Prolog

1471 Kata
Allana terikat tidak berdaya. Ia ingin berontak tapi orang-orang itu sejak tadi memberinya semacam obat yang membuatnya menjadi lemah. Bahkan ia harus bersusah payah mempertahankan kesadarannya. "Cantik bukan? Ini pesanan khusus. Seorang nona kaya raya yang dalam semalam berubah menjadi barang kelas atas dengan nilai jual tinggi." Jerome menatap lapar kearah gadis yang matanya ditutup dan terikat di dalam kerangkeng besar. Rekan Jerome yang bernama Rico, menatap lekat gadis itu kemudian menghisap rokoknya dalam-dalam dan tertawa. "Dia pasti tidak pernah menyangka akan berakhir di tangan kita. Kubayangkan sebelum ini, dia hanya seorang gadis kaya yang hobi belanja dan menghabiskan uang keluarganya," ucap Rico. Jerome ikut tertawa. "Salah besar. Dia bukan tipe seperti itu. Dia pintar, dia adalah calon pianis berbakat dan juga wakil representatif untuk ikatan mahasiswa asing di London. Sayang sekali, mulai sekarang otaknya tidak akan berguna lagi, kalau dia pintar menggunakan tubuhnya dan membuat klien kita puas, dia mungkin bisa tetap menjadi simpanan. Jika tidak, dia mungkin akan kembali pada kita. Dan saat itu tiba, akan kupastikan untuk mencicipinya," ucap Jerome dengan pandangan mata licik. Rico menatap gadis di dalam kurungan itu. Seulas senyum tipis menghiasi wajah sangarnya. "Tampaknya kau takut pada klien yang memesan pesanan khusus ini. Memangnya dia siapa?" tanya Rico. Jerome terdiam. Wajahnya mendadak berubah serius. "Pernah mendengar Abimanyu Grup?" Ia malah balik bertanya pada rekannya itu. Rico berhenti menghisap rokoknya. "Maksudmu, pria yang selama ini di isukan sebagai pengendali situasi politik di negara kita? Pebisnis handal yang diduga memiliki jaringan bawah tanah terorganisir dan berkaitan erat dengan beberapa pejabat berpengaruh di negara kita?" tanya Rico. Jerome mengangguk. "Dia kuat. Dia satu-satunya orang di negara ini yang hidup di dua sisi sekaligus dan memiliki dua wajah. Aku tidak terkejut kalau presiden saja memperhitungkan apa yang ia katakan. Kalau kau ingin bertahan dalam bisnis gelap sepertiku, jangan pernah menyentuh milik Abimanyu." Ucap Jerome serius. Rico menghembuskan rokoknya kuat-kuat. "Gadis malang.....entah dia beruntung atau malah sial menjadi pesanan khusus orang semengerikan itu. Biar kutebak, jika kau bilang dia bukan berasal dari keluarga biasa, berarti pemesannya mungkin berada di balik kejatuhan keluarganya," ucap Rico. Jerome tertawa keras. "Aku tidak tahu tentang hal itu. Yang kutahu, aku hanya melaksanakan tugasku. Ayahnya melakukan segalanya untuk menyelamatkan perusahaan mereka yang hampir bangkrut, dia bahkan tanpa sadar menggadaikan masa depan putrinya sendiri. Saat ia tidak mampu membayar, aku mengambil apa yang tersisa yang belum disita oleh bank. Siapa sangka, dihari aku menjemput 'produk baru' milikku, telepon berdering dan itu dari sekretaris utama Abimanyu Grup," ujar Jerome. Rico bangkit berdiri dan memandangi gadis yang ada di dalam kerangkeng itu. "Berapa harga pesanan khusus ini?" tanyanya. Dia mulai sedikit tertarik dengan gadis itu. Kulit putihnya yang tersingkap di balik baju kurang bahan yang mereka pakaikan membuat darahnya sebagai laki-laki normal diam-diam mulai berdesir penuh gairah, meski ia mengendalikannya dengan baik. Jerome tersenyum. "Harganya sama dengan seluruh gadis yang akan dipamerkan malam ini." Rico tersentak. "Gila! Dia memang cantik, tapi menghabiskan uang sebanyak itu hanya untuk seorang gadis disaat dia bisa mendapatkan seluruh gadis disini...." Ia tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Benarkah gadis dalam kerangkeng di hadapannya ini memang layak dihargai semahal itu? Jerome masih tertawa. "Orang kaya terkadang gila, terutama pada sesuatu yang sangat ingin mereka miliki." Kali ini Jerome melangkah pelan mendekati kerangkeng itu. "Dia penurut karena pengaruh obat, tanpa itu sangat sulit mengendalikan gadis pemberontak ini. Kuharap klien khusus kita bisa segera mengembalikannya kepadaku, aku akan dengan senang hati melatihnya." Jerome mengulurkan tangannya hendak menyentuh bibir Allana. "Pak, klien khusus kita sudah datang." Tangannya terhenti di udara. Ia mengurungkan niatnya. Jerome tersenyum. "Dia datang sendiri? Atau utusannya yang datang?" tanya Jerome. "Kenapa? Kau sangat ingin bertemu denganku?" Sebuah suara yang dingin dan tajam terdengar dari belakang tirai bersama dengan langkah kaki beberapa orang. Jerome melangkah menjauh dari tempat gadis itu dikurung. "Maafkan kekasaran saya Tuan Mahesa, saya tidak tahu anda datang langsung," ucap Jerome dengan keringat yang membasahi dahinya. Bahkan bos-nya yang berada di luar negeri sangat segan saat mendengar nama Mahesa Abimanyu, apalagi dirinya? "Menjauh darinya. Jangan sampai tanganmu yang kotor mengotorinya, karena kalau dia sampai menjadi kotor, aku akan menggunakan darah kalian di tempat ini untuk memandikannya sampai dia benar-benar bersih," ucap Mahesa dingin, tatapannya tertuju ke arah Rico yang masih mematung di tempatnya. Rico masih tidak bergerak sampai Jerome menariknya menjauh. "Kau tuli bro?!" tegurnya kesal pada rekannya itu. "Maafkan saya pak," ucap Rico santai. Ia tahu kalau Mahesa memang seorang yang berkuasa, tapi ia sama sekali tidak memiliki urusan dengan Mahesa Abimanyu. Kehadirannya di tempat ini murni hanya sebuah kebetulan karena ia memiliki urusan bisnis dengan Jerome dan juga karena ia berteman dekat dengan Jerome yang mengelola tempat ini. Sama seperti tamu lain yang mengunjungi tempat itu. Mahesa Abimanyu juga mengenakan topeng untuk menutupi sebagian wajahnya. Tapi aura yang dipancarkannya tetap saja terasa mengerikan hingga membuat seluruh ruangan itu seakan bisa membeku hanya dengan satu gerakan tangannya. Sekretaris Mahesa melangkah ke arah Jerome dan menyerahkan tiga koper berukuran sedang. "Sesuai kesepakatan. Tunai. Tidak kurang, tidak lebih," ucap Mahesa. Jerome tampak berseri-seri menerima ketiga koper itu dan membukanya. Mahesa duduk di atas sofa. Ia memandangi gadis dalam kerangkeng besar itu, dahinya sedikit berkerut saat mendapati ada yang tidak beres dengan gadis itu. "Keluarkan dia," perintahnya tegas. Jerome dengan cepat menginstruksikan orang-orangnya untuk mengeluarkan gadis yang sebenarnya bernama Allana Windardi itu dan membuka penutup matanya. Mahesa mengamati wajah dan tatapan Allana yang sayu. Gadis itu tampak linglung dan tidak fokus. "Kau memberinya obat?" tanya Mahesa. "Uhm...yeah, anda tahu...dia tidak mudah di atasi. Tapi aku berani jamin, dia bersih, tidak ada seorangpun yang menyentuhnya." Jerome tergagap. Ia melirik pria yang sejak tadi berdiri di samping Mahesa Abimanyu. Semua orang yang berkecimpung di bisnis gelap sepertinya tidak ada yang tidak tahu siapa sebenarnya pria itu. Dia bukan sekedar sekretaris dari seorang Mahesa Abimanyu. Tatapan Mahesa turun ke tangan Allana dan menemukan sebuah goresan di dekat nadinya. Ia menatapnya lama. Jerome tampak sedikit panik. "Dia berusaha bunuh diri tuan, itu bukan karena kami," ucap Jerome. Mahesa tersenyum miring. "Bunuh diri? Itu hanya untuk orang-orang terhormat atau orang-orang bodoh....kau bukan tipe keduanya," ucapnya sambil menyentuh dagu Allana dan memaksa gadis itu menengadah menatapnya. Allana mengerjap menatap pria bertopeng di depannya. Sosok itu sama sekali asing baginya. "Kumohon.....biarkan....aku pulang," ucapnya lemah. Mahesa membuka jasnya, memakaikannya pada Allana, menutupi sebagian besar tubuhnya yang terekspos sejak tadi. "Kita pulang," bisiknya sebelum akhirnya menggendong Allana dan melangkah keluar dari tempat itu. Sekretaris Mahesa, Jedy tetap tinggal di tempat itu. "Jerome, kau tahu kan jika sampai tuan menemukan kejanggalan di tubuh gadis itu. Kau jangan pernah bermimpi untuk bisa meneruskan usahamu di negara ini, bahkan di negara lain sekalipun," ucap Jedy penuh ancaman. Jerome mengangguk. Ia sejujurnya masih kaget dengan pemandangan yang baru dilihatnya dan tampaknya Rico juga sama. Cara Mahesa Abimanyu memperlakukan gadis itu membuat mereka sadar kalau gadis itu benar-benar istimewa, untung saja ia menahan dirinya untuk tidak menyentuh gadis itu sama sekali. "Selain itu, hapus semua data yang menunjukkan kalau keluarganya pernah terlibat hutang dengan sindikatmu. Utang keluarganya akan dibayar lunas. Kau dan sindikatmu tidak pernah ada urusan dengan keluarga Windardi. Dan hari ini tidak pernah ada." Jedy melanjutkan. "Aku mengerti." Ucap Jerome. Jedy melangkah mendekati Jerome dan Rico. Pria itu melepas kacamata minusnya, membuat visualnya terlihat berbeda dari sebelumnya. "Kalian tahu kan, apa akibatnya jika di kemudian hari, kalian bertindak berbeda dengan kesepakatan kita hari ini? " tanya Jedy. Jerome tampak bergidik ngeri. Sementara Rico tersenyum sinis. "Tenang saja, kami tidak terlalu bodoh untuk melawan Abimanyu Grup hahaha." Ucapnya sambil tertawa. Tatapan Jedy beralih ke Rico. Pria itu mengangkat tangannya tanda menyerah. "Hey, aku hanya kebetulan berada disini, ini bukan urusanku sama sekali." Dorr... Sebuah suara tembakkan terdengar, membuat Jerome dan orang-orang di ruangan itu terpana. Tubuh Rico kini berlutut di hadapan Jedi dengan gemetar sambil memegangi tangannya. Peluru itu mengenai rokok di tangannya, membuat tangannya berdarah sebelum akhirnya menembus lukisan di belakangnya Selanjutnya pistol itu telah terarah ke kepala Jerome. "Oh...aku meleset. Bukankah kau sudah diperingatkan untuk bersikap hati-hati ? Tuan tidak suka dengan kehadiran orang asing saat tengah berbisnis" ucap Jedy dingin. Siapapun di tempat itu tahu kalau Jedy tidaklah meleset seperti yang ia katakan. "Tuan!" Anak buah Jerome mengarahkan pistol ke arah Jedy. "Turunkan senjata kalian orang-orang bodoh!" teriak Jerome panik. Sekalipun mereka membunuh Jedy di tempat ini, siapa yang bisa menjamin kalau ia bisa lolos dari Grup Abimanyu? "Aku minta maaf. Kumohon sampaikan permintaan maafku pada bos... Maksudku tuan Mahesa. Ini murni kesalahanku. Orang ini seharusnya hanya partner kerja dan teman lama. Dia seharusnya tidak datang hari ini tapi ini tidak disengaja. Ini tidak akan pernah terjadi lagi," ucap Jerome dengan tubuh gemetar ketakutan. Jedy menarik kembali pistolnya. "Pastikan kau memegang kata-katamu." ucap Jedy sambil mengenakan kembali kacamatanya dan melangkah keluar. Saat ia menengok ke arah Rico, dilihatnya cairan berbau pesing kini membasahi lantai dan juga celana yang dikenakan oleh temannya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN