Canting masih terus menghapus air matanya yang terasa tidak berhenti mengalir, meratapi nasib yang untuk kedua kalinya terasa sangat buruk. Yang pertama adalah dulu saat kedua orang tuanya meninggal, tetapi ia merasa beruntng karena memiliki Pak Somad dan keluarganya yang mau mengasuhnya.
Namun kini keberuntungannya terasa berubah menjadi musibah terbesar memiliki Paman seperti Somad yang tega menjualnya kepada mucikari terkejam seperti Mama Helen.
Beberapa kali di desanya Canting pernah mendengar dari ibu-ibu rekan membatiknya bercerita jika di kota ada seorang mucikari bernama Mama Helen yang sangat kejam, siapapun gadis yang telah masuk ke rumahnya maka harus menjadi budaknya seumur hidup selama dia 'laku'.
Dan kini, Canting berada di sini, di rumah b****l Mama Helen. Sungguh bermimpi seburuk ini pun Canting tidak pernah, tapi tiba-tiba semua ini menjadi nyata, kehancuran dirinya sudah di depan mata.
Nanti malam dirinya akan di lelang seperti barang, siapapun yang membayar mahal maka akan mendapatkan keperawanannya. Sesuatu yang selama ini ia jaga untuk dipersembahkan untuk suaminya kelak akan terenggut paksa, ditukar nilai uang yang ia sendiri tidak akan melihatnya, sungguh kejam.
Tetapi Canting tidak ingin tinggal diam, ia bangkit mencoba membuka pintu, berkali-kali mencoba memutar gagang kunci tapi nihil. Canting berpindah arah mendekati jendela menyingkap tirainya ia mendapati daun jendela bukaan bawah tidak begitu besar tapi ia rasa cukup untuk dilewati tubuh rampingnya hanya saja dilapisi teralis besi. Sekuat tenaga Canting berusaha menarik teralis itu agar terbuka tapi rasanya sia-sia, teralis itu terpasang kuat.
Canting memutar otak, mencoba berfikir bagaimana caranya teralis itu bisa terbuka. Ia menyisir pandangan ke segala penjuru kamar, lalu menuju kamar mandi mencari sesuatu yang bisa ia manfaatkan.
Bibirnya sedikit terkembang melihat paku besar yang sejatinya digunakan untuk pengganti kunci kamar mandi, Canting mengambil paku itu dan menggunakannya untuk mencongkel teralis.
Bukan hal yang mudah melakukannya, sedikit demi sedikit ia mencongkel kayu jendela hingga baut yang menempelkan teralis ke jendela bisa mengendur. Canting melakukannya pada delapan bagian di semua sisi jendela tidak ia pedulikan darah segar yang mulai mengalir dari telapak tangannya, sekuat tenaga ia mencongkel kayu jendela dengan paku agar bisa melepaskan teralis itu.
Hingga beberapa waktu berlalu, beberapa kali Canting meringis merasakan tangannya yang semakin lama semakin terluka, bukan hanya satu tapi kedua tangannya, bahkan kemeja berlengan sesiku yang ia pakai sudah banyak berbercak darah karena ia gunakan untuk mengelap tangannya. Ia juga harus berpacu dengan waktu, ia tidak ingin seseorang datang dan memergoki aksinya.
Canting menghela nafas lega saat teralis itu berhasil ia lepaskan, dengan hati-hati Canting menaruh teralis besi itu di lantai lalu membuka daun jendela dengan hati-hati ia melompat keluar. Berjalan mengendap-endap ke halaman depan.
Ia senang melihat mobil sedan tua Pak Somad masih terparkir di halaman, ia tahu betul jika kunci bagasi mobil Pamannya itu rusak artinya bagasi itu tidak terkunci, dengan cepat ia masuk dan meringkuk di dalam bagasi.
Ia harus pergi dari rumah b****l itu, kemanapun. Mungkin ia akan turun dari mobil Pamannya saat sudah berada jauh dari rumah ini, tidak begitu lama Canting melihat Pak Somad keluar dari rumah itu dengan seorang wanita dalam pelukannya pantas saja Pak Somad lama di rumah itu rupanya ia berkencan dengan seorang anak buah Mama Helen terlebih dulu, Canting mengintip dari celah bagasi dan mendapati Pamannya semakin mendekat, jantungnya terasa seperti hampir meledak ia sangat takut jika Pamannya melihatnya bersembunyi di sana. Canting baru bisa bernafas lega merasakan mobil Pak Somad mulai berjalan perlahan, lalu semakin cepat ketika berada di jalan raya.
Karena merasa terlalu lelah, akhirnya Canting terlelap walau dengan peluh yang meleleh di sekujur tubuhnya.
* Dita Andriyani *
Canting baru terbangun saat merasakan tubuhnya bergoyang-goyang karena mobil yang dikendarai Pak Somad sudah memasuki jalanan rokel menuju desanya. Jantungnya kembali berdebar, ia takut jika harus kembali ke desanya. Tapi melompat dari mobil juga bukan pilihan tepat, ia tidak mau mati sia-sia walaupun tidak lebih buruk daripada harus menjadi p*****r seumur hidup.
Canting mengintip keluar dan melihat kini mereka sudah sampai di halaman rumah Pak Somad, ini malam Jum'at waktunya para pegawai pembuatan batik di desa ini libur, akibatnya jalanan desa terlihat sepi karena orang lebih memilih menghabiskan waktu di rumah masing-masing.
Canting membatalkan niatnya keluar dari bagasi mendengar Pamannya berbicara di samping mobil, sepertinya berbicara dengan seseorang di telepon.
"Iya, Mah. Saya baru sampai rumah," ujar Pak Somad yang bisa Canting dengar lalu hening sesaat.
"Apa? Anak itu kabur?" Canting menutup mulutnya yang terbuka dengan tangannya ia terkejut, rupanya Mama Helen sudah kehilangan dirinya.
"Iya, Mah. Pasti saya cari anak itu dan segera membawa dia kembali ke rumah Mama ... Pasti, Mah ... Saya pasti menemukannya!" pungkas Pak Somad membuat tubuh Canting bergetar ketakutan.
Tidak begitu lama ia mendengar suara Pak Somad yeng menggerutu menuju rumahnya, dengan hati-hati Canting keluar dari bagasi, tanpa sempat merapikan rambut dan pakaiannya Canting segera berlari menuju rumah Pak Lurah.
* Dita Andriyani *
Pak Noto sang kepala desa, Bu Wiwik istrinya dan tentu saja Tirta sang tamu sedang menikmati makan malamnya, Adam tidak ada di rumah karena ini bukan akhir pekan, ia di tempat kostnya di kota.
Mereka terperanjat karena sebuah ketukan keras di pintu depan, hanya ketukan penuh tuntutan agar segera dibuka tanpa suara panggilan. Setelah sesaat saling tatap akhirnya Bu Wiwik bergegas membuka pintu, ia sangat terkejut melihat seorang gadis yang berdiri di hadapannya dengan tatapan ketakutan, rambut dan pakaian berantakan juga wajah belepotan noda darah dari tangannya.
"Titi, kamu kenapa Nduk?" Canting tidak menjawab, malah bertanya.
"Di mana dia, Bu Lurah? Di mana Tirta?" tanya Canting dengan nafas tersengal.
Dengan wajah kebingungan Bu Wiwik menjawab, "ada di dalam."
Tanpa permisi Canting melewati tubuh Bu Wiwik yang berdiri di ambang pintu, lalu berjalan tergopoh mencari Tirta. Tubuh Canting luruh, ia terisak sambil memeluk kaki Tirta yang masih duduk di kursi dekat meja makan. Tirta bertanya lewat gedikan dagu pada Bu Wiwik yang lalu menggelengkan kepalanya.
"Mas ... Tirta ... Aku mohon ... To–tolongin aku ... To–lo–ng bebasin Pak'lekku dari semua hutangnya ...." Canting terbata-bata berbicara dalam isakkannya membuat mereka bertiga semakin kebingungan.
Bu Wiwik meraih tubuh Canting menbantunya bangun dan mendudukkannya di kursi tepat di hadapan Tirta.
"Kamu kenapa? Kenapa minta saya untuk membebaskan Pak Somad dari semua hutangnya?" tanya Tirta setelah Canting menenguk habis segelas air putih yang Bu Wiwik berikan.
"Karena Pak'lek yang terpaksa berhutang pada Anda akhirnya keluarga mereka hampir hancur berantakan." jawab Canting tanpa berani menatap wajah Tirta, ia terus menundukkan kepalanya.
"Nduk, ada sesuatu yang harus kamu ketahui. Pak Somad itu tidak pernah terpaksa berhutang, tapi dia itu korupsi dana paguyuban, dia itu sudah merugikan semua pengusaha batik di desa ini juga merugikan perusahaan Mas Tirta," terang Pak Noto, mata Canting membola mendengarnya.
"Jadi Pak'lek bukan berhutang karena harus keluar uang banyak buat ngurusin aku sejak kecil?" tanya Canting polos.
"Ya bukan! Kalau cuma untuk biaya hiduo kamu, dia tidak akan memerlukan uang sebanyak itu!" jawab Pak Noto.
"Berarti Pak'lek bohongin aku?" gumam Canting.
"Dia bukan cuma bohongin kamu, tapi juga bohongin kita semua, dia udah melakukan tindakan kriminal dan dia harus bayar ganti rugi pada kami semua." Pak Noto terlihat geram saat menceritakannya, sedangkan Tirta hanya diam mengamati juga memperhatikan wajah Canting yang tetap terlihat manis walau berantakan seperti ini.
"Sekarang kamu cerita sama kita, kenapa tiba-tiba kamu minta Mas Tirta bebasin Pak Somad dari hutangnya? Dan kenapa kamu bisa berantakan dan berdarah-darah seperti ini?" tanya Pak Noto lagi.
"Aku ... Aku ...." Canting terlihat ragu dan takut menceritakannya.
"Udah, cerita aja, Nduk. Enggak apa-apa." Bu Wiwik yang duduk di sampingnya mengelus hangat pundaknya.
"Aku dibawa Pak'lek ke kota, ke rumah Mama Helen dan ditinggal di sana. Biar Pak'lek dapet duit buat bayar hutangnya," lirih Canting berucap, air matanya kembali berlinang.
"Bener-bener keterlaluan si Somad!" Pak Noto terlihat sangat emosi sampai menggebrak meja makan yang terbuat dari kayu.
Tirta sedikit terkejut karenanya, Canting sudah berada dalam pelukan Bu Wiwik dan menangis semakin pilu.
"Pak Somad menjual Canting pada mucikari di kota, Mas!" Melihat wajah Tirta yang penuh tanda tanya Pak Noto menjelaskan.
Mereka terdiam cukup lama, larut dalam fikiran masing-masing. Lalu Tirta mengajak Pak Noto menjauh untuk berbicara berdua beberapa saat.
Mereka berdua mendekat pada Canting yang masih terisak dalam pelukan Bu Wiwik.
"Ayo Canting kamu ikut kami, kita selesaikan masalah ini." Ujar Tirta.