Bagian 3

1733 Kata
Tepat pukul tujuh pagi aku dan Adi telah bersiap menuju Bandung. Selesai sarapan bersama, Melati mengantar kami hingga ke teras. "Hati-hati ya," pesannya pada kami dengan senyum yang tak pernah luput ia tampilkan. Adi memeluknya erat. Seperti tak ingin berpisah dengan istri kesayangannya itu. Aku? Tentu saja aku merasa sedikit kesal. Melati mengurai pelukan mereka lebih dulu. Mungkin karena merasa tak enak dengan wajahku yang mulai cemberut. "Kamu juga hati-hati di rumah. Kabari aku segera kalau ada apa-apa," pesan Adi. Tangannya masih menggenggam jemari Melati. Melati mengangguk patuh. Kemudian pandangannya beralih padaku, "Nye, titip Adi ya." Aku sebal Melati mengatakan kalimat itu lagi. Seolah-olah aku ini babysitter-nya Adi. "Tergantung orangnya," jawabku. "Terakhir kamu bilang begitu waktu dia sakit. Nyatanya dia nggak butuh bantuanku. Jadi kali ini, aku yakin dia juga nggak butuh bantuanku, karena dia benar-benar sehat," ujarku menatap Adi kesal kala mengingat kejadian waktu itu. Adi menatapku tak suka. Sementara Melati masih saja tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin heran atau apa dengan sikapku dan Adi yang seperti bocah. "Di ... ingat dia juga istrimu." Aku tersenyum getir mendengar kalimat itu. "Hm." "Ya sudah, sana berangkat. Kasihan Ibu sudah menunggu." Aku dan Adi akhirnya berangkat menuju kota kembang. Kota di mana kami dibesarkan. Aku telah menghubungi bosku, meminta cuti dua hari untuk perjalanan ini. Satu jam perjalanan kami sama-sama terdiam. Aku menyibukkan diri dengan gawai di genggaman. Membuka sosmed, membalas pesan dari bosku dan Marta lalu beralih berselancar di youtube. Sesekali kulirik Adi yang fokus ke jalanan. Adi memang memesona. Kulitnya putih bersih. Hidungnya tegak berdiri. Mata kecokelatan dengan alis tebal yang hampir menyatu. Badannya memang tidak sixpack tapi cukup ideal. Bahunya yang lebar dengan bobot tubuh yang pas membuatnya terlihat maco. Setidaknya, begitu menurutku. "Kenapa? Aku tampan ya," katanya penuh percaya diri. Ia menatapku sekilas lalu kembali fokus pada jalanan. Aku menghentikan aksiku memandanginya. Kualihkan kembali wajahku pada layar gawai tanpa membalas ucapannya. "Kenapa diam saja?" "Nggak apa-apa.” "Kamu lapar?" Aku menatapnya heran. "Nggak." Please Di, kamu nggak perlu pura-pura peduli. "Nanti ... bersikaplah sewajarnya seperti seorang istri." Adi menasihatiku seolah dirinya tanpa cacat. Lupakah dia, bagaimana dia memperlakukanku selama ini? "Bukannya kamu yang selama ini nggak menganggap keberadaanku.” Aku balik menyerangnya. "Berhenti menyela saat aku sedang bicara, Anyelir. Tidak bisakah kamu menjawab, iya!" "Tidak bisakah kamu menganggapku sebagai istri sungguhan? Apa kamu tahu rasanya berkali-kali diabaikan? Kamu itu egois, Adi! Kamu memperlakukan Melati begitu baik. Tapi denganku kamu ...." "Cukup!" Bentaknya lagi. "Kamu laki-laki tidak berperasaan yang pernah kutemui. Aku semakin yakin akan mengurus perceraian kita." "Jangan macam-macam kamu!" "Sebutkan alasan yang tepat untukku mempertahankan pernikahan bodoh ini." Aku menatapnya tajam. "Setidaknya tunggu sampai Ibu pulih, Anyelir." "Baik. Selama aku menunggu ,aku akan kos sendiri. Sudah cukup rasanya aku menyaksikan keromantisan kalian." Tak disangka, Adi tersenyum. Senyum mengejek lebih tepatnya. "Jadi, kamu cemburu?" "Cemburu terlalu mahal kulakukan untukmu. Aku hanya tidak suka diperlakukan berbeda." "Kamu tentu tahu alasannya mengapa aku begini." Aku tahu ... Adi hanya mencintai Melati, namun tidak denganku. "Baik. Aku pastikan kita akan bercerai secepatnya." Aku berkata penuh keyakinan. Lagi, Adi tersenyum mengejek. "Lakukan sesukamu, tapi tunggu sampai Ibu benar-benar pulih." Dua setengah jam perjalanan kami sampai di rumah Ibu mertuaku. Kami turun dengan membawa serta barang bawaan kami. "Selamat siang A adi, Teh Anye." Teh Fitri, ART di rumah Ibu menyambut kami ramah. Tangannya dengan cekatan mengambil alih barang bawaan kami. Membawanya masuk ke dalam. Aku dan Adi bergegas memasuki kamar Ibu setelah mencuci tangan dan kaki. Terlihat Ibu tengah berbaring dengan mata terpejam. Tangan kanannya terdapat selang infus. Di sampingnya Bapak tertidur dengan posisi duduk dengan kepala bersandar di kasur. "Kenapa tidak dirawat di rumah sakit saja?" tanyaku pada Adi. "Bapak maunya dirawat di rumah," jawab Teh Fitri. Bapak terbangun mendengar kedatangan kami. Berdiri dari duduknya, ia memeluk kami bergantian sembari tersenyum. "Istirahat dulu. Kalian pasti lelah," perintah Bapak yang kembali duduk di samping Ibu. "Nanti. Mau lihat Ibu dulu, Pak." Adi berdiri di samping Bapak lalu mencium kening Ibu lembut. "Maafin Adi, Bu. Adi baru sempat ke sini," ucapnya lirih. Baru kali ini aku melihat wajah sedih Adi. Sisi lain dari Adi yang membuatku tersentuh tapi sama sekali tidak mempengaruhi keputusanku untuk berpisah darinya. "Bapak sudah makan?" tanyaku kemudian. Bapak menatapku sembari tersenyum kecil, "sudah, Neng," jawabnya pelan. "Neng istirahat dulu saja. Nanti kalau Ibu bangun, bisa ke sini lagi." Aku mengangguk patuh. Lalu meninggalkan kamar Ibu, menuju kamar di mana Teh Fitri meletakkan barang bawaanku. Tentu saja akan menjadi kamar tidurku dan Adi selama dua malam ke depan. Tidak mungkin juga kami tidur terpisah. Aku memutuskan untuk tidur. Perjalanan 2,5 jam cukup membuatku merasa kelelahan. Belum lama rasanya aku terlelap, terdengar pintu dibuka oleh seseorang. Enggan rasanya membuka mata, aku memilih melanjutkan tidur. Sampai aku merasakan seseorang mengguncang tubuhku. Kubuka mata perlahan dan mendapati sebuah wajah yang begitu kukenal berada tepat di depan wajahku. "Mau apa kamu?" Aku terlonjak kaget. Duduk seketika dan menjauh darinya. Adi berdecak dengan raut wajah masih tak bersahabat. "Tidur di sofa. Ini ranjangku." Aku yang masih belum sepenuhnya sadar dari tidurku, mengerjap tak percaya dengan pendengaranku. "Cepatlah, aku ingin istirahat. Tunggu apa lagi," usirnya lagi. "Maksud kam ...." "Ck. Kamu belum paham juga? Maksudku kamu tidur di sofa sana." Adi mengarahkan dagunya pada sofa di dekat jendela. "Ini ranjangku, jadi yang berhak tidur di sini tentu saja aku." Aku menatap tak percaya pada pria di depanku ini. Sungguh Adi benar-benar pria tak berperasaan. Baiklah, aku mengerti ia tak menginginkanku dihidupnya, tapi bukan berarti ia menyuruhku tidur di sofa, sedangkan ia dengan nyaman tidur di ranjangnya. Jika Adi tak menganggapku sebagai istrinya, anggaplah aku sebagai seorang wanita yang mungkin akan merasa tidak nyaman tidur di sofa. Namun aku memilih diam tak menanggapi ucapannya dan segera beranjak menuju sofa. Dan tanpa bisa kutahan lagi. Butiran bening meluncur bebas dari sepasang mataku. Iya ... selemah ini memang diriku. . . Aku menyuapi dengan telaten Ibu mertuaku. Beliau sudah lebih baik sekarang. Sudah bisa duduk dan berbicara meski kurang begitu jelas. Adi duduk di bibir ranjang di bawah kaki Ibu. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali sinetron kesukaan Ibu, Tukang Ojek Pengkolan. Sedangkan aku memilih menjadi pendengar. Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Adi pada Ibu, pasti aku tak percaya jika orang lain mengatakannya. Aku merasa Adi memiliki kepribadian ganda. Yang sewaktu-waktu sikapnya bisa berubah seketika. Kadang bersikap lembut, tapi lebih banyak bersikap menyebalkan. Pukul sembilan malam, setelah makan malam dan salat Isya, kami memasuki kamar. Aku yang tahu diri langsung saja duduk di sofa dan menyibukkan diri dengan gawaiku. Dan Adi kulihat tengah duduk dengan bersandar di kepala ranjang. Jemarinya sibuk menari-nari di layar gawainya. Bisa kutebak, saat ini Adi sedang ber-chat ria dengan Melati. Lalu kuunggah sebuah foto siluet diriku di pantai saat melihat sunset ke akun sosmedku. Mengetikkan sebuah caption yang memang menggambarkan isi hatiku malam ini. (Jika tak bisa membuatnya bahagia. Setidaknya jangan membuatnya menangis) Setelahnya aku memilih meletakkan ponsel di nakas dan berbaring. Berharap esok hari semua kesakitan ini akan menghilang. . . Aku terbangun pukul tiga pagi. Hawa dingin begitu menusuk hingga ke tulang, membuatku enggan melangkahkan kaki untuk mengambil wudu. Setelah berperang dengan diri sendiri, akhirnya dengan langkah berat, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Melewati ranjang di mana Adi tertidur, sekilas kulirik pria itu yang tengah terlelap dengan memeluk guling. Dengkuran halus terdengar di pendengaranku. Aku melanjutkan langkah ke kamar mandi. Gosok gigi, lalu mengambil wudu. Selesai salat aku bertadarus. Membaca surat Ar-Rahman membuat batinku gerimis. Surat tersebut menamparku untuk tetap bersyukur dalam keadaan apa pun. Bersyukur ketika masih diberi hidup layak meski sering diabaikan oleh Adi. "Sodaqallahul'adzim." Kupeluk dan kuciami penuh syahdu mushaf ber-cover keemasan ini. Obat dari segala kegundahan, penawar dari segala kesulitan. "Sudah bangun?" Suara Adi menahan tanganku untuk membuka mukena. Aku menoleh, pria itu sudah duduk bersandar di kepala ranjang, tengah menatapku. "Iya." Aku menjawab singkat. Seketika aku ragu akan melepas mukena di depannya. Bukan apa-apa, hanya sering diabaikan membuatku menganggap Adi seperti orang asing. Jadi, aku merasa enggan menampakkan kepalaku tanpa kerudung. "Belum selesai?" Adi bertanya dengan bingung. Mungkin karena melihatku yang justru melamun. "Sudah." "Kenapa tidak dilepas?" Aku menggigit bibir bawahku. Bingung harus menjawab apa. Rasanya tak mungkin aku bilang malu pada suamiku sendiri memperlihatkan kepalaku tanpa tertutupi kerudung. "Itu ...." "Malu karena ada aku?" tebaknya. Adi beranjak dari ranjang dan berjalan menghampiriku. "Aku suamimu, bukan?" tegasnya saat sudah di depanku. Aku menatapnya. Adi Hutomo Putra, ia tengah tersenyum kecil padaku. "A—ku...." Bibirku mendadak kaku untuk berkata-kata. "Aku berhak melihatnya bukan?" Aku mencoba mengartikan perkataan Adi. Ah, mungkinkah ia sedang diselimuti gairah? Mendadak aku bergidik ngeri. Hampir setiap malam yang kutahu Adi melakukannya dengan Melati. Mungkinkah ia kini ingin melakukannya denganku karena tak ada Melati di sisinya? "Di atas kertas dan atas nama pernikahan, kamu memang berhak melihatku tanpa kerudung bahkan tanpa sehelai benang pun. Tapi itu hanya akan terjadi ketika kamu menganggapku sebagai istri," kataku dengan tenang. Adi meraup wajahnya kasar. "Ini masih terlalu pagi untuk berdebat, Anyelir." "Kalau begitu tutup matamu atau keluar sebentar selama aku memakai kerudung," usirku. Adi membelalakkan mata. Menggeleng pelan lalu hendak berbicara tapi aku menyela lebih dulu. "Pergi." Air muka Adi berubah kesal. "Kamu pikir aku nggak bisa memasakmu melepaskan ini?" Adi berusaha melepaskan mukena dari kepalaku secara paksa. "Adi ...." Aku mendesis kesal mencoba menahan tangan Adi yang dengan lancang berusaha melepas mukena yang tengah kupakai. Adi mencengkeram kedua tanganku agar tak mengahalangi niatnya. Dengan sekali sentakan, mukena yang kukenakan terlepas dari kepalaku. Memperlihatkan rambut panjangku yang tergerai bebas. PLAK! Reflek aku menampar keras pipi sebelah kanan Adi. "Lancang kamu!" umpatku. Meski Adi suamiku, tapi aku tak terima dengan kelakuannya tadi. Adi terlihat murka. Tangannya melayang diudara hendak menamparku balik, aku diam saja, menunggu. Jika tangan itu berhasil menyentuh pipiku, kupastikan hari ini juga akan menggugatnya cerai. Diluar dugaanku, tangan Adi hanya berhenti di udara. Kedua tangannya mengepal erat. "Percuma kamu salat malam tapi kelakuanmu seperti ini," sindirnya. Berdiri dengan wajah memerah dan menatapku tajam. "Kamu. Kamu sendiri yang membuatku semakin enggan bersikap baik padamu. Jadi, tunggu saja sampai Ibu pulih, akan kukabulkan permintaan ceraimu,” ucapnya penuh tekanan. Adi berbalik dan meninggalkanku di kamar. Sejenak aku menyesali perbuatanku. Aku telah lancang menamparnya. Padahal Adi berhak atas tubuhku. Tapi kemudian aku meyakinkan diri, bahwa aku tidak sepenuhnya bersalah. Adi yang lebih dulu mengabaikanku. Jadi kupikir, aku berhak menolaknya untuk sekadar melihat rambutku. Pun dengan bagian tubuhku yang lain. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN