Ponsel di samping tempat tidurnya berbunyi nyaring. Dengan mata masih terpejam, tangannya meraba-raba permukaan kasur. Kelopak matanya terbuka berat, dan dengan enggan dia menekan tombol terima.
“Sab, nanti kalau kamu mau ke kantor bawa ponselku, ya. Ponselnya ada di kamar. Tadi aku berangkat buru-buru sampai lupa bawa ponsel, sial!” Suara di seberang sana, tanpa basa-basi.
Sabrina menanggapi perkataan sahabatnya itu dengan menguap lebar dan mengerang halus.
Dasar pelupa. Batinnya.
“Jangan lupa bawa ponselku!” katanya menegaskan.
“Iya, Larasati.” Balasnya dengan suara serak seraya mematikan ponsel dan membanting ponsel itu kembali di sampingnya.
Duduk dengan mata mengantuk di tepi tempat tidurnya. Kedua bola matanya melirik ke arah kalender bergambar adiknya. Topi miring hitam menghiasi kepala Arjuna Jani—nama adik laki-laki Sabrina. Kalung rantai memanjang sampai ke d**a, tangan dilipat ke d**a dan memasang wajah songong layaknya bintang rap papan atas.
Sabrina melenguh dengan senyum tipis geli yang menghiasi wajahnya di pagi akhir musim panas ini. Dia heran sekaligus bingung pada adik satu-satunya yang tinggal di Yogya—Indonesia. Adiknya selalu merasa bahwa dia adalah bintang rap terkenal di dunia. Juna—nama panggilannya, terobsesi untuk menjadi bintang rap Internasional. Bahkan sang adik mengirimkan kalender buatannya khusus untuk kakaknya dari Yogya ke London hanya untuk menunjukkan betapa cocoknya dia menjadi bintang rap.
Sabrina menyelipkan kedua kakinya ke selop berbulu berwarna krem dan berjalan menuju sudut dapur. Mengambil mug kesayangannya yang berwarna putih dan menakar air dan serbuk kopi hitam. Sabrina meletakkan mug kesayangannya di atas meja kayu panjang yang berada di dekat jendela. Membuka gorden berwarna putih dan duduk di depan komputer tuanya. Sabrina menyesap kopi hitamnya dengan pandangan mata yang tertuju ke arah jendela. Dari jendela dia bisa melihat kehidupan normal di pagi hari. Masih damai dan tenang. Masih terlalu pagi untuk berhambur keluar dari flatnya.
Sabrina. Gadis berambut sebahu dengan potongan bob mengembang. Berkulit kuning langsat. Memiliki bibir yang tidak terlalu tebal dengan bibir bagian atasnya yang lebih tipis dari bibir bagian bawah. Memiliki bulu alis yang hitam, tebal dan berantakan layaknya sebuah rimba hutan. Gadis Indonesia yang tujuh tahun lalu mengikuti program beasiswa dari pemerintah. Dan di luar dugaannya, dia berhasil lolos menyisihkan ratusan mahasiswa lainnya.
Sabrina Jani saat ini bekerja sebagai seorang ilustrator di sebuah penerbitan buku di London. Gadis penyuka seni dan pengaggum lukisan Monalisa karya Leonardo Davinci. Dia bekerja sesuai dengan passion-nya, meski banyak orang yang mengatakan kalau desainnya tidak terlalu bagus tapi toh, dia sudah lebih dari tiga tahun bekerja sebaga ilustartor di kantor penerbit.
Sabrina kembali menyesap kopinya lalu menyalakan komputer tuanya. Mengecek surel dan membalas surel itu satu per satu. Surel dari orang-orang yang menggunakan jasanya.
Sabrina menyalakan musik kesukaannya dari komputer. Lagu berjudul I surender milik penyanyi populer Celine Dion menemaninya di pagi ini dengan kopi yang masih mengeluarkan uapnya.
Tiba-tiba ponselnya kembali berdering nyaring. Berkompetisi dengan suara musik dari komputer tuanya. Sabrina menghentikan aktivitas jari-jarinya yang bergerak lincah di atas keyboard dan memilih mengambil ponsel di kamarnya.
“Iya, Ras.” sahutnya di telepon.
“Sudah mandi belum, Sab? Sudah minum kopi, kan? Sudah mau berangkat kerja? Jangan lupa ponselku dibawa ya!” Laras menghujani Sabrina dengan celotehan mendesak.
“Iya,” jawab Sabrina masih dengan suara serak.
“Jangan iya-iya saja, Sab. Aku butuh ponselnya. Pokoknya kamu jangan lupa bawa ponseln ya!”
Laras tidak bisa menerima jawaban yang sumir. Baginya jawaban yang sumir sama saja dengan keengganan apalagi nada suara Sabrina yang parau dan sedikit enggan menjawab perintah sahabatnya itu.
Larasati, gadis Indonesia yang memiliki nasib mujur yang sama dengan Sabrina. Dia kuliah di Oxford mengambil Jurusan Sastra Inggris dan akhirnya bekerja sebagai editor di penerbitan yang sama dengan Sabrina. Meskipun kuliah di satu kampus dan menjadi anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom (PPIUK), mereka berdua baru kenal setelah mereka sama-sama diterima bekerja di penerbitan yang sama.
Larasati aktif dalam organisas PPI sedangkan Sabrina memilih pasif mengikuti pertemuan rutin ataupun kegiatan rutin yang diadakan organisasi tersebut. Sabrina bukan tipikal orang yang suka akan keramaian dan dikenal banyak orang. Sabrina lebih suka mengurung diri di asrama, berbaur dengan buku-buku di perpustakaan dan berkencan dengan peralatan melukis. Dan sampai sekarang dia masih bertahan dengan kesukaannya.
Telepon terputus setelah Sabrina berhasil meyakinkan Laras kalau hari ini dia pasti membawa ponsel Laras yang ketinggalan. Sabrina menyesap kopinya dan berjalan menuju kamar mandi dengan membawa handuk. Dia sudah siap menjelajah waktu dan menikmati musim panas terakhir di London. Berbaur dengan kesibukan Kota London, sebenarnya bukanlah hal yang disukainya. Dia menyukai sesuatu yang disebut ketenangan bukan kesibukan.
**
Kemeja berwarna krem dipadukan dengan jeans berwarna hitam yang ketat memberi gambaran tentang kakinya yang tidak terlalu jenjang juga tidak pendek. Dia meraih sisir kesayangannya dengan gerakan cepat, dia menyisir rambut hitamnya yang sebahu.
Jarak yang hanya sekitar seratus meter dari kantor penerbitan membuat Sabrina memilih jalan kaki atau bersepeda untuk sampai di kantornya. Dan kali ini, Sabrina memilih berjalan kaki. Dia ingin menikmati udara pagi hari di London sambil memerhatikan setiap orang yang dilihatnya.
“Jangan lupa bawa ponsel Laras!” perintahnya pada diri sendiri. Sabrina dan Laras terbiasa memakai bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari mereka. Entahlah, hanya saja dua gadis itu lebih nyaman memakai bahasa ibu mereka dibandingkan bahasa Inggris.
Tepat ketika Sabrina baru keluar dari flat, dia menangkap dua orang yang sepertinya—sepasang kekasih. London—kota yang sibuk, aneh bagi Sabrina mendapatkan pemandangan dua orang yang dengan cuek bermesraan di depan umum kalau bukan hari libur. Lalu pandangan matanya berhamburan ke arah lain, dia menangkap banyak orang yang melangkah cepat seolah sedang diburu waktu. Mereka tampak tidak peduli dengan dua orang yang sedang berjalan pelan sambil memandang penuh cinta dan sesekali sang pria mencium kening atau bibir sang wanita.
Tanpa disadari Sabrina, kenangan lima tahun lalu—dimana dia pernah merasakan hal yang sama dengan wanita berambut pirang yang semakin menjauh dari pandangan matanya. Kenangan yang tanpa ampun mendobrak pertahanannya. Lima tahun lamanya setelah perpisahan menyesakkan itu, Sabrina masih tetap memilih sendiri. Mungkin dia akan mendapatkan pujian atau cacian dari mantan kekasihnya jika mantannya itu mengetahui keadaan hatinya yang masih kosong.
“Miss Sabrina,” suara Emily tetangga flatnya yang masih berusia 18 tahun membuyarkan lamunan Sabrina. Flat Emily berada di lantai bawah sedangkan flat Sabrina berada di lantai atas.
Sabrina menoleh datar. Oke, Sabrina memang gadis yang cukup lihai menutupi keterkejutannya. “Emily,” sebutnya sambil memandangi gaya Emily yang eksentrik. Gadis keturunan Prancis dan Italia itu memang memiliki gaya yang eksentrik. Celak gelap di bawah matanya, rambut lurus sempurna yang urakan dan celana yang sobek di banyak tempat.
“Apa Miss Sabrina tahu berapa harga tiket kereta api pulang-balik London-Oxford? Nenekku bilang Anda pernah kuliah di sana?” tanyanya.
Oxford senantiasi membekaskan kenangan di hati Sabrina. Tapi ini bukanlah waktu yang tepat untuk bernostalgia dengan Oxford. Karena tentu saja selain ada Laras yang menunggunya di kantor, saat ini juga ada Emily yang meminta jawaban dari pertanyaannya.
“Aku lupa, tapi sepertinya harga tiket pulang-balik London-Oxford saat ini kisaran 16,5 poundsterling. Sekitar segitu.” jawabnya sedikit ragu.
“Oke, terima kasih Miss Sabirna yang cantik dan baik hati.” ujar Emily melongos pergi tanpa berminat mendengarkan balasan Sabrina. Salah satu hal yang tidak Sabrina sukai dari Inggris adalah, orang-orangnya yang tak seramah di Indonesia. Bahkan Emily untuk tersenyum padanya pun enggan.
Tidak ada yang berbeda dari London semenjak dia datang sebagai perantau setelah lulus dari Oxford, selain melihat baliho seorang aktor Inggris ternama bernama Nicholas Willis yang menjadi ikon sebuah produk jam tangan bermerk. Dia tampak sangat tampan berpose menatap Sabrina dengan tangan yang dilingkari jam tangan mewah keperakan. Sabrina membuang muka setelah terpaku beberapa saat pada baliho yang tampak menjengkelkan di matanya itu.
Sabrina memilih meneruskan langkahnya. Dengan mantap dia pergi menjauhi baliho yang sebenarnya hanya menjual ketampanan sang aktor dibandingkan produknya.
**
Sesampainya di depan kantor, Sabrina berpapasan dengan wanita berambut blonde yang bergelombang menawan. Wanita itu berusia sekitar 35 tahun. Matanya agak sipit, dengan warna kulit seputih s**u. Tas Hermes asli melengkapi kemewahan wanita cantik layaknya seorang aktris itu.
“Ma’af, apa Anda bisa mengantarkan saya ke ruangan Daniel Lee?” pintanya.
Sabrina tidak berminat membantu wanita sosialita di depannya. Akan tetapi, dia merasa tidak enak menolak permintaan wanita itu.
“Ya, mari.” tukas Sabrina dengan senyum ala kadarnya. Wanita itu membalas dengan tersenyum cerah.
Mereka berdua berjalan tanpa berkata apa pun hingga Sabrina dan wanita itu sampai di lift.
“Saya punya janji dengan Daniel Lee pagi ini,” kata wanita itu memulai.
Sabrina hanya tersenyum dan mengangguk satu kali menanggapi pernyataan wanita asing di depannya itu. Sejujurnya dia tidak peduli.
Dahi Sabrina berkerut tebal melihat Laras berada di depan pintu ruangan bosnya. Sepertinya Laras baru saja keluar dari ruangan itu.
“Laras,” ucap Sabrina saat dia sampai di depan Laras.
“Sabrina! Kamu bawa ponselku, kan?” tanya Laras, matanya mencilak penuh harap. Menyadari kalau sabahatnya datang bersama orang asing, tatapan matanya menatap curiga sekaligus heran pada wanita di samping Sabrina.
“Siapa dia, Sab?” tanya Laras dengan bahasa Indonesia. Jelas saja wanita itu tidak mengerti dengan bahasa yang digunakan Sabrina dan Laras, tapi agaknya dia juga tidak peduli. Wanita itu fokus menatap layar ponselnya.
“Tamu Daniel,” jawab Sabrina.
“Ini ruangan Daniel Lee,” kata Sabrina dengan bahasa Inggris.
“Oh ya, Terima kasih.” ucap wanita itu. Laras menepi, memberi jalan pada wanita itu untuk masuk ke dalam ruangan Daniel Lee.
“Tunggu deh, kayaknya aku pernah lihat dia.” kata Laras seolah sedang mengingat-nginga sesuatu.
“Aku ingat!” serunya dengan mata mencilak kagum. “Dia... Anne Anderson, manajer Nicholas Willis, Sab.”
Jantung Sabrina serasa jatuh mendengar nama Nicholas Willis.
**