Part 1. Kebencian Sila

1785 Kata
Aku tidak menyangka akan kembali menjejakkan kakiku di kota ini. Kota Jakarta. Kota yang sudah lima tahun ini kutinggalkan bersama sekeping hatiku. Aku mengambil nafas panjang. Menguatkan kakiku untuk melangkah kembali dengan satu koper di tanganku. Nafasku kembali tercekat ketika kilasan-kilasan kejadian lima tahun lalu berputar di otakku. Alvaro Mahesa Permana, aku merindukanmu. " Sila ...!!" aku mengedarkan pandanganku. Mencari seseorang yang memanggil namaku. " Dokter Faisila Anugrah Raharjo ... " kupicingkan mataku melihat seorang perempuan cantik dengan busaha syar'i meneriakkan nama lengkapku. Aku hampir tidak mempercayai penglihatanku sendiri. Shamila, yang lima tahun lalu suka memakai rok mini, dan mengecat rambutnya, hingga beberapa kali dipanggil ke ruang BP, sekarang berubah total. Sungguh perubahan yang patut kuacungi jempol. Kugelengkan kepalaku. Aku masih sulit mempercayainya. Sahabat baikku ... ada di depan mata. Aku melangkah cepat dengan senyum mengembang. Sementara itu Mila sudah melebarkan kedua tangan di tempatnya berdiri. Melangkah lebih cepat, segera kupeluk sahabat baikku--begitu aku tida di depannya. Sahabat yang selalu ada di sampingku, bukan hanya ketika aku bahagia, tetapi juga disaat-saat terkelamku. Saat aku kehilangan hatiku, juga saat aku kehilangan Mamaku. Tak terasa air mata sudah bergulir turun ke pipiku. Bahkan aku juga bisa mendengar isak tangis sahabatku. " Akhirnya aku bisa bertemu lagi denganmu, Sil. Lima tahun Sila ... " ucap Mila di sela isakannya. Aku mengangguk di bahunya. " Iya Mil ... lima tahun, dan aku masih merindukannya." Kulepaskan pelukan kami.  " Kupikir aku bisa mengenyahkannya dari hidupku saat kami berjarak ratusan kilo meter." Mila menatapku sedih. Kuusap air mata yang masih mengalir. Dad*ku kembali terasa sesak. " Ternyata aku salah. Jarak tidak mampu menghilangkan bayangannya sedikit pun dari otakku ... dari hatiku, Mil. Dia selalu ada. Semua kata-kata yang pernah ia ucapkan selalu terngiang di telingaku." Mila meraih tubuhku, dan kembali memelukku. Di belakangku, tangan Mila bergerak naik turun--mengusap punggungku. " Apa kamu sudah siap menemuinya sekarang? Dia pasti juga merindukanmu," ujar Mila sembari kembali menatapku dengan mata yang memerah. Air mataku kembali menetes, dan kali ini lebih deras. Isak tak lagi mampu aku tahan. Aku tahu ... dia pasti juga merindukanku. Mahesa ku. Aku sangat merindukannya. " Iya Mil ... aku sudah siap menemuinya." " Mau aku antar ?" Kugelengkan kepala menanggapi tawaran sahabatku.  " Tidak. Aku ingin menemuinya sendiri. Banyak yang ingin kuceritakan padanya. Apa saja yang kualami selama lima tahun ini." Mila melepaskan rengkuhan lengannya di pinggangku. Aku melakukan hal yang sama. Tangan Mila terangkat--menghapus air mataku yang masih menetes.  " Kalau begitu ayo ... aku antar ke tempat Hesa," Ajak Mila yang kemudian kuangguki. Kami berjalan ke luar bandara. Mila menghelaku ke parkiran. Ia tersenyum. Kuikuti arah pandangan sahabatku. Ternyata ia tidak sendiri datang menjemputku. Calon suaminya ikut serta. Aku sungguh kagum dengan perubahan yang terjadi pada sahabatku. Mila bermetamorfosa dari seekor ulat menjadi kupu-kupu yang sangat cantik. Ia yang sekarang adalah sosok muslimah taat. " Ayo ... aku kenalin sama mas Alif. Calon suamiku," kata Mila dengan senyum merekah cantik. Aku ikut tersenyum. Merasa bahagia dengan kebahagiaan temanku. Setibanya kami di depan pria tinggi dengan kumis dan jambang tipis itu, Mila langsung memperkenalkan kami.  " Ini sahabat yang aku ceritakan itu, Mas. Dokter Faisila Anugrah Raharjo. Panggil aja Sila," kata Mila saat dengan bangga mengenalkanku dengan calon suaminya. Aku segera menarik kembali tangan yang hampir terulur, ketika kulihat Mas Alif hanya mengatupkan telapak tanggannya di depan d**a. Aku menunduk malu.  " Tolong antar kami ke daerah Halim ya Mas," kata Mila. Mas Alif langsung mengangguk dan mempersilahkanku memasuki mobilnya. Sementara ia sendiri membuka pintu mobil untuk calon istrinya. Benar-benar laki-laki baik. Aku ingat kata-kata ' jodoh kita adalah cerminan diri kita" dan aku menyetujuinya. Saat mobil mulai melaju, aku mengingat sesuatu. " Mil ..." Mila yang duduk di depan menoleh ke belakang. Menatapku bertanya. " Ada apa ?" " Bisa antar ke sekolah kita saja?" Mila terlihat mengernyit saat mendengar permintaanku. " Ada yang ingin kulakukan di sana, sebelum aku menemui Hesa." " Oh ... ya udah ... aku temenin, deh. Nggak apa-apa kan, Mas?" Mas Alif menoleh sejenak ke arah Mila untuk mengangguk dan tersenyum. Lalu Mila menyebutkan alamat sekolah kami. Empat puluh menit perjalanan, akhirnya mobil berhenti di depan sekolah kami--dulu. Mila sudah bersiap turun ketika kusentuh pundaknya--pelan.  " Kamu pulang aja. Terima kasih sudah menjemput, dan mengantarku sampai di sini." " Tapi Sil ... " " Beneran kamu pulang aja. Kasih aku waktu sendiri hari ini." Aku menatap sahabatku. Mencoba meyakinkannya.  " Besok aku ke rumahmu. Kita bisa cerita sampai pagi." Kutatap dia penuh permohonan hingga akhirnya kepala itu mengangguk. " Trus ... nanti ke tempat Hesa gimana?" tanya sahabatku khawatir. Aku tersenyum. " Aku bisa naik ojek online." Kuangkat ponselku ke arahnya. Akhirnya dia tertawa. " Oh iya ... aku lupa kalau sekarang sudah jamannya ojek online." Kuucapkan terima kasih pada mas Alif sebelum membuka pintu dan turun dari mobil rush miliknya. Tangan kiri ku mencangklong tas, sementara tangan kananku menarik koper. Kupandang mobil yang telah mengantarku hingga menghilang. Kuhela nafas panjang berkali-kali untuk menormalkan debar jantungku. Di sini. Di bangunan sekolah inilah aku bertemu sosok yang luar biasa. Sosok yang dari luar terlihat menyebalkan, namun ternyata memiliki sisi lain yang pada akhirnya membuatku jatuh cinta. Kuhela kakiku memasuki area sekolah. Setiap sudut memiliki kenangannya masing-masing. Namun, ada satu tempat yang tidak akan pernah terlupakan. Tempat yang paling banyak memiliki kenangan. Bagiku, dan Hesa ku. Kuhentikan langkahku di depan lapangan basket. Di bawah pohon beringin tua. Semuanya masih terlihat sama. Aku tersenyum ketika melihat wajah-wajah yang masih sangat ku kenal--berkeliaran. LIMA TAHUN LALU " Hesa tunggu!!" aku mengejar si jangkung--culun, berkaca mata tebal. Anak baru di kelas III IPA yang sangat kubenci, tapi sayangnya menjadi kebanggaan para guru karena isi otaknya yang di atas rata-rata. Sialnya lagi, wali kelasku bahkan menugaskan Hesa untuk mengajariku Matematika dan Fisika. Dua mata pelajaran yang tidak pernah berhasil kudapatkan nilai lebih dari tiga. Demi apa coba. Aku benci pelajaran-pelajaran itu. Hanya demi Mama aku sekarang ada di kelas itu.  " Heh culun!! kalau lo masih nggak mau berhenti, gue lempar pakai sepatu!!" Aku sudah melepaskan sebelah sepatu, dan siap melemparkannya, sebelum cowok itu berhenti dan kemudian berbalik. Aku tersenyum senang. Kurasa aku sudah menang dengan ancamanku. Namun ternyata, Hesa hanya memandangku dari atas sampai bawah, lalu kembali berbalik dan berjalan pergi. Apa-apaan itu anak. Aku benar-benar kesal dibuatnya. Dia pikir aku main-main dengan ancamanku? Aku tersenyum. Kuangkat tangan kanan yang sudah memegang sebelah sepatuku, dan siap membidiknya. Satu, dua, tiga ... " PLAK" Aku berjingkrak senang. Bidikanku tepat sasaran. Sepatuku mengenai punggung cowok menyebalkan itu. Kupasang senyum lebar ketika dia kembali berbalik. Dia kembali menatapku, lalu merunduk untuk mengambil sepatuku yang baru saja mengenai punggungnya. Hesa mengacungkan sepatu itu ke arahku. " Sudah nggak kepake, kan ?" tanyanya dengan muka datar. Aku hanya bisa mengerjapkan mataku, sebelum apa yang dilakukan cowok itu membuatku berteriak kencang. Dia melempar sepatuku ke atap sekolah. " Lo gila ya!!" aku berlari menerjangnya dengan berjingkat karena sebelah kakiku tidak memakai sepatu. Kupukul-pukul tubuhnya. Sekeras yang aku bisa. d**a, lengan--aku tidak peduli yang mana saja bagian tubuhnya yang bisa kupukul. " Ambilin nggak!! ... ambilin !!!" " Ambil sendiri." Dia mendorongku, berbalik badan, lalu pergi begitu saja. Rasanya aku ingin sekali menangis saat ini. Aku mengedarkan pandanganku, mereka ... teman-temanku hanya melihatku, bahkan ada yang malah menertawaiku. Aku harus bagaimana. " Arrrrgghhh" *** Seharian itu aku terus mengumpati Hesa. Gara-gara dia aku harus kembali menghadap Bu Nur. Guru BP, guru tersadis yang aku kenal di sekolah ini. Bahkan lebih sadis dari pak Barjo--Kepala Sekolah kami. Aku mengelap keringat yang mengembun di pelipisku dengan sebelah lengan. Tanganku yang lain masih sibuk menggosok kloset kamar mandi guru. Hukuman yang diberikan Bu Nur saat aku ketahuan memecahkan genting kelas III IPS, tempat Hesa melempar sepatuku. Aku sudah berusaha berhati-hati saat menggunakan galah yang kupinjam dari penjaga sekolah. Namun dasar sial, ketika aku berhasil menggait sepatuku, tidak hanya sepatuku yang jatuh, tapi juga dua buah genting yang ikut merosot, dan akhirnya ikut jatuh. Pecah berhamburan. Menjadi bukti nyata tindakanku. " Dasar Hesa culun ... awas saja nanti. Aku injak-injak kakinya," makiku sambil menyiram kloset. " Ayo cepat selesaikan Sil ... masih ada satu toilet lagi yang harus kamu bersihkan." Tubuhku langsung lemas ketika mendengar suara Bu Nur dari balik pintu. " Kamu tidur Sila?" Teriak bu Nur lagi. Karena kesal, kubiarkan saja bu Nur terus teriak-teriak. Biar sampai tenggorokannya sakit. Aku cekikikan di dalam toilet. " Kalau tidak menjawab, tambah toilet siswa putra!" Bu Nur mengeluarkan ancamannya. Aku mengumpat dalam hati. " Jangan Bu! ... ini sudah selesai kok." Aku segera melesat membuka pintu, memasang senyum manis di depan Bu Nur. " Sudah bersih bu ... silahkan diperiksa." Kupersilahkan Bu Nur masuk, layaknya seorang dayang mempersilahkan sang putri raja. Bu Nur melirikku sebentar, sebelum masuk untuk melihat hasil kerjaku. Aku menghembuskan nafas lega. *** Setelah menyelesaikan hukumanku, Bu Nur membawaku kembali ke kelas. " Kamu itu cewek Sila. Cewek itu yang feminim. Lemah lembut. Jangan bandel seperti anak cowok. Sebentar lagi kamu ujian, lho. Nyari tempat kuliah nggak gampang. Belajar yang benar. Contoh itu Hesa. Anak baru tapi nggak pernah bikin masalah. Sudah untung wali kelas kamu minta dia mentoring kamu Matematika dan Fisika. Manfaatkan kesempatan itu dengan baik. Mumpung gratis. Kasihan Mama kamu kalau masih harus bayar les tambahan buat kamu." Ceramah panjang Bu Nur selama perjalanan ke ruang kelasku hanya seperti angin lalu buatku. Masuk telinga kanan, lalu keluar dari telinga kiri. Apalagi saat mendengar nama cowok yang membuatku berakhir di toilet. Aku terkekeh dalam hati. *** Aku masuk ke kelas, setelah Bu Nur bicara dengan guru kimia yang sedang mengajar. Aku sengaja berjalan melewati tempat duduk Hesa. Kutendang kakinya saat aku melewatinya. Dia meringis lalu memegang kakinya, sementara aku tersenyum puas. " Udah ... cepet duduk." Shamila, sahabatku segera menarik tanganku agar aku duduk. Selama pelajaran kimia, mataku tidak lepas dari punggung cowok yang paling kubenci. Ya ... Hesa duduk selang satu meja di depanku hingga aku hanya bisa memandang punggungnya yang fokus memperhatikan guru di depan kelas. Ingin rasanya aku mencabik-cabik kepalanya. Mengeluarkan otaknya, dan menggantinya dengan otakku. Aku terkekeh pelan saat membayangkannya. " Sila ... kamu kerjakan soal nomor tiga." Mati aku ... batinku, begitu suara bu Aisyah terdengar. Memang tadi dia mengajarkan apa? Aku saja tidak paham. Aku menoleh ke samping, berharap Mila bisa membantuku. Namun otak Mila yang sama ceteknya seperti otakku, hanya membuat gadis itu meringis sambil menggelang. Kudorong pelan bahu Imam yang duduk di depanku, meminta contekan. Namun cowok itu malah berbisik " Aku juga nggak paham." Mampus kalau begini caranya. Mau ditaruh di mana mukaku kalau harus meminta contekan pada cowok culun yang baru saja kutendang kakinya. " Ayo Sila ... maju nomor tiga." suara Bu Aisyah bak ketukan palu di pengadilan saat menjatuhkan hukuman pada terdakwa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN