3. Pesan dari Masa Lalu

1409 Kata
Ardena sampai di apartemennya pukul sebelas malam, masih dengan adrenalin yang belum sepenuhnya mereda. Apartemen kecil di lantai tiga gedung tua di kawasan Menteng Selatan—tidak mewah, tapi cukup untuk seorang jurnalis dengan gaji pas-pasan. Ia melempar tasnya ke sofa, melepas sepatu hak rendah yang sudah membuatnya pegal sejak sore, lalu langsung menyalakan laptop. Pertemuan tadi dengan Leonard Varghese masih membekas di kepalanya. Tatapan pria itu. Nada suaranya. Ancaman halus yang terselip di balik kata-kata sopan. "Orang yang terlalu penasaran... menemukan hal-hal yang membuat mereka menyesal." Ardena tersenyum tipis pada layar laptopnya. Kalau Leonard pikir ia bisa diintimidasi semudah itu, pria itu salah besar. Ia membuka folder penelitiannya dengan ratusan file PDF, screenshot transaksi, artikel lama tentang Varghese Group, dan catatan-catatan yang sudah ia kumpulkan selama enam bulan. Masih belum cukup. Masih terlalu banyak lubang. Ia butuh bukti lebih konkret, sesuatu yang bisa menghubungkan Leonard secara langsung dengan transaksi gelap yang ia curigai. Notifikasi email berbunyi. Ardena hampir mengabaikannya—biasanya cuma spam atau press release dari perusahaan-perusahaan yang ingin promosi gratis. Tapi matanya tertangkap oleh subject line yang muncul di layar: Subject: Anda mencari kebenaran? Ini dia. Pengirim: [anonymous.truth.seeker@protonmail.com] Ardena mengerutkan kening. Email anonim. Biasanya tidak ada yang bagus keluar dari hal seperti ini karena bisa saja jebakan, bisa juga virus, atau orang iseng yang punya terlalu banyak waktu luang. Tapi ada sesuatu yang membuatnya membuka email itu. Tidak ada teks di body email. Hanya satu attachment: VG_FinancialDocs_Classified.zip Ardena menatap layar beberapa detik, jari-jarinya melayang di atas touchpad. Setiap insting jurnalistiknya berteriak bahwa ini bisa bahaya. Tapi insting yang lain membuatnya bertahan lima tahun mencari kebenaran tentang kematian ayahnya membuatnya mengklik file itu. File zip terbuka setelah ia masukkan password yang tercantum di note kecil di bawah attachment: CallistaTruth2025. Ardena terdiam. Password itu menggunakan namanya. Dan tahun ini. Siapa pun yang mengirim email ini tahu siapa dia. Tahu apa yang ia cari. Jantungnya berdebar dengan campuran antara excitement dan kewaspadaan. Ia membuka folder yang sudah ter-extract, dan matanya melebar saat melihat isinya. Dokumen. Puluhan dokumen. Laporan keuangan internal. Transfer dana dengan jumlah besar ke rekening-rekening offshore. Daftar nama politisi yang menerima "donasi" dari perusahaan bayangan yang terhubung dengan Varghese Group. Kontrak proyek pemerintah yang nilainya di-mark up hingga tiga kali lipat. Ini... ini bukan sekadar bocoran kecil. Ini adalah harta karun. Ardena mengklik salah satu file PDF: laporan transfer dana sebesar dua puluh miliar rupiah dari PT Arjuna Konstruksi—anak perusahaan Varghese Group—ke rekening atas nama "Yayasan Cahaya Bangsa." Tapi saat ia cross-check dengan data publik, yayasan itu tidak pernah terdaftar secara resmi. Alamatnya fiktif. Dan transfer dilakukan tiga hari sebelum tender proyek jalan tol senilai ratusan miliar dimenangkan oleh... PT Arjuna Konstruksi. "Gila," gumam Ardena, tangannya gemetaran saat ia terus scroll. "Ini... ini real." File berikutnya lebih mencengangkan lagi. Daftar nama-nama pejabat tinggi, beberapa di antaranya masih menjabat yang menerima uang dari berbagai transaksi tersembunyi. Dan di bagian bawah dokumen, ada catatan kecil yang membuat napas Ardena tertahan: "Project Hartanto — Phase II: Completion via alternative method. Approved by RVG." Hartanto. Nama ayahnya. Ardena menatap layar dengan napas yang hampir berhenti. Ayahnya sedang menyelidiki proyek bernama Hartanto sebelum ia meninggal. Ia pernah menyebut nama itu dalam percakapan terakhir mereka. Dan sekarang, nama itu muncul di dokumen rahasia Varghese Group dengan keterangan "alternative method." Apa maksudnya itu? Dan siapa RVG? Ardena membuka file lain, mencari-cari nama atau inisial yang sama. RVG muncul berkali-kali—di approval transaksi besar, di keputusan strategis, di dokumen-dokumen yang berhubungan dengan jalur distribusi barang ilegal. Siapa pun RVG ini, orang itu punya otoritas tertinggi di jaringan gelap yang terhubung dengan Varghese Group. Ardena menekan tombol print untuk beberapa dokumen paling penting, lalu menyimpan semua file ke hard drive eksternal yang ia simpan khusus untuk data sensitif. Ia tidak akan mengambil risiko kehilangan ini. Tapi satu pertanyaan terus berkecamuk di kepalanya: siapa yang mengirim email ini? Dan kenapa sekarang? ... ... Sementara itu, di sebuah ruangan gelap di lantai bawah tanah Klub Inferno, Rafael berdiri di depan layar monitor besar yang menampilkan puluhan feed CCTV dari berbagai lokasi di Ardencia. Di sampingnya, Kael—pria muda berambut gondrong dengan laptop di pangkuan—mengetik cepat sambil sesekali melirik ke arah bosnya. "Sudah dikonfirmasi, bos," kata Kael tanpa mengangkat kepala. "Ada kebocoran data dari server internal kita. Seseorang berhasil menembus enkripsi lapisan ketiga dan mengunduh dokumen keuangan." Rafael tidak menjawab. Ia hanya menatap layar dengan ekspresi datar tapi ada kilatan berbahaya di matanya. "Berapa banyak yang diambil?" tanya Rafael, suaranya rendah dan terkontrol. "Sekitar dua ratus file. Termasuk laporan transfer untuk Project Hartanto." Rafael terdiam sejenak. Project Hartanto. Proyek yang seharusnya sudah dikubur rapat lima tahun lalu. Proyek yang melibatkan Aryanto Callista sebagai pejabat yang terlalu bersih, terlalu keras kepala, terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup. "Siapa yang melakukannya?" tanya Rafael. Kael menggeleng. "Belum tahu pasti. Tapi dari jejak digital yang tertinggal, sepertinya orang dalam. Seseorang yang punya akses langsung ke server." "Trace," perintah Rafael singkat. "Aku mau tahu siapa. Dan aku mau tahu sekarang." "Sudah dikerjakan, bos. Tapi..." Kael ragu-ragu sebentar. "Ada satu hal lagi." Rafael menoleh tajam. "Apa?" "File-file itu sudah dikirim ke email eksternal. Ke seorang jurnalis." Kael mengklik beberapa tombol, lalu layar monitor berubah menampilkan profil seseorang. Foto wanita muda dengan rambut hitam sebahu, mata tajam, dan ekspresi serius. Nama tertera di bawah foto: Ardena Callista. Jurnalis, Jurnalis Terbit. Rafael terdiam. Nama itu... Callista. Seperti ada sesuatu yang tersangkut di kepalanya. Sesuatu yang familiar, tapi tidak bisa ia tangkap sepenuhnya. Ia menatap foto wanita itu lebih lama dari seharusnya. "Ardena Callista," ulang Rafael pelan, seperti sedang mengetes bagaimana nama itu terdengar di lidahnya. "Siapa dia?" Kael membuka tab lain. "Anak dari Aryanto Callista. Pejabat yang meninggal lima tahun lalu karena kasus bunuh diri yang kita... urus." Rafael tidak berkedip. "Dia masih hidup?" "Dan sepertinya dia tidak percaya ayahnya bunuh diri," jawab Kael. "Dia jadi jurnalis. Sudah enam bulan menggali-gali kasus lama yang berhubungan dengan Varghese Group. Media kecil, tapi cukup mengganggu. Berbahaya kalau dibiarkan." Rafael seharusnya langsung memberi perintah. Seperti biasa. Seperti yang selalu ia lakukan pada orang-orang yang terlalu dekat dengan kebenaran. Tapi ada sesuatu yang menahannya. Wajah wanita itu. Ia baru saja bertemu dengannya beberapa jam lalu. Di hotel. Wanita yang menyapanya di lorong dengan permintaan wawancara. Wanita yang menatapnya dengan mata tajam yang tidak takut. Ardena Callista. Anak Aryanto. "Bos?" Kael menatapnya bingung saat Rafael tidak merespons. "Mau saya urus sekarang?" Rafael masih menatap layar. Di kepalanya, dua suara berbeda saling beradu. Suara Leonard yang tenang, rasional, terkontrol berbisik bahwa ini masalah bisnis. Tidak ada ruang untuk emosi. Tidak ada ruang untuk keraguan. Tapi suara Rafael yang gelap, brutal, berbahaya berbisik hal yang berbeda. "Dia anak Aryanto. Dia mencari kebenaran. Kebenaran yang kau kubur." "Tidak," kata Rafael akhirnya. Suaranya dingin, tapi ada nada ragu yang sangat samar di sana. "Pantau dulu. Jangan sentuh dia. Aku mau tahu apa yang akan dia lakukan dengan data itu." Kael mengerutkan kening. "Tapi kalau dia publish—" "Aku bilang pantau," potong Rafael, kali ini lebih tajam. "Jangan gerak kalau aku tidak perintah." Kael mengangguk cepat, tidak berani membantah. Tapi ada kebingungan di wajahnya. Ini bukan cara Rafael biasa menangani ancaman. Biasanya, ia langsung bertindak cepat, efisien, tanpa ampun. Tapi kali ini... ada yang berbeda. Rafael kembali menatap foto Ardena di layar. Wanita itu tersenyum tipis di foto itu dengan senyuman yang tidak lebar, tapi senyum yang percaya diri. Senyum yang mengatakan ia tidak takut pada apapun. Dan entah kenapa, Rafael merasa ada sesuatu yang retak di dadanya. Ia tidak tahu apakah itu rasa bersalah. Atau sesuatu yang lain. "Cari tahu siapa yang bocorkan data itu," perintah Rafael sambil berbalik meninggalkan ruangan. "Aku mau nama, lokasi, dan alasan. Besok pagi di mejaku." "Siap, bos." Rafael berjalan keluar, melewati lorong gelap yang berbau rokok dan alkohol. Di kepalanya, wajah Ardena terus muncul—mata tajam yang menatapnya dengan keberanian bodoh, suara tenang yang meminta wawancara seolah ia tidak tahu sedang berbicara dengan siapa. Ia seharusnya tidak peduli. Ia seharusnya memerintahkan Kael untuk menghilangkan wanita itu seperti yang ia lakukan pada puluhan orang lain yang jadi ancaman. Tapi ia tidak bisa. Dan itu membuatnya marah. Karena Rafael tidak terbiasa ragu. Ia tidak terbiasa merasa. Dan ia tidak terbiasa membiarkan siapa pun hidup cukup lama untuk jadi masalah. Tapi Ardena Callista... Wanita itu berbeda. Dan Rafael tidak tahu apakah itu hal yang baik atau buruk. Yang ia tahu, permainan baru saja berubah. Dan kali ini, ia tidak yakin siapa yang akan menang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN