Aku terbangun seperti biasanya di sepertiga malam terakhir. Bukan untuk melakukan sholat malam, berdo'a pada sang penguasa alam semesta, atau bersimpuh memohon ampun kepada yang maha penerima taubat. Seperti apa yang saat ini dilakukan oleh istriku. "Mempertahankan perempuan mendampingi kita mudah. Pertama, adanya anak. Kedua jangan biarkan dia bekerja!" Masih melihat siluet gerakan Alvira sholat, aku teringat pesan Papa saat berkumpul rutin acara keluarga di rumahku. Papa tiba-tiba berpesan seperti itu, setelah mendapatkan cerita dari Ayah kalau aku terlihat berbeda saat di keluarga Alvira membicarakan Radith. Benarkah sebegitu kentaranya sikapku? Benarkah aku cemburu seperti apa yang di tuduhkan papa? Benarkah aku sudah mulai menyukai Alvira dan mulai takut kehilangan dia? Sampa

