Sang surya belum lagi menampakkan diri di ufuk timur. Udara dingin di pinggir
telaga masih terasa menusuk tulang. Tapi kakek tua berambut dan berjanggut putih itu sudah terjaga dari tidurnya. Dia menggeliat sedangkan mulutnya menguap lebar.
Seolah ingat akan sesuatu, begitu selesai menyampirkan kantong perbekalannya yang butut dia pun bangkit berdiri. Sepasang mata si kakek memandang liar kian ke mari.
Setelah itu si kakek pun menyeringai ketika melihat benda yang dicari tergeletak tak jauh dari batu yang dijadikan alas tidurnya. Benda yang dicari si kakek ternyata hanya sebatang bambu sebesar lengan dengan panjang dua tombak di mana bagian ujungnya kecil.
Bambu ini tidak beda dengan bambu yang sering dipergunakan orang untuk memancing. Dengan cepat si kakek menyambar bambu itu. Dari mulutnya terdengar dia berkata.
"Jika bambu ini sampai hilang urusan bisa jadi repot."
"Kau hendak menyiksaku dengan benda celaka itu tabib?" Tiba-tiba saja terdengar suatu suara menyahuti, membuat si kakek tertawa tergelak-gelak.
Dia lalu memandang ke atas. Di atas cabang pohon rendah, terlihat tergantung seorang bocah laki-laki berumur sekitar enam tahun. Bagian kepala menghadap ke bawah.
Sedangkan kedua kakinya yang
terikat di cantelkan ke cabang pohon. Sesekali tubuhnya tampak bergoyang goyang bila bocah ini meronta. Nampaknya si bocah sangat tersiksa sekali. Sehingga dia kembali berkata dengan suara keras.
"Tabib... cepat lepaskan ikatan di kakiku ini. Aku ingin bebas. Aku tak mau mengikutimu. Aku tak mau kau jadikan b***k. Tabib, tabib gilaaa kau mendengar suaraku bukan?"
Si Tabib hentikan tawanya.
Matanya melotot memandang pada bocah gondrong yang tergantung.
"Anak edan mana mungkin aku melepaskanmu. Kalau ikatan kulepas kau pasti akan minggat jauh. Kau harus ingat, hidupmu sudah ditakdirkan menjadi seorang b***k.
Sejak dirimu masih menjadi angin tanda-tanda itu sudah ada. Di ubun-ubun, di puser bahkan di sekujur tubuhmu tanda-tanda kesialan itu sudah ada. Kau tak akan pernah menjadi orang besar. Tidak akan menjadi panglima atau patih, apalagi raja.
Kalau pun mungkin kau pasti menjadi raja edan, raja cacing tanah dan paling tinggi raja para pengemis. Aku sudah melihat semua itu. Hidup dan matimu sudah ditentukan oleh yang di atas. Dan kau tetap menjadi seorang b***k. Kau akan menjadi budakku dari kecil sampai ubanan. Ha ha ha!" kata si tabib aneh disertai tawa panjang.
Bocah itu meronta. Dia kepalkan tangannya yang bebas bergerak. Matanya yang jenaka namun tajam berkedip-kedip.
"Tabib...!" kata si bocah. Karena si tabib diam saja si bocah berteriak.
"Tabib jeleeeekkk... kau memang manusia setan. Lekas kau turunkan aku. Tubuhku terasa panas, aku ingin mandi!" kata si bocah sambil melirik ke arah telaga yang bening.
Si kakek menimang-nimang batang bambu di tangannya. Dia menatap bocah itu sebentar. Setelah itu tertawa lagi.
"Bocah edan, muslihat apa lagi yang ada dalam batok kepalamu? Aku tahu akal bulusmu. Jangan pernah mimpi aku membebaskanmu. Ha ha ha!"
"Setan, aku bukan minta untuk dibebaskan. Buat apa aku mengharap belas kasihan darimu. Aku hanya mengatakan harap kan turunkan aku. Aku mau mandi." jawab si bocah.
Lalu dia pun tiba-tiba ikut pula tertawa. Si kakek menjadi heran.
"Kau... anak edan, apa yang kau tertawakan?" bentak si kakek yang sebenarnya memiliki nama asli Tabib Jay. Merasa heran tawa si bocah makin menjadi-jadi. Beberapa saat kemudian ketika tawanya terhenti dia berkata.
"Kakek tabib kurasa dalam hidup kau hanya tahu ilmu pengobatan saja. Kau urusi orang lain, tapi pada dirimu sendiri kau jadi kurang urus. Menurutku sebaiknya kita mandi bersama dalam telaga." jawab si bocah sambil tersenyum-senyum.
"Anak edan. Kau tak perlu menggurui aku. Kemarin aku sudah mandi. Jika sekarang kau mau mandi, baik. Permintaanmu kukabulkan. Mandilah sepuasmu. Ha ha ha!" Sambil tertawa-tawa si kakek gerakkan ujung bambunya ke arah celah kedua kaki si bocah yang terikat.
Wuut! Di lain saat si bocah kini tergantung di bagian ujung bambu. Karena ujung bambu itu sangat lentur maka tubuh si bocah terguncang keras terombang-ambing kian kemari tak mau diam. Ini tentu merupakan siksaan tersendiri bagi si bocah apalagi saat itu kepalanya menghadap ke bawah.
"Tabib jelekkk... aku hendak kau bawa ke mana?" tanya si bocah kesal sekali.
Si kakek menyeringai.
"Kau minta mandi, sekarang aku akan memandikanmu anak edan." jawab orang tua itu. Enak saja dan seakan tidak punya rasa belas kasihan sama sekali bagian pangkal bambu dipikulnya.
Sampai di pinggir telaga bambu diputar cepat hingga ujungnya yang diganduli si bocah berada di atas telaga. Gerakan cepat yang dilakukan si kakek membuat si bocah laksana dilontarkan, lalu berguncang keras ke kanan kiri dan gerakan bambu terhenti dengan tiba-tiba di atas telaga.
"Orang tua, kepalaku pusing. Kau perlakukan diriku begini rupa, apakah kau kira aku ini seekor ikan?" gerutu si bocah sambil memijiti kepalanya yang berdenyut sakit.
"Kau seorang b***k. Tadi kau minta mandi, sekarang mandi sepuasmu!"
Dengan tidak terduga bambu yang dipegang si kakek digerakkan ke bawah.
Begitu ujung bambu meluncur maka tubuh si bocah yang tergantung di sana dengan kaki di atas kepala menghadap ke permukaan air ikut pula meluncur.
Byuur! Bleep! Tubuh si bocah hingga ke bagian ujung bambu lenyap dalam kedalaman air. Air telaga bergelombang, si bocah meronta. Beberapa saat lamanya si bocah tenggelam dalam air, baru kemudian si kakek sentakkan bambu ke atas.
Dengan begitu si bocah yang dalam keadaan basah kuyup ikut pula terahgkat. Si bocah megap-megap.
"Tua bangka edan, aku bisa mati jika kau perlakukan seperti ini!" makinya.
"Ha ha ha. Ini adalah cara mandi yang bagus dan sangat langka. Kau kutenggelamkan, lalu kuangkat. Tenggelam... diangkat... tenggelam di angkat lagi. Bagus bukan?" kata sang Tabib.
Baru saja bocah itu hendak mengatakan sesuatu, bambu digerakkan ke bawah. Dengan begitu bocah ini pun ikut meluncur dan tercebur lagi ke dalam telaga. Gerakan ini dilakukan berulang kali oleh kakek tabib sampai akhirnya bocah itu menjadi lemas dan sulit bernafas.
Dengan nafas terengah-engah si bocah berkata.
"Kakek tabib, terima kasih kau telah memandikan aku...!"
"Untuk ucapan terima kasihmu itu sekarang kau layak duduk dengan kaki tetap terikat!" ujar si kakek.
Kemudian bambu digerakkannya. Kaki si bocah yang sengaja dicantolkan di sana terlepas. Tak ayal lagi bocah itu melayang dan jatuh dengan punggung menyentuh tanah di pinggiran telaga.
Si bocah menggeliat kesakitan. Tapi kemudian setelah duduk dengan kaki terikat dia tersenyum.
"Tabib Setan...!"
"Sekali lagi kau memanggilku Tabib Setan, kupecahkan kepalamu!" desis si kakek merasa tidak senang.
"Tindakanmu sejahat setan.
Bagaimana aku tidak memanggilmu begitu?" rutuk si bocah.
Dengan sikap tak perduli dia
melanjutkan.
"Tabib... setelah kau mandikan aku apakah kau tidak berniat mandi?"
"Eeh, kau hendak mengajari aku yang sudah tua bangka. Setiap saat badanku selalu wangi karena kubaluri ramuan khusus. Lalu buat apa aku mandi!" Si kakek kemudian menyeringai,
"Aku tahu kau pasti hendak mencari kesempatan untuk melarikan diri." Si bocah gelengkan kepala.
"Buat apa lagi. Semua itu percuma karena kau pasti menemukan aku juga. Aku percaya tubuhmu bau wangi. Tapi rambutmu aku yakin bau pesing. Ha ha ha."
"Apa?! Rambutku bau pesing?" desis si kakek. Kemudian cuping hidungnya kembang kempis sedangkan kedua tangan mengusap-usap rambutnya sendiri.
Sebagian rambutnya ternyata memang basah. Ketika tangan yang memegang rambut diciumnya...."
"Hemm, bau pesing!" kata si bocah sambil tertawa-tawa. Sang Tabib mendelik garang, wajahnya yang diwarnai keriput nampak merah padam.
"Bocah edan. Kau kencingi aku disaat aku sedang tidur?" teriak Tabib Tapadara marah sekali.
"Salahmu sendiri tabib. Aku kau gantung di atas ketiduranmu. Malam tadi aku kedinginan. Karena kakiku kau ikat, terpaksa aku kencing begitu saja. Jika kau tak tidur dibawahku, mana mungkin air kencingku mengguyur kepalamu. Apakah engkau masih mau menyalahkan aku"
Ha ha ha!" kata si bocah.
Tabib Jay sebenarnya sangat marah terhadap si bocah, namun setelah dia berpikir sejenak akhirnya dia menyadari semua itu memang kesalahannya sendiri.
"Bocah edan, gara-gara ulahmu sebagian ilmu yang kusimpan di kepalaku luntur. Seharusnya aku membunuhmu saat ini juga. Tapi mengingat tenagamu masih kubutuhkan, kematianmu bisa kutunda untuk beberapa purnama lagi." Dengus si kakek.
Si bocah cibirkan mulutnya.
"Sejak dulu kau selalu mengancamku. Tapi ancamanmu tak pernah kau buktikan. Apa kau mengira aku takut mati, tabib... setan...!"
"Bocah kurang ajar. Awas kau, jangan berani pergi ke mana-mana aku terpaksa membersihkan bau pesing di kepalaku." Tabib Jay tanpa menghiraukan ucapan bocah itu langsung menuju ke pinggir telaga yang dangkal.
Sebenarnya si bocah ingin mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, namun karena kakinya terikat dan tidak dapat dibukanya terpaksalah dia diam di situ.
Akan tetapi kejahilan muncul di dalam pikiran si bocah. Dia lalu beringsut mendekati bambu yang selama ini selalu dipergunakan oleh si kakek untuk menggantungnya ke mana pun kakek ini pergi.
"Tabib edan. Bertahun-tahun aku berada dalam cengkeramanmu tanpa sedikit pun kau beri aku kebebasan. Sekali-kali kau harus tahu rasa" dengus bocah itu dalam hati.
Kemudian dengan menggunakan ujung bambu itu didorongnya panggung Tabib Jay yang sedang mencuci rambut di pinggir telaga.
Byuur!
"Ha ha ha. Basah sudah semuanya!" seru bocah itu sambil tertawa tergelak-gelak.
Sumpah serapah keluar dari mulut si kakek. Dia dalam keadaan basah kuyup melompat ke darat. Sampai di sana si kakek berlari, tangannya berkelebat
menyambar tangan bocah itu. Sekali angkat melayanglah tubuh bocah itu di udara.
"Tabib... kau hendak membunuhku,Tabib Setan...!?" teriak si bocah ketakutan.
"Ternyata kau takut mati. Hemm... bocah menyebalkan!" gerutu si kakek.
Dengan gerakan cepat dia menyambar bambu, kemudian ujung bambu diputar dan digerakkan sedemikian rupa. Di lain waktu celah kedua kaki si bocah yang dalam keadaan terikat sudah tergantung di ujung tombak itu.
"Sekarang tidak ada waktu lagi bagi kita untuk bermain-main. Kita harus pergi ke padang yang tak jauh dari lembah ini. Di sana kau harus mencari tetumbuhan untuk kujadikan ramuan." kata Tabib Jay.
Setelah itu sang tabib berlari secepat yang dapat dia lakukan. Karena larinya sesuka hati sendiri, tak ampun lagi si bocah yang digantung di ujung bambu yang lentur itu nampak pontang-panting terlempar kian ke mari.
Tidak dapat dibayangkan betapa tersiksanya bocah ini.
"Kakek tabib, jangan terlalu kencang kau berlari. Aku... aku mau muntah...!"
"Kalau mau muntah, muntah saja tidak ada yang melarang. Di ujung bambu itu kau bebas berbuat apa saja, termasuk buang hajat jika kau mau!" kata si kakek diiringi tawa panjang.
"Dasar setan. Kelak kau akan menerima, hukuman dariku." gerutu bocah ini dalam hati.