Karena Malam

2632 Kata
Saat Ferrary-ku memasuki area parkir. Alvira langsung menurunkan kaca mobil dengan senyum mengembang. Mengeluarkan kepalanya, melihat lampion warna-warni yang bergantung di indah saat langit mulai gelap.   Tatapan penuh takjub belum memudar, hingga kuda merahku berhenti disalah satu area parkir yang kosong. Alvira langsung keluar, posisinya yang masih memegang pintu mobil terbuka. Sedangkan matanya yang berbinar mengabsen setiap seluruh area parkir yang dipenuhi hiasan lampu dan lampion tersebut.   "Kamu menyukainya?" tanyaku saat sudah berada disampingnya.   "Ini indah sekali, aku sangat menyukainya," jawab Alvira masih dengan senyum mengembang.   "Di dalam jauh lebih indah dari ini."   Kami berjalan beriringan masuk kedalam restaurant. Dengan desain klasik karena ruangan yang dominan warna coklat muda, ornamen banyak terbuat dari kayu, pencahayaan tidak terlalu terang, serta instrument musik menemani para pengunjung yang sedang makan.   Restauran ini memang recommended, dan selalu ramai. Kalau tidak reservasi dulu, mungkin tidak akan mendapatkan tempat. Lihat saja di lantai satu ini hampir semua sudah penuh. Dan kalaupun kosong, ternyata sudah ada yang booking.   Aku dan Alvira jalan beriringan kearah tangga. Tidak ada gandengan tangan, tidak juga adegan Alvira yang memeluk tanganku mesra, atau sikap posesifku yang memeluk pinggang Alvira. Semua itu butuh tahap. Di hati kami masih belum ada gemerincik rasa, namanya juga baru memulai. Dan aku belum berani memulai hal sedemonstratif itu. Keintiman kami saat berdua, Alvira masih sangat canggung. Pasti akan jadi manekin dia, kalau aku berulah di tempat seramai ini.   Berada dilantai dua, keindahan dekorasi serta view yang ditawarkan lebih bagus jika di bandingkan lantai satu. Area VIP yang cukup memberikan privasi bagi pengunjung, karena pengaturan antar meja satu dan yang selainnya berjauhan.   Meja yang aku reservasi berada di bagian pinggir lantai dua. Dekat dengan dinding pembatas yang tingginya satu meter. Sehingga bisa melihat langit, lampu gedung-gedung bertingkat yang menyala dan juga menengok keindahan dekorasi di bawah.   Aku bersiap menarik satu kursi untuk mempersilahkan Alvira duduk. Masih manis pada batasan sikapku pada perempuan yang berstatus istri Rafif Andika Herlambang. Namun, aksi itu terhenti saat Alvira hanya melewati meja terus berjalan pada tembok pembatas yang tingginya satu meter tersebut. Sekali lagi, Alvira menatap takjub apa yang disajikan di depannya. Akupun mendekat, ikut berdiri disampingnya.   "Kamu sangat suka tempat ini? Dari tadi selalu menatap penuh takjub."   Alvira menoleh kearahku, dengan senyum yang mampu membuat hatiku berdesir. Apa aku mulai menyukainya?   "Aku sangat menyukai cahaya, disaat gelap," jawabnya pendek, kemudian ia menghadapkan kembali wajahnya kedepan.   "Coba Kakak lihat itu," Tunjuk Alvira pada langit yang terdapat bulan purnama dan beberapa bintang.   "Dalam keadaan gelap, ternyata masih ada cahaya. Walaupun sedikit tapi cukup membuat malam tidak benar-benar buruk. Masih ada cahaya yang Allah sediakan untuk manusia, tinggal kita manusia mau merutuki gelap, atau mensyukuri cahaya tersebut?"   Ucapan Alvira yang sulit untuk aku fahami maksudnya, namun cukup membuatku tertarik. Sebenarnya apa yang hendak Vira sampaikan?   Alvira kembali menoleh kearahku, hingga kami terlibat aksi adu pandang yang cukup lama, dan senyumnya cukup membiusku.   "Inna maal usriusra, Waiinamaal usriusra. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Dan sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Itu janji Allah Kak yang diulang dua kali. Menunjukkan keseriusan bahwa Allah tidak main-main supaya hambanya mau bersikap optimis disituasinya yang tersulitpun.   Namun aku renungi dengan makna yang lain tanpa merubah semangat dari ayat tersebut. Sesungguhnya kesulitan datang bersama kemudahan. Dan sesungguhnya kesulitan datang bersama kemudahan. Tinggal kita mau fokus melihat yang mana? Kesulitannya yang membuat kita semakin terpuruk, atau kemudahan yang membangun optimisme diri?" penjelasan Alvira yang memecahkan keheningan. Kemudian ia memberi jeda, dengan menghirup nafasnya dalam. Ada luapan emosi yang begitu mendalam dengan topik malam yang seharusnya ini pembicaraan ringan.   "Hal itu aku lihat pada fenomena malam Kak, bahwa Allah mendatangkan malam bersamaan dengan datangnya cahaya dari bulan dan bintang. Serta Allah juga membekali manusia dengan akal sebagai kemudahan. Memikirkan setiap tanda-tanda-Nya dan melakukan penyelesaian masalah yang dihadapi. Termasuk masalah yang tercipta saat malam, gelap. Bukan dirutuki, atau dihindari seperti yang tersaji dalam film the croods, Tapi bersabar menemukan solusi seperti yang dilakukan Thomas Alva Edision," lanjutnya.   "Coba lihat itu Kak." Tunjuk Alvira pada deretan gedung bertingkat yang saat malam hanya terlihat cahaya lampu yang menyala.   "Itu." Tunjuknya yang beralih pada lampu jalanan dan juga lampu mobil yang terjebak macet, Serta yang terakhir menunjuk pada lampu-lampu yang ada di bawah. Lampion-lampion yang tergelatak di taman, lampu hias yang mengitari pohon, serta pinggiran kolam renang.   "Itu hasil karya Thomas Alva Edision yang mau bersabar, pantang menyerah dalam kegagalan yang di hadapi, dan tentunya bukan tipe orang yang hanya fokus melihat kesulitan saja. Dan sekarang kita bisa merasakan manfaat hasil karyanya. Aktifitas bisa dilakukan saat malam hari, mobil-mobil itu bisa tidak saling tabrakan, karena mampu melihat sesuatu yang ada di depannya, serta penemuannya ini bisa di gunakan untuk seorang mencari nafkah, misalnya restaurant ini yang mempunyai daya tarik karena permainan cahaya lampunya." Akupun mengangguk membenarkannya. Dan harus aku mengakui, gaya berfikirnya Oke juga.   "Apa kamu mengagumi sosok Thomas Alva Edision?" tanyaku penasaran. Karena setelah Alvira menjelaskan tentang Thomas Alva Edision, ia diam dan hanya menatap intens cahaya lampu gedung-gedung bertingkat di hadapannya.   Alvira hanya menggeleng tanpa menoleh. "Banyak sosok figur islam yang layak untuk di kagumi. Nabi Muhammad SAW, sosok kepribadiannya memberikan teladhan yang patut kita ikuti. Selain itu ada para sahabat nabi. Dan kalaupun mau mengagumi sosok ilmuwan. Islam juga punya ilmuwan seperti Ibnu Firnas yang menemukan kerangka pesawat, Ibnu Haytam penemu lensa, Ibnu Rusyid seorang ilmuan bidang sosial dan masih banyak lagi. Kalau sosok muslim banyak yang bisa di jadikan figur, kenapa hendak mencari kiblat lain? Kisah Thomas Alva Edision aku ambil sebagai pelajaran hidup saja Kak."   Mendengar jawaban Alvira yang tak mengagumi sosok Thomas, walau ia punya pengetahuan akan ilmuwan penemu bolam lampu tersebut. Di buat takjub dengan pengetahuannya tentang orang-orang hebat dalam Islam yang aku sendiri tidak kenal. Ia tidak menceritakan detail bagaimana kehebatan orang-orang Islam tadi, tapi aku tahu Alvira cukup punya data tentang orang-orang tersebut. Dan PR-ku mencari tahu siapa mereka. Masa imam pengetahuannya kalah dengan makmum? Terus bagaimana seorang imam bisa memimpin kalau yang di belakangnya jauh lebih banyak pengetahuan. Pengetahuan luas, membuat cara berfikirnya pun luas.   Lama Alvira menatap langit, terfokus pada bulan purnama yang indah, dan disekitarnya ada beberapa bintang, walau tak bertaburan namun ada satu bintang yang terlihat paling besar dan terang. Alvira memasukkan kedua tangannya di balik jilbabnya. Agak lama ia menggerakan kedua tanganya, terlihat dari jilbab yang terus bergerak. Alvira mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin bintang yang tengahnya terdapat berlian. Kalung yang tak pernah ia lepas, karena aku selalu melihat kalung itu sangat cantik menghiasi leher Alvira kala melepas jilbab.   Tangan kirinya mengangkat tinggi kalung itu hingga liontinya menggantung. Seperti sedang mensejajarkan antara liontin bintang itu dengan bintang sesungguhnya dilangit. Keduanya sama-sama bersinar, Liontin itu bersinar dari berlian, sedangkan bintang memang punya cahaya sendiri untuk bersinar. Ditatap lama liontin dan bintang tersebut bersamaan oleh Alvira. Aku hanya memerhatikan setiap gerak gerik-nya tanpa berniat menganggu, meskipun aku sudah sangat penasaran, sebenarnya apa yang Alvira lakukan. Tak lama matanya tertutup dengan tangan yang masih diatas, menggantungkan kalung tersebut agar tetap terlihat sejajar dengan bintang yang paling terang, walaupun itu hanya semu.   "Kenapa kamu menangis?" Aku bertanya saat mata tertutup itu meloloskan cairan bening.   Seketika Alvira membuka mata dan menurunkan tangannya yang menggantung liontin, kemudian menghapus sisa air mata dengan tangan kanannya yang bebas tak memegang apapun. Alvira memaksakan tersenyum tanpa menjawab.   "Kita kesini untuk makan kan, Kak?" Tanya Alvira yang mengalihkan pembicaraan. Ia yang masih tak mau terbuka, mengajakku untuk menebak teka-teki akan dirinya.   Aku mencekal pegelangan tangan Alvira saat akan melangkah menghindar ke meja. "Apa yang kamu lakukan tadi? Kenapa sampai menangis?" Cecarku untuk mendapatkan jawabannya. Aku tak sabar jika ia selalu mengajakku untuk bermain teka-teki misteri dirinya. Katanya ingin saling mengenal, tapi mengapa ia yang memberi ruang untukku.   "Kak, aku sudah lapar. Bisa kita makan dulu?" tanyanya yang masih belum mau menjawab.   Aku menghembuskan nafas kasar, merasa tak mungkin untuk memaksanya untuk menjawab. Namun sebelumnya, aku mengatakan obrolan dilanjut setelah makan. Aku tak mau menunggu ia menjawab ia atau tidak. Setelah itu langsung ku tarik pergelangan tanganya menuju meja, menarik kursi dan mempersilahkan dia duduk.   Aku langsung memanggil pelayan, saat pelayan sudah sampai di meja kami pelayan tersebut berbasa-basi SOP pelayanan dan menyerahkan buku menu terhadapku dan Alvira, serta memberikan kertas kosong beserta pensil untuk kami menulis pesanan.   Dari balik buku menu yang di buka, Alvira menatapku intens, dan kami kembali beradu tatap sebelum ia yang melepaskan kontak mata terlebih dahulu bersama hembusan nafas besarnya.   "Kenapa?" tanyaku yang merasa ada yang tidak beres. Aku was-was kalau dia tidak menyukai menu yang disediakan. Mengingat raut wajahnya yang tak enak dilihat saat membolak-balik daftar menu.   Alvira hanya mengeleng, kemudian mengambil kertas dan pensil untuk menulis pesanannya. Saat itu aku berhembus lega, kalau dia tak masalah dengan menu makanan. Sehingga hadiah makan malam ini tak gagal.   "Benar-benar tempat makan harga konglomerat Kak," ucap Alvira sambil menghempaskan tubuhnya kesandaran kursi saat pelayan sudah pergi membawa catatan pesananan kami.   Mendengar celetukannya aku menaikkan salah satu alisku. "Yang bayarkan aku, kenapa kamu yang memikirkan harganya."   Alvira berdecak, kemudian menegakkan duduknya lagi. "Ya.. iyalah, Kak Dika yang ngajak aku kesini. Aku sih mikir puluhan kali kalau harus makan dengan harga sefantastis itu."   Memang sih untuk makan hanya berdua harus merogoh debit card hingga jutaan rupiah itu harga yang fastastis. Namun menurutku sebanding dengan rasa atau kondisi tempat yang tadi mampu membuatnya menatap takjub. Ada harga, ada kualitas.   Tak lama pesanan kami datang. Hening selama kami makan, termasuk deting sendok garpu yang bergesekan dengan piring tak terdengar.   Makan malam yang aku rencanakan bisa menjadi tahap awal untuk bisa lebih mengenal dan dekat dengan Alvira, aku kira akan berhasil mengingat bagaimana wajah berseri dan takjub saat awal kami menginjakkan kaki di restoran. Lagipula siapa yang tak yang tak akan senang terbuai jika diajak dinner di tempat yang bagus? Sayangnya, itu tidak berlaku lama pada Alvira. Saat makan hingga pesanan tandas tak ada pembicaraan lagi. Alvira mengajak untuk langsung pulang. Aku sempat menolak, hingga terjadi debat kecil. Sia-sia acara makan malamnya kalau datang-makan-pulang. Yah, tapi aku lupa kalau berhadapan dengan perempuan yang tak mau di bantah saat keinginannya di tolak.   Sampai rumah, Alvira langsung di sambut Tiara. Di monopoli oleh bocah mungil itu untuk mendongengkannya. Sebelumnya aku sudah bernego bahwa tante yang sekarang dipanggilnya mama itu masih ada yang urusan dengan ku, tapi namanya bocah malah mengatakan seharian ini aku sudah bersama dengan Alvira. Kini gilirannya dengan Alvira. Kalau masih ditolak akan nangis dan ngadu sama mama-papa dan panjang ceritanya. Akhirnya Alvira menemani tiara tidur, dan aku masuk ruangan kerja untuk mengalihkan sebentar penasaranku pada berkas yang sore di bawa pulang Keizia untuk aku periksa.   Setelah pekerjaanku selesai aku memasuki kamar, Alvira sudah ada di dalam dan sepertinya ia barusan selesai mandi.   "Kakak mau mandi? Kalau iya aku siapkan air panasnya dulu biar tidak masuk angin dan sakit lagi," jelasnya saat aku baru membuka pintu penghubung ruang kerja dan kamar.   Aku hanya menggeleng dan masuk kamar mandi untuk cuci muka dan mengganti pakaianku, karena tadi sore sebelum berangkat makan malam aku sudah mandi.   Keluar kamar mandi, Alvira tidak ada di dalam kamar. Apa dia membutuhkan sesuatu hingga keluar kamar. Namun pintu balkon yang terbuka, membuatku melangkah kesana. Aku pikir Alvira ada disana.   Benar! Alvira memang ada di balkon dan ia melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukannya di restauran tadi. Mengangkat tinggi kalungnya itu, namun yang membuat berbeda saat aku melihat langit, tak ada bintang yang terlihat. aku tidak tahu kemana bintang-bintang tadi terlihat di restauran, walaupun yang paling terang hanya satu.   Karena ini area pribadi, aku pikir tidak masalah jika aku kembali berulah. Membuat Alvira menegang dan jadi manekin yang tak bergerak. Dia harus di buat terbiasa jika kami berdua terlibat sentuhan intim. Sudah halal juga kan.   Aku mendekatinya, dan Alvira tidak sadar jika aku sudah berada di belakangnya. Hingga kedua tanganku melingkar di pinggangnya. Memeluk Alvira dari belakang. Seperti dugaanku Alvira langsung menegang. Tidak aku hiraukan justru aku menumpukan rahangku pada pundaknya yang tertutupi jilbab instan yang ia gunakan kalau di rumah.   Tanganya yang mengangkat kalung diturunkan, kemudian berusaha untuk melepaskan tanganku. "Biarkan seperti ini dulu ya. Walau sebentar, ayo biasakan," tolakku dan Alvira menghentikan aksinya.   Dari posisiku ini, aku mampu melihat kalau mata itu menangis lagi. Bahkan tubuhnya sekarang sudah bergetar karena isak kecil yang coba di tahannya. Langsung ku lepas pelukanku, membalik tubuhnya, menghadapku. Apa ini karena ulahku yang sedikit memaksa memeluknya? tapi rasanya aneh dengan karakter Alvira. Pasti ada sesuatu yang lain.   Aku sentuh dagunya, mengangkat untuk melihatku. "Ada apa? Apa sikapku keterlaluan?"   Alvira menggeleng mengangkat tangan, memperlihatkan kalungnya yang dari tadi ia pegang.   "Kalung? Kenapa dengan kalungnya?" Tanyaku heran. Dua kali Alvira mengeluarkan air mata yang tak pernah kulihat selama mengenalnya dan itu karena sebuah kalung.   Lama Alvira tak menjawab, membuat aku melontarkan pertanyaan kembali, "Kalung itu berharga banget ya buat kamu? kayaknya banyak kenangan dengan kalung itu." Dan Alvira langsung saja mengangguk.   "Benar, kalung ini menyimpan banyak kenangan. Dan kalung ini yang selalu mengingatkanku memandang hidup lebih luas. Liontin Bintang dengan Berlian mengingatkanku terus pasti ada keindahan. Baik yang alami seperti Bintang, punya cahaya sendiri. Atau perlu proses panjang dan menyakitkan seperti Berlian yang perlu di gali dalam dan pahatan yang rumit untuk menghasilkan kilauan indah menjadi batu mulia mahal.   Terima kasih Kak, terima kasih telah mengajakku ke restoran tadi. Membuatku bisa merenungi fenomena malam. Mungkin kalau Kakak tidak membawaku kesana, aku akan jadi si kerdil yang memiliki cara pandang sempit, lupa cara memandang hidup untuk bisa terus survive." Lantas Alvira mengusap air matanya kasar, yang dikuti hembusan kasar. Selalu seperti ini kalau sedang mengatur emosinya.   "Ma'af Kak aku jadi baper gini," lanjutnya yang memaksakan tersenyum.   Aku langsung menangkupkan wajahnya yang hendak berpaling dan menghindar lagi. "Apa kamu tidak akan membuka sedikitpun tentang dirimu? Bagaimana saling mengenal, kalau kamu menutup akses itu?" Alvira masih diam tak bergeming.   "Ayo ceritakan, perlahan!" ucapku pelan, syarat akan ketegasan.   Alvira menatap mata ku dengan sendu, dalam diamnya aku tahu ia sedang ragu untuk terbuka, "Aku mau mengenal istriku, ceritalah apa yang menjadi beban fikiranmu."   "Pernikahan kita Kak!" rancau Alvira bersamaan dengan air mata dan isak kecilnya.   "Aku hampir saja berpandangan sempit, melihat bahwa pernikahan dua orang yang tidak saling mengenal disana tidak akan ada kebahagiannya. Seharusnya aku tidak berfikiran seperti itu. Ayah memang yang menjodohkan, tapi ayah tidak memaksakan kehendak. Aku yang bersedia, mengambil keputusan konyol itu. Seharusnya aku tidak apatis dengan pernikahan ini. Aku ikut andil memutuskan. Aku harus bertanggung jawab dengan keputusanku Kak!" lanjutnya masih dengan air mata yang mengalir.   "Kak... Pernikahan kita memang bukan bintang yang punya sinar bahagia sejak awal. Tak ada cahaya awal, bukan berarti berhenti mencari sinar bahagia itu. Aku akan berusaha menemukan sinar kilau berlian di pernikahan ini. Apa Kakak mau jadi partnerku untuk menemukan kilau berlian itu? kita cari perlahan kak!"   Mendengar penuturannya, aku tersenyum. Dia sama sepertiku yang harus berkompromi dengan pernikahan ini. "Iya, kita akan coba perlahan mencari bahagia dipernikahan ini. Membahagiakan hati kita, membahagiakan keluarga besar kita." Balasku dengan menghapus air mata dan berakhir mengecup keningnya lama.   Melepas kecupan dan beralih menyatukan kening dengannya. Posisi seperti ini aku bisa merakan deru nafas Vira dan melihat bibir pink itu mengundangku untuk merasakannya. Mungkin keterbukaan Alvira tentang apa yang ia rasa dan inginkan, mendorong keberanianku untuk menciumnya. Memang hanya sebatas menempel, tapi membuat mata Alvira membuka lebar. Aku kira dia akan menolaknya. Namun ia membuktikan apa yang ia katakan akan mencoba perlahan pernikahan ini. Tak lama Alvira menutup mata, dan aku semakin berani untuk menggigit bibir bawahnya untuk memberiku akses. Melumat meski tanpa balasan. Dan gadis ini ternyata sangat payah. belum ada semenit dia sudah kehabisan nafas. Saat aku melepas ciuman kami, dia langsung menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang sempat kulihat memerah.   "Kak... ki-ta belum sholat Isya," ucapnya terbata, dan langsung masuk ke kamar.   Melihat tingkahnya seperti itu aku hanya tersenyum. Itu ciuman pertamanya. Aku tahu meski tanpa harus menanyakan. Dan apa dia bilang belum sholat Isya? Apa itu kode untuk ngajak sholat sunnah sekalian?.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN