Bagian 6

1792 Kata
Hari ini sungguh melelahkan. Beberapa kali aku dan Marta mendapat omelan dari Bu Laras—atasan kami, karena kurangnya ketelitian kami membuat laporan. Terlalu banyak missed antara barang masuk dan barang keluar. Belum lagi driver kami yang salah mengirim barang, membuat kami kena getahnya. Karena memang aku dan Marta juga sebagai penanggung jawab pengiriman barang. "Lain kali tolong di cek lebih dulu, Anyelir, sebelum mengirimkannya ke Mr. Yoo. Beliau marah besar, karena ini adalah brand ternama," tekan Bu Laras yang tengah membahas email yang kukirimkan pada bos besar ternyata banyak yang keliru. Dan aku hanya mengangguk pasrah. Tanpa diberitahu lagi pun, aku sudah tahu jika Victoria Secret adalah brand ternama. Tapi, mau bagaimana, aku yang sedang banyak pikiran sehingga berimbas pada pekerjaanku. Aku melangkah keluar dari ruangan Bu Laras tanpa gairah. Ini bukan sepenuhnya salahku tapi tetap saja aku terkena imbasnya. Beruntungnya Marta yang sedang ke toilet sewaktu Bu Laras menghubungiku untuk ke ruangannya barusan. Sehingga ia tak kena omelan lagi. "Jadi makan siang di luar?" Marta sudah di depanku. Mengernyitkan dahinya mendapati wajahku yang mendadak lesu. "Kenapa?" "Capek banget rasanya kerja ya," keluhku. "Kalau lagi begini, aku pengin jadi ibu rumah tangga aja di rumah. Ngurus anak, ngurus suami, ngurus rumah. Enak kayanya, nggak harus kena omelan bos tiap hari," lanjutku lagi. "Namanya kerja sama orang, Nye. Pasti kena omel kalau kitanya salah. Tapi nggak boleh jadi beban juga. Bu Laras negur kita kan supaya kedepannya kita lebih teliti lagi. Kalau salah terus nggak bagus juga buat kesehatan pabrik ini," papar Marta berusaha membesarkan hatiku. Aku tersenyum simpul menanggapi pernyataan Marta. Kami menaiki motor menuju tempat makan yang baru saja buka di dekat tempat kerja kami. Bukan karena kami pecinta kuliner yang hobi hunting makanan-makanan terbaru. Kami memutuskan makan di sini karena rumah makan yang bangunannya didominasi kayu ini sedang mengadakan diskon 30%. Bagi anak rantau seperti kami, ini termasuk hal langka dan menggiurkan. Sayang kalau dilewatkan. Kami duduk di meja dekat pintu masuk. Jam makan siang begini sudah dipastikan meja akan penuh oleh pengunjung yang kelaparan. Apalagi tempat ini sedang mengadakan diskon besar-besaran sekalian untuk promosi. "Serius kamu mau jadi fullmom? Ngurusin baju kotor tiap hari dan bau bawang." Marta mulai membuka percakapan, begitu pelayan pergi setelah mencatat pesanan kami. Wajahnya terlihat serius. Kami memesan menu yang sama. Ayam bakar madu dan es jeruk. "Kalau suamiku baik, tanggung jawab dan setia, aku dengan ikhlas akan jadi fullmom. Biar saja badan bau bawang yang penting rumah keurus. Anak dan suami kenyang," jawabku sungguh-sungguh. "Tapi nyatanya suamiku nganggep aku aja enggak, Ta." Aku mendesah pelan. Meski semalam aku dan Adi tidur bersama dalam artian tidur yang sebenarnya, tapi aku masih meragukan sikapnya yang mendadak berubah. "Sabar ya. Mungkin Adi memang perlu waktu sedikit lama untuk menerima perjodohan kalian. Semoga suatu saat Adi bisa terbuka hatinya." "Amin." Obrolan kami terjeda karena pelayan mengantarkan pesanan kami. Segera kami meminum es jeruk yang seketika membasahi tenggorokan. "Ngomong-ngomong. Kamu yang cerita ke Ferdi tentang masalah rumah tanggaku, Ta?" tanyaku disela menikmati hidangan kami. Jujur aku tak suka Marta menceritakan perihal rumah tanggaku pada orang lain. Apalagi pada lelaki itu. Marta menghentikan gerakan tangannya yang akan menyuapkan makanan ke mulut. Wajahnya nampak gugup, mungkin merasa tak enak padaku. "Maaf, Nye," sesalnya. "Tapi, aku nggak cerita semuanya kok. Aku cuma bilang Adi punya istri selain kamu," jelasnya. "Lain kali jangan ya. Aku gak mau rumah tanggaku jadi omongan orang." Marta mengangguk lalu kami melanjutkan makan. "Aduh kenyang banget. Porsinya mantul banget, Nye. Puas banget aku." "Iya, ayamnya juga gede," sahutku. Kami selesai makan. Marta sibuk dengan ponselnya. Aku memilih mengamati bangunan rumah makan ini, sembari mengulur waktu. Suasananya masih ramai, pengunjung silih berganti keluar masuk. Ekor mataku kemudian menangkap sosok yang kukenal. Pria dan wanita tengah menikmati makan siangnya sambil sesekali tertawa. Adi dan Melati. Entah siapa yang memasuki tempat ini lebih dulu, aku atau mereka. Yang pasti aku mulai tak nyaman dengan pandangan di depanku saat ini. Adi belum menyadari keberadaanku. Pria itu dengan mesra membelai pipi dan rambut Melati yang tergerai indah. Hal yang tidak pernah Adi lakukan padaku! "Nye, kamu kenapa?" Marta menyadari keterdiamanku. Tak menanggapi pertanyaannya, mataku memanas menatap pasangan itu. Luka yang tak kasat mata, tapi begitu menyiksa. Seharusnya aku tidak secemburu ini. Adi sedang bersama istrinya, bukan selingkuhannya. Jangan menangis, Anyelir! "Itu Adi kan?" Marta mengikuti arah pandanganku juga. "Sabar ya, Nye." Digenggamnya tanganku oleh gadis itu, mencoba memberi dukungan padaku. Sekian menit berlalu. Adi akhirnya menyadari tengah diawasi oleh kami. Ia cukup terkejut melihat keberadaanku. Sedangkan Melati masih tak menyadari keberadaanku karena memang posisinya yang memunggungi kami. "Harusnya aku nggak boleh cemburu kan, Ta? Melati kan juga istri Adi. Tapi di sini sakit, Ta. Sakit." Aku menunjuk ke arah d**a. "Kita balik aja, yuk!" Kami kembali ke pabrik. Kali ini Marta yang berada di depan mengendarai motorku. Perasaanku campur aduk. Tempat makan itu dekat dengan pabrik tempatku bekerja. Seharusnya Adi juga turut serta mengajakku makan di sana bukan, kalau memang dia menganggapku istrinya. Tapi faktanya? Maafkan aku Ya Allah yang terlalu pencemburu. ***** "Iya Bun. Anye sehat kok, Bun. Iya InshaAllah nanti bulan depan Anye pulang." " ... " "Wa'alaikumsalam." Aku menatap sendu pada layar ponsel yang baru saja menghubungkanku berbicara pada wanita yang telah merawatku sedari kecil. Aku rindu beliau. Meski Ayah dan Bunda yang membuatku harus menjalani rumah tangga menyedihkan ini, tapi aku tetap merindukan mereka. Pukul sembilan malam, aku memilih menggosok gigi lalu bersiap tidur. Masa bodo dengan Adi. Aku tak peduli pria itu akan kembali ke sini atau tidak. Untungnya aku masih bertahan di kos, andai aku menurutinya untuk kembali ke rumah. Sudah pasti aku akan kembali menjadi obat nyamuk bakar untuk pasangan itu. Menyaksikan adegan romantis mereka secara live. Menyedihkan! "Assalammu'alaikum." Baru saja aku berbaring. Seseorang yang ingin kulupakan mengucap salam di depan pintu kamar. "Wa'alaikumsalam." Meraih kerudung dan memakainya, akhirnya dengan malas kubuka juga pintunya. Tanpa menatap dan menyapanya kubiarkan pria itu memasuki kamarku. Aku memilih kembali tidur. "Nye." Adi di belakangku menyapa. Entah duduk atau berdiri aku tak tahu pasti karena posisiku yang memunggunginya. "Bersih-bersih dulu baru tidur!" ucapku dingin. Kudengar Adi memasuki kamar mandi dan selanjutnya terdengar gemercik air. Aku memaksa mataku untuk terpejam yang ternyata susah sekali. Bayangan Adi dan Melati tadi siang masih berputar di kepalaku. Membuatku susah tidur tentu saja. Terdengar pintu kamar mandi terbuka. Lalu sebuah tangan kembali berada di pinggangku. "Singkirkan itu dari badanku," kataku masih dengan memejamkan mata. "Biarkan seperti ini." "Di, lepas!" Adi tak bergerak sama sekali. Kini bukan tangannya, napasnya juga terasa menyapu leherku yang masih berbalut kerudung. "Di, cukup!" Aku bangkit dan dengan sedikit keras menepis tangan Adi. Adi turut bangkit. Kami duduk saling berhadapan dengan mata saling menatap tajam. "Mau kamu apa sebenarnya?" tanyaku kesal. "Mau aku?" Adi mengernyitkan dahinya. "Oke. Aku sadar kalau selama ini sikapku ke kamu salah. Jadi, aku ingin kita mulai semuanya dari awal." Aku memicingkan mata, menatapnya penuh selidik. Semakin yakin kalau ada yang tak beres dengan Adi. Maaf Tuhan, kalau aku sudah su'udzon dengan makhluk satu ini. "Kamu tahu salah satu syarat poligami itu apa?" tanyaku geram. Adi kembali mengernyitkan alisnya. Entah sedang berpikir atau apa. "Salah satunya harus mampu bersikap adil," jelasku, melihat keterdiamannya. "Aku tanya sama kamu, selama ini, apa kamu sudah bersikap adil padaku dan Melati?" Wajah Adi berubah masam. Mungkin tersinggung karena pertanyaanku barusan. "Belum kan?" Kulihat sorot matanya melembut. Memejamkan mata sejenak, akhirnya Adi berkata, "Kamu tidak tahu rasanya ... ketika hati kita sedang cinta-cintanya pada seseorang, kemudian dipaksa menikah dengan orang lain." Suaranya pelan, namun entah mengapa bagai sembilu yang mencincang sebongkah hati di dasar sana. Beruntungnya Melati dicintai Adi sedalam ini! Bergeming, aku menunggunya melanjutkan kalimatnya. Di sana, di mata elangnya aku melihat ada luka. Luka yang mungkin sama sakitnya denganku. Ah, pasti lebih sakit aku. Karena selama ini Adi selalu tersenyum bahagia. Egois kini merajai diriku. Adi kini merubah posisi duduknya. Bersandar pada tembok, ia menatap lurus ke depan. "Aku mencintainya. Melati adalah cinta pertamaku. Kami saling mencintai dan sedang merencanakan pernikahan hingga perjodohan ini hampir saja menghancurkan impian kami." Adi mulai bercerita. Sisi lain dari Adi yang juga baru kuketahui. Pria itu rapuh karena cinta. Adi menoleh, menatapku dalam. "Aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri denganmu, Anyelir. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya," ucapnya meyakinkanku yang entah mengapa aku menyangsikannya, meski juga tak menampik sedikit tersanjung. Menghela napas panjang, aku menatapnya lekat. "Dimulai dari bersikap adil. Aku ingin kamu adil. Kalau kamu membelikan Melati berlian, jangan membelikanku tembaga." "Tembaga?" "Ya pahitnya begitu. Daripada aku bilang emas. Terlalu mustahil bukan?" "Loh, loh. Mas kawin yang kuberikan juga emas murni loh itu. Jangan bilang mustahil, aku sudah memberikannya jauh sebelum kamu meminta," sanggah Adi tak terima. Wajahnya terlihat kesal. "Ini kan perumpaan Adi. Oke aku ganti. Kalau kamu membelikan Melati steak, jangan membelikanku tempe. Harus sama." Adi nampak berpikir. "Ya ya, aku minta maaf untuk kejadian yang lalu dan kejadian di rumah makan tadi." Peka juga dia, rupanya. "Aku cuma tidak ingin orang berpikir buruk tentang rumah tangga kita. Teman-temanku selain Marta tidak ada yang tahu kalau kamu menikah lagi. Dengan kamu makan siang di sana bareng Melati, orang akan berasumsi lain. Dan ...." "Oke, aku mengerti. Udah ya, cukup. Tidak usah dibahas lagi. Sekarang kita tidur." Adi mulai berbaring dan memejamkan mata. "Besok kita pulang ke rumah. Aku nggak kuat terus-terusan tidur tanpa AC. Hareudang, Anye!" katanya lagi. ***** Esoknya setelah sarapan bersama dengan nasi uduk yang kubeli di depan kos, kami berangkat bersama. Untuk pertama kalinya sepanjang pernikahan kami—selama enam bulan ini—Adi mengantarku ke tempat kerja. Aku sempat menolaknya, karena rasanya masih canggung terlalu lama berduaan dengannya. "Pulang jam berapa?" tanyanya setelah memarkirkan mobilnya di depan pabrik. "Jam 4." "Tunggu sampai aku datang. Kita pulang bersama." Hah! Lagi, aku dibuat speechless olehnya. "Mau ikut aku ke kafe?" tanyanya yang masih melihatku belum beranjak keluar dari mobilnya. Aku menggeleng cepat lalu segera turun. Jangan tanya apa kabar dengan detak jantungku yang mendadak berdisko ria. Sungguh, aku sudah berusaha untuk tidak baper dengan perlakuan Adi. Tapi mau bagaimana lagi, makhuk PMS macam kita memang ditakdirkan untuk baper meski hanya mendapat perhatian seujung kuku, bukan? ***** Benar saja, begitu aku keluar dari pintu gerbang, mobil Adi sudah terparkir manis di sini. "Tumben banget Adi jemput." Marta menoleh padaku menuntut penjelasan. "Sebenernya, udah dua malem ini Adi tidur di kos." "Serius?" Marta tak mampu menutupi keterkejutannya. "Dan kamu baru cerita sekarang ke aku? Baiklah." Sedikit kesal Marta membuang muka ke arah lain. "Bukan gitu, besok aku jelasin. Aku jalan dulu ya. Daaahh." Aku bergegas menghampiri Adi yang sudah melambaikan tangannya, memintaku segera masuk ke mobil. Marta hanya mengangguk. Kutinggalkan Marta dengan perasaan bersalah karena merahasiakan perubahan sikap Adi padanya. Ia pasti merasa tidak dianggap sebagai sahabat karena kabar menghangatnya sikap Adi, kusembuyikan darinya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN