"Tidaklah termasuk golonganku orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang muda."
(HR. Imam Ahmad dan ath-Thabrani)
~
SUASANA makan siang di rumah Alya sangat hening. Dengan lahapnya mereka menghabiskan makanan yang telah di sediakan— tanpa ada yang membuka suara. Hanya dentingan sendoklah yang terdengar.
Ilham, abang Alya telah menghabiskan makananya di susul Alya beberapa menit kemudian.
Alya bergerak mengambil piring kotor untuk di cuci, namun Ilham menghentikannya.
"Dek, udah biar abang aja yang cuci piringnya. Kamu siap-siap aja gih,"
"Siap-siap? Emang mau kemana?"
Ilham tersenyum, "Abang mau ke toko buku. Kamu mau ikut? Banyak buku baru, loh,"
Alya tersenyum lebar, di iringi dengan anggukkan kepalanya. "Alya mau ikut," ucapnya antusias.
Lagi-lagi Ilham tersenyum karena adiknya yang satu itu. "Sana siap-siap. Lima menit, ya. Kalau lebih abang tinggal," ucapnya sambil terkekeh.
Alya cemberut mendengarnya, "Ih, itu gak cukup abang,"
Ilham tertawa, lalu mencubit pipi Alya yang menggembung. "Udah sana, Jangan lama-lama, ya." ucapnya gemas.
Alya tersenyum menampilkan sederet gigi putihnya lalu segera berlari menuju kamar.
Ilham menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Alya. Ia tahu Alya sedang ada masalah dan sebagai abang yang baik, Ilham tak mau melihat adik kesayangannya bersedih. Jadi ia akan melakukan apa pun untuk membuat Alya bahagia.
Ilham menatap bunda yang sedang mencuci piring lalu berjalan ke arahnya.
"Bunda, tadi Alya bilang apa?" tanyanya. Tangannya meraih piring yang telah di bilas bunda lalu meletakkan di rak.
Bunda tersenyum, "Alya gak ada cerita tentang masalahnya. Tapi, dia bilang mau pindah ke pesantren," jawab Bunda.
Ilham terdiam sejenak. "Alasannya?"
"Bunda gak tau. Alya gak ada bilang, tadi dia cuma bilang mau semakin mendalami ilmu agama. Tapi, bunda tahu, Alya sedang berbohong," ucap Bunda. Ia menjeda kalimat, tubuhnya ia gerakkan untuk berhadapan dengan Ilham. "Nanti kamu coba tanya sama Alya baik-baik, ya. Mungkin dia mau cerita." lanjut Bunda.
Ilham tersenyum, lalu mengangguk pelan. Ia tahu kalau bundanya sangat khawatir melibihi dirinya. Alya gadis tertutup, ia tak pernah menceritakan masalahnya kepada siapa pun, sekali pun dengan keluarganya. Dan itulah yang membuat mereka takut. Takut Alya tidak bisa menyelesaikan masalah dan akan berujung penyesalan. Walau pun Alya sudah besar tapi di mata Ilham dan orang tuanya ia tetap lah gadis kecil yang harus mereka lindungi karena bagi mereka Alya adalah anugrah yang tidak terhingga dari apa pun.
Setelah selesai membantu sang bunda mencuci piring, Ilham langsung menuju kamar Alya. Sudah hampir 20 menit tetapi Alya belum keluar juga, sangat jarang adiknya itu bersiap lebih dari sepuluh menit. Ilham paham betul bagaimana Alya, jika kebanyakan perempuan ingin pergi harus berdandan yang bahkan memerlukan waktu sampai berjam-jam tetapi tidak dengan Alya. Ia hanya memerlukan waktu sepuluh menit untuk bersiap-siap.
Setelah sampai di depan pintu kamar Alya, Ilham mengetuk pintu kamar tersebut namun tidak ada jawaban.
"Dek, udah siap belum?" Tanya Ilham lagi.
Masih tidak ada jawaban.
"Al... kamu di dalam, kan?" Tak kunjung mendapat jawaban, tanpa pikir panjang Ilham langsung masuk ke kamar Alya. Ia takut terjadi suatu hal yang buruk dengan adiknya itu.
Setelah berada di kamar Alya, Ilham masih tidak menemukan sosok adiknya itu. Ketika ia mencoba mencari di kamar mandi, tak lama Alya keluar dari sana. Matanya terlihat sembab dan seperti ada sisa air mata.
"Dek, kamu kenapa? Kamu habis nangis?"
"Hah? Emm, nggak kok bang, tadi cuma kena sabun sedikit jadi agak perih," alibinya.
"Bener? Jangan bohong sama Abang."
"Iya, kok bang bener. Yaudah ayo kita pergi, Alya udah siap." Alya menarik pelan tangan Ilham, lalu membawa keluar dari kamarnya.
Bukan Ilham namanya jika ia percaya begitu saja, ia tahu kalau adiknya ini sedang berbohong dan Ilham berjanji akan mencari tau alasannya sendiri.
***
Zikri tampak celingak-celinguk seperti sedang mencari seseorang. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri melihat semua pengunjung ya ada di kafe tempatnya berdiri saat ini.
Tadi, lagi-lagi Zikri mendapat telfon dari gadis itu. Dia menangis dan meminta Zikri untuk segera menemuinya di cafe yang mereka datangi semalam.
Zikri mencoba mancari keberadaannya, lalu netranya tak sengaja melihat meja yang berada di sudut ruangan tersebut, tidak bukan mejanya yang menarik perhatiannya melainkan seorang gadis yang duduk membelakangi pintu masuk. Rambut panjangnya tampak di kucir asal, matanya melihat keluar melalui kaca fentilasi. Mungkin cuaca mendung di sertai rintik-rintik hujan menarik perhatiannya.
Zikri berjalan ke arah gadis itu, sorot matanya terus memandang tempat di mana gadis itu duduk.
"Kenapa lagi?" Zikri menggeser bangku agar lebih dekat dengan gadis itu.
Mendengar pertanyaan itu, lantas gadis tersebut mengalihkan pandangannya lalu menatap Zikri. Tatapannya terlihat sendu, matanya sembab— barang kali habis menangis, dan bibirnya bergetar seperti ada yang ingin di ucapkan namun tertahan.
Zikri semakin mendekat kan tubuhnya, membalas tatapan sendu, lalu memeluk gadis itu erat. "Masih permasalahan yang sama?" Tanyanya.
Namun yang ditanya tidak kunjung memberi jawaban. Ia masih larut di pelukan Zikri, seolah saat ini itulah yang menjadi penenangnya.
Zikri mencoba melepaskan pelukan itu, berharap bisa menenangkannya dan juga memberi saran.
"Jangan dilepas, Ki, gue nggak sanggup," ucapnya lalu mengeratkan pelukannya lagi.
***
"Dek, cuaca di luar mendung. Yakin mau pulang?" Alya yang sedang serius memilih buku lantas mengalihkan perhatiannya. Ia menatap kakak lelakinya itu..
"Tapi belum hujan, kan?" tanyanya.
"Cuma rintik-rintik,"
"Ntar aja deh, bang pulangnya. Takutnya di tengah perajalanan hujannya deras," Alya memang sangat takut dengan hujan. Hujan memiliki masa kelam dalam hidupnya.
Ilham menatap adik semata wayangnya itu. "Mau sampai kapan kamu takut sama hujan? Al, hujan itu nikmat dari Allah yang amat penting untuk kelangsungan hidup seluruh makhluk yang ada di bumi. Dan, kamu menolak kehadirannya?" tanya Ilham.
Alya membalas tatapan abangnya itu. Cadar yang menutupi separuh wajahnya, membuat mata indahnya menjadi objek utama untuk di lihat.
"Alya gak menolak, Bang. Cuma—"
"Menghindar?" Ilham memotong ucapan Alya sehingga membuat gadis itu bungkam. Alya mengalihkan pandangannya pada buku yang sedari tadi ia pegang.
"Mau ke kafe? Biasanya membaca sambil minum kopi apalagi cuacanya mendung, membuat kita lebih dapat feelnya." Ilham memutuskan untuk mencari topik pembicaraan lain. Ia tahu, adiknya ini sangat sensitif jika sudah membahas hujan.
"Tapi di luar—"
"Kafenya ada di sebelah bangunan ini, Al," potong Ilham, lagi.
Alya diam sesaat, lalu mengangguk. Apa yang di katakan abangnya itu benar, membaca akan lebih terasa apabila di temani kopi atau teh sebagai pengisi.
Keduanya berjalan menuju pintu, Ilham yang sadar adiknya di perhatikan oleh beberapa orang yang ada di sana lantas mendengus kesal. Tangannya menggenggam tangan adik kesayangannya itu.
Alya tersenyum ke arah Ilham. Sungguh, Ilham adalah anugerah terindah yang di kirim Allah untuknya— setelah Ayah dan Bunda. Jika Ayah adalah pria pertama yang membuat Alya jatuh cinta, maka Ilham adalah pria kedua yang juga berhasil membuatnya jatuh cinta. Tidak ada yang lain.
Keduanya telah berada tepat di depan pintu masuk kafe. Ilham masuk dahulu, di susul Alya dari belakang.
Suasana kafe yang lebih ramai dari biasanya membuat Ilham terpaksa memutar kepalanya ke segala arah— mencari bangku yang kosong. Begitu pun dengan Alya, ia juga memutar mata ke segala arah. Hingga tanpa sengaja ia melihat sosok pria dan wanita yang tengah berpelukan di sudut ruangan. Alya terus memandanginya, ia seperti mengenali pria itu tapi tak tau siapa. Dan kesepersekian detik, mata cowok itu juga memandang ke arahnya. Kini keduanya saling bertemu pandang, hingga suara Ilham menyadarkan Alya.
"Dek, kita di sana aja, ya." ucap Ilham menunjuk meja kosong yang baru saja di tinggal pengunjungnya.
"Astaghfirullah." Alya mengucap, sehingga membuat Ilham mengerutkan dahinya. Bingung.
"Kamu kenapa?" tanya Ilham.
Alya menggeleng lalu tersenyum. "Enggak kok, Bang. Yaudah, yuk." ucapnya. Lalu menarik tangan bang Ilham agar segera menuju meja yang tadi di tunjuk.
Setelah berada di tempat masing-masing Alya lagi-lagi tidak sengaja melihat ke arah bangku lelaki itu dan betapa terkejutnya ia saat mengetahui bahwa lelaki itu masih menatap ke arahnya. Posisinya masih sama, berpelukan dengan seorang gadis di tempat umum seperti ini.
Alya menundukkan pandangannya, mencoba untuk tidak peduli dengan sosok itu. Namun ntah kenapa pikirannya masih beranggapan bahwa ia mengenal lelaki itu. Seolah pernah bertemu sebelumnya tapi tidak tahu entah dimana.