"Tante Leraaa… "
Lera kaget bukan main ketika tubuhnya ditabrak cukup keras sesaat ia melangkah ke ruang tengah rumah megah milik sang sepupu, Demon Estanbelt.
Erry, anak kecil berusia lima tahun itu tengah memeluknya erat. Apa Erry begitu merindukannya? Ya, mungkin saja. Terakhir kali mereka bertemu sekitar tiga hari yang lalu.
Lera menatap sang sepupu yang tengah duduk nyaman di sofa empuk ruang tengah sambil menonton acara berita sport di TV. Lihat, bahkan Emo sama sekali tidak merasa terganggu akan kehadirannya di rumah ini, bahkan pria itu sama sekali tidak menoleh apalagi melirik Lera seolah gadis itu adalah makhluk kasat mata.
Oh, astaga… Lera mengatupkan mulutnya, ia berusaha keras menahan umpatan yang sudah berada di ujung lidah. Kedua tangannya terkepal kuat menahan emosi, Lera yakin kepala batu seorang Demon Estanbelt akan benjol juga kalau terkena pukulannya ini.
"Tante Lera kemana saja? Kenapa Tante Lera tidak pernah menemui ku?" oceh Erry seraya mendongakkan kepalanya menatap Lera.
Lera menghela napas, dia tidak bisa mewujudkan semua pikiran jahatnya. Tidak akan bisa selama Erry ada di dekatnya. Lagi pula, kalau Lera marah itu hanya akan membuktikan bahwa ia kalah dan mereka menang kan?
"Tante Lera sangat sibuk, Erry." ucap Lera seraya mengusap rambut lebat sepupu kecilnya tersebut. "Kau merindukan Tante Lera yang cantik ini?"
Erry mengangguk, "Sangat!"
"Kenapa? Kau sudah punya Bunda baru kan, seharusnya tanpa tante Lera pun kau tidak akan kesepian."
Bocah lelaki itu mengerucutkan mulutnya, ia melirik sosok Chika yang sedang menyibukkan diri di dapur dengan tatapan tidak enak.
"Iya sih, tapi Bunda Chika tidak bisa bermain game seperti tante Lera." ucap Erry setengah berbisik.
Lera mengerling, tubuhnya lekas berbalik dan berteriak, "Chikaaa, Erry bilang kau tidak asyik karena tidak bisa main game!" hal itu membuat Erry merengek karena Lera telah mengadukan perkataannya.
Chika tersenyum kecut, "Memang tidak bisa, maaf ya Erry." sahut Chika dari dapur.
"Kenapa tante mengatakan itu pada Bunda?" protes Erry sambil mencubit lengan Lera kesal.
"Kau takut dia marah?" Lerry mengangguk, "tenang saja, dia tidak akan bisa marah selama masih terikat perjanjian dengan si Iblis." oceh Lera sambil melirik Demon, pria itu pasti mendengar sindirannya barusan tapi dia sedang dalam mode berpura-pura tuli. "Hey, mau main game dengan tante?"
"Mauuu!!!"
"Okay, kita main di kamarmu, let's go!"
Melihat dua pembuat onar itu naik ke lantai dua, akhirnya Demon bisa bernafas dengan lega. Jujur, sejak tadi dia duduk dengan gelisah karena takut jika tiba-tiba saja Lera sudah berdiri di belakangnya kemudian mengayunkan tinju yang keras pada kepalanya.
Mematikan televisi, Emo kemudian berjalan ke dapur. Dia tidak masuk, dia hanya berdiri sambil menyandar pada kusen pembatas. Iris kelamnya menangkap sosok istrinya yang tengah sibuk menyiapkan makan malam.
"Kenapa kau membawa Lera kemari?"
Chika yang tidak menyadari kehadiran sang suami, tubuhnya langsung memberikan respon tak biasa saat mendengar suara pria itu yang terdengar kesal dan dingin.
Chika bisa apa?
Dia tidak bisa menolak saat Lera mulai merengek seperti Erry dengan air mata buatannya. Lera telah melakukan banyak hal untuknya saat ia berada dititik terbawah hidupnya, sang sahabat lah yang mengulurkan tangannya, memberinya tempat tinggal dan memberinya makan. Jadi, Chika tidak cukup tega ketika melihat Lera yang biasanya terlihat menakjubkan berubah mengenaskan begitu.
"Lera bilang dia tidak punya uang untuk membeli makan malam, jadi aku mengajaknya ke sini untuk makan malam bersama."
"Kau bisa memberinya uang." protes Demon, pria ini masih menunjukkan konfrontasi.
Memberi Lera uang? Ya, Chika tentu akan melakukan hal itu jika saja dia memiliki setumpuk uang di dompetnya.
"Tapi aku tidak punya uang."
Ya, sayangnya Chika tidak memilikinya. Jadi, satu hal yang terlintas di kepalanya adalah membawa Lera ke rumah dan memasakkan sesuatu untuk sang sahabat.
"Kau punya kartu debitku, seharusnya—"
"Tapi kau bilang kartu itu hanya bisa digunakan untuk keperluan Erry saja kan?" potong Chika.
Demon hendak memberikan argumennya kembali, akan tetapi apa yang Chika katakan memang benar. Saat ia memberikan kartu debitnya pada Chika satu bulan lalu yaitu dengan alasan bahwa itu hanya untuk keperluan Erry.
"Pastikan Lera pulang setelah perutnya kenyang." ucap Demon sambil berlalu pergi.
Chika mengerang mendengar perintah tadi. Bagaimana bisa Chika mengusir Lera? Chika akan terlihat begitu buruk, seperti orang yang tidak tahu berterima kasih. Namun, menentang perintah sang iblis juga tidak mungkin.
Oh, Tuhan ... kenapa engkau begitu tega menempatkan dirinya di situasi seperti ini!
.
.
.
Bian menengadahkan kepalanya ke atas, iris kelamnya menatap langit malam yang berwarna kelabu. Awan mendung di atas sana menyembunyikan taburan bintang dan sinar bulan.
Suasana malam ini memang persis dengan suasana hatinya, kelam. Tadi sore Bian berpikir kalau dia akan menemui Lera, tck, menjahili gadis itu entah mengapa membuatnya merasa sedikit terhibur. Bagaimana cara gadis itu bicara serampangan dan mata bulatnya yang melotot karena marah justru terlihat lucu.
Namun sialnya, telepon dari seseorang membuat rencananya gagal. Well, sebenarnya tidak begitu gagal karena dengan begitu ia bisa menemukan pria itu, sosok yang sedang dicarinya. Sebenarnya Bian sempat ragu, bagaimana kalau dia salah target? Bagaimana kalau gadis itu bukan anak perempuan dari orang yang dicarinya?
Malam ini, tepatnya dua jam yang lalu semua kegelisahannya terjawab sudah.
“Bu, aku baru saja bertemu dengan pria itu.”
Bian berdiri di dekat jendela, tatapannya sarat akan kesedihan dan kebencian. Rasa sesak begitu menumpuk sampai rasanya ia muak dan ingin melampiaskannya pada seseorang agar orang itu merasakan apa yang selama ini ia rasakan.
“Aku sudah berjanji pada Ibu kalau aku akan membuat dia kembali ke asalnya,” ucap Bian sambil memandang potret ibunya di layar ponsel. “Aku tidak akan membiarkan mereka hidup bahagia disaat kita merasakan sakit yang begitu dalam.”
Bian menengadahkan wajahnya ke atas, iris kelamnya melihat gugusan bintang-bintang yang berpendar indah di atas sana. “Ini baru permulaan, kalian akan merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang amat kalian cintai seperti yang kami rasakan.”
Drrrrt ....
Suara yang berasal dari handphone miliknya yang tergeletak di atas nakas mengalihkan fokus Bian. Pria itu segera mengecek si b******k mana yang berani menelponnya selarut ini. Apakah ... pria itu? kalau memang benar, Bian akan memberikan pujian karena pria itu masih mengingatnya dalam waktu yang cukup lama.
Akan tetapi, nama yang muncul di layar ponselnya membuat Bian sedikit merasa kecewa bercampur senang. "Bagaimana? Kau sudah mendapatkan apa yang aku minta?"