.
“Apa mas akan pulang nanti?” tanyaku balik.
Mas Danang tersenyum lebar. “Rumahku di sini. Keluargaku juga ada di sini. Aku mau kemana lagi bila tidak pulang ke rumah ini?” ujarnya pelan tapi tegas.
“Istrimu ada dua sekarang, bukan?” tanyaku lagi.
“Rasti, kamu tahu, ‘kan? Aku pernah bilang apa sama kamu?”
“Aku tidak menjamin hati kamu, Mas,” ujarku lirih.
“Jangan berpikir yang macam-macam! Jaga rumah, aku akan pulang lebih awal nanti. Jangan lupa, ya! Nanti siang jemput anak-anak.” Usai berkata demikian, sebuah kecupan di kening mendarat lama sekali.
Untuk saat ini, mungkin hatimu masih milikku, Mas, tapi, entah hari esok. Ucapku dalam hati.
Aku mengerjakan tugas rumah tangga seperti biasa. Mas Danang telah meminta untuk mencari pembantu. Namun, aku menolak, karena bila hal itu terjadi, aku hanya akan duduk tanpa kegiatan apapun. Hal itu membuat jenuh.
Siang hari, saat semua pekerjaan telah selesai, kubaringkan tubuh di sofa depan televisi. Semalam kurang tidur, menjadikan mata ini lelah dan mengantuk, hingga aku tidak ingat apapun lagi.
Suara bel rumah berbunyi. Membuatku terpaksa menyeret langkah demi membukakan pintu. Mata yang masih mengantuk seketika terbuka lebar, demi melihat siapa tamu yang datang.
“Firna!’ sapaku keras.
“Iya, Mbak, ini aku,” ujarnya terlihat tidak enak.
Aku terpaku dalam tempatku berdiri. Dahulu bila ia datang, aku selalu senang dan mempersilakan masuk segera. Namun, kali ini, lidah ini begitu kelu untuk menyapanya.
“Boleh aku masuk?” pinta Firna.
“Silakan,” jawabku dingin.
Aku melangkah pelan menuju kursi ruang tamu dengan diikuti adik ipar Mas danang yang saat ini menjadi istri keduanya.
“Mau apa, Fir?” Aku bertanya dingin. Suasana ruang tamu dengan ukuran lima kali enam meter dengan cat bernuansa hijau campur putih ini mendadak sunyi.
“Aku mau berbincang dengan Mbak Rasti. Ada yang ingin aku jelaskan dan aku luruskan,” jelas Firna. Terlihat sikapnya malu di hadapanku.
“Silakan! Mau menjelaskan apa?” ujarku berusaha meredakan gemuruh dalam d**a. Yang duduk di depan sana adalah maduku. Bila pernikahan itu terjadi tidak atas sepengetahuanku, tentu saja kali ini aku akan marah dan meluapkan emosi pada wanita berparas ayu itu.
“Sebelumnya aku inta maaf, Mbak. Karena telah menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Mbak Rasti. Aku sungguh tidak menginginkan ini. Sama sekali tidak ingin, Mbak. Namun, Bapak dan Ibu Mas Danang, maksudku, mertua kita, mereka meminta agar aku tetap tinggal di rumah itu dengan cara menikah dengan Mas danang. Jadi, aku terpaksa mengikutinya,” jelas Firna.
“Oh ya? Kamu sama sekali tidak menikmati atau merasa bahagia dengan pernikahan ini, Firna?” tanyaku ketus.
Firna terdiam tidak menjawab.
“Kenapa tidak menjawab? Atau justru kamu merasa sebalimnya? Bukankah tadi malam, sikap kamu seolah tanpa canggung, berlaku seakan kamu memang istri yang harus diakui Mas Danang, suamiku?” tanyaku berusaha memojokkan.
“Mbak, Mas Danang sekarang juga suamiku,” sahut Firna cepat. Membuat darahku mendidih seketika.
“Apa kamu bilang tadi? Bukankah pernyataan kamu sebelumnya mengatakan kalau kamu terpaksa karena dipaksa? Mengapa sekarang bilang kalau Mas Danang suami kamu juga?”
“Maksud aku, aku semalam trerpaksa juga, Mbak. Ibu mertua kita menyuruhku menahan Mas Danang untuk tetap tinggal. Aku bisa apa, Mbak?” tanya Firna seolah memposisikan diri menjadi korban.
“Kamu bisa menolak, Firna! Kamu masih muda. Kamu bisa melanjutkan hidup dengan laki-laki lain. Kamu memiliki keluarga yang utuh. Kamu bisa mengandalkan mereka. Sementara aku? Aku sebatang kara, Firna! Tidak ada tempat untukku pulang. Aku hanya memiliki Mas Danang, dan sekarang, kalian memaksaku untuk berbagi orang yang sangat bagiku dia adalah segalanya buat aku,” ucapku kesal. Emosi dalam kepala sudah ingin aku ledakkan.
“Mbak rasti, maafkan aku,” lirih Firna.
“Haruskah aku memaafkan kamu, Firna? Lalu pemberian maaf seperti apa yang kamu harapkan?” tanyaku lirih.
“Mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, Mas Danang sekarang juga suamiku, Mbak. Aku istri sah dia secara agama. Aku harap, Mbak rasti tidak egois dengan hanya menganggap dia sebagai milik Mbak Rasti saja. Anakku yasmin, dia juga sama seperti Nadine dan Raline yang membutuhkan sosok ayah pengganti ayahnya yang telah meninggal. Dan takdir telah berkata, orang itu adalah Mas Danang. Pak dhe-nya sendiri, Mbak. Jadi tolong, aku minta mulai sekarang, Mbak Rasti bisa dengan ikhlas menerima hal ini,” ujar Firna tegas. Nada bicaranya berbeda dengan pertama kali saat datang.
“Apa ini tujuan kamu ke sini, Firna? Memintaku berbagi suami? Dan kamu akan menuntut jatah nafkah lahir batin pada Mas danang, kakak dari mendiang suami kamu. Apa kamu tidak merasa malu, Firna?” tanyaku memastikan.
Firna menatapku dengan lekat. Berkali-kali ingin membuka suara tapi urung.