Part 3. Sisi lain Mahesa

1555 Kata
Sudah satu bulan ini hari-hariku penuh dengan belajar, dan belajar. Hampir setiap hari ada pelajaran tambahan. Jika tidak ada pelajaran tambahan, maka aku harus duduk di bawah pohon beringin di depan lapangan basket, untuk mendengarkan pidato panjang lebar si culun. Seperti hari ini. Si menyebalkan Hesa baru saja memberiku pidato sepanjang rel kereta Semarang - Jakarta tentang geometri bidang datar, dan geometri bidang ruang. Aku hanya mengangguk-angguk, berharap pidatonya segera berakhir, lalu aku bisa pulang. Tapi aku salah, setelah dia berpidato panjang lebar, dia mengambil buku tulisku dan memberiku 10 soal, tanpa rasa sungkan karena sudah menyita waktu pulangku. Dengan wajah datar, pria menyebalkan itu menatapku. “ Ini ... kerjakan sekarang. Kalau sudah bisa benar semuanya, besok kita lanjut materi lain,“ katanya sambil mengembalikan buku tulisku. Aku menatapnya tajam, menunjukkan kekesalanku. “ Sudah sore … aku kerjakan di rumah saja.“ Aku sudah membuka tas untuk memasukkan buku catatanku, sebelum suaranya kembali terdengar. “ Se-ka-rang Sila ….” Katanya dengan mata menghunusku. Setelah itu, dia langsung melepaskan baju seragamnya. Dia memang selalu memakai kaos di balik baju seragam. Tapi, ini pertama kalinya aku melihat si culun tanpa baju seragam. Kaos hitam dengan gambar grup rock legendaris Guns and Roses. Aku menatapnya tak percaya. Ternyata si culun mengenal musik cadas … batinku. Cowok itu juga melepaskan kaca mata tebal yang selalu menutupi bola matanya, dan kali ini aku terperangah ketika dia menatapku. Bola matanya berwarna Hazel. Dia terlihat berbeda tanpa kaca mata tebalnya. Aku bahkan hanya sanggup mengedipkan kedua kelopak mataku, sembari menatap penampakan berbeda seorang Alvaro Mahesa Permana. Cowok yang aku nobatkan menjadi cowok terculun seantero sekolah. “ Nitip dulu, ya.“ Hesa meletakkan baju seragam, dan kaca matanya di atas tas yang tergeletak di sampingku. Aku hanya mengangguk lemah, tanpa mengalihkan tatapan kagumku pada cowok itu. Hesa lalu berlari ke arah lapangan basket. Aku masih memperhatikan cowok itu bahkan sampai ketika ia mulai men-drible bola, dan memasukkan bola tersebut ke dalam ring dengan mudah. Berulang kali bola masuk dengan mulus. Tingginya yang menjulang, mungkin sekitar 180 cm mempermudah Hesa mengarahkan bola dengan tepat ke dalam ring. Ketika dia menoleh ke arahku, aku buru-buru menunduk, berpura-pura mengerjakan soal yang diberikannya. Namun, setelah aku mendengar suara bola memantul, aku kembali mengangkat wajah. Lebih menarik melihat gerakannya di lapangan basket, di banding sepuluh soal matematika yang ada di depanku. Hampir satu jam, dan aku baru sanggup menyelesaikan dua soal. Aku mendesah, tidak bisa fokus mengerjakan saat melihat Hesa melempar bola basket terasa lebih menyenangkan. Aku memukul kepala ku sendiri. Si culun itu musuhku … musuh. Jangan sampai suka sama dia, aku mengingatkan diriku sendiri. Berkali-kali kugelengkan kepalaku ketika keinginan menatap ke arah lapangan basket di mana Hesa sedang memainkan bola begitu besar. Aku harus kembali fokus. Kembali kutekuri soal di buku tulisku. Sambil sesekali kembali membaca buku paket, karena jujur saja, pidato Hesa yang sudah sepanjang rel kereta Semarang - Jakarta itu mungkin hanya 25 persen yang masuk ke dalam otakku, sedangkan sisa 75 persen lagi masuk telinga kanan, lalu kelaur dari telinga kiri. Seenggan itu aku belajar Matematika. k****a dengan teliti baris demi baris yang tertulis dalam buku paket di hadapabku. Meskipun memakan waktu, akhirnya aku bisa menyelesaikannya juga. Urusan benar, atau salah itu masalah belakangan. Yang penting, 10 soal sudah terisi jawaban sesuai pemahamanku. “Gampang kan, kalau mau belajar ?” Aku segera mendongak ketika terdengar suara Hesa di dekatku. Mataku mengerjap berkali-kali. Mulutku tertutup rapat, tidak bisa mengeluarkan umpatan-umpatan yang biasanya kuberikan pada cowok di depanku. Dengan penampilan seperti ini, aku tidak bisa memanggilnya si culun lagi. Tubuh yang tidak kekar itu ternyata berotot. Hesa sudah menggulung lengan kaosnya hingga ke pangkal bahu, sehingga aku bisa melihat otot bisep cowok itu. Keringat membasahi tubuhnya. Rambut yang biasa ia sisir rapi kebelakang dengan pomade sudah berantakan. Bulir keringat di wajah cowok itu justru menambah kesan jantan di mataku. Mata berwarna hazel itu membiusku. Kusentuh dadaku ketika merasakan debar yang terlalu cepat. “ Kamu kenapa ? sakit ?” Hesa menunduk untuk memperhatikan wajahku. Aku mengerjap, lalu secepatnya menggeleng. Mataku masih awas mengamati penampakan si culun yang berubah menjadi si … keren ? Aku mengernyit sendiri ketika kata-kata keren tiba-tiba saja terlintas di otakku. Hesa melepaskan kaos yang sudah basah oleh keringat di depanku, membuat kedua mataku membola. “ Ih … apaan sih, Sa .. main lepas baju di depan cewek,“ keluhku, sambil melempar wajah ke arah lain. terlalu malu untuk melihat tubuh atas cowok itu yang polos tanpa selembar kain. Kurasakan panas mulai menjalar ke wajahku. Dari ekor mata, kulirik cowok itu, dan aku hanya bisa menggelengkan kepala. Dia tidak mengindahkanku. Cowok itu menggunakan kaos basah yang sudah ia lepaskan, untuk mengelap tubuhnya, kemudian kembali mengenakan baju seragamnya. “ Sudah … ayo pulang.“ Hesa langsung mengambil kaca mata dan mengenakannya kembali. Menyambar tas, memasukkan kaos basahnya begitu saja ke dalam tasnya. “ Jorok amat sih lo.“ Aku beranjak setelah memasukkan buku-bukuku ke dalam tas. Satu lagi yang baru aku sadari hari ini tentang si mantan culun. Di tasnya hanya ada satu buku tulis. Padahal hari ini ada tiga materi pelajaran. Cowok itu memang aneh. Semakin lama aku mengenalnya, semakin aku menemukan keanehan-keanehan pada dirinya. “ Ayo cepetan … mau ku tinggal di sini ?” Hesa sudah melangkah pergi saat mengatakan itu. Aku hanya mampu mencebik, lalu buru-buru melangkah di belakangnya. Cowok itu tidak mau susah-susah menungguku. Hesa berbelok ke arah parkiran tanpa menoleh sedikitpun, sedangkan aku berjalan lurus ke luar sekolah. Kuhela nafas kasar, aku masih harus berjalan ke jalan raya untuk menunggu bus yang akan membawaku pulang ke rumah. Dengan langkah gontai, kupaksakan kedua kakiku yang sudah lelah untuk terus melangkah. Aku sudah merindukan rumahku. Mandi, makan, dan tidur.  Begitu tiba di tempatku biasa menunggu jemputan umum, kutolehkan kepala ke kanan untuk memperhatikan jika ada Bis yang akan lewat. Sebuah motor ninja hitam berhenti di depanku, membuatku menatap sosok di atas motor itu dengan kernyitan di antara kedua alisku. Sosok itu membuka tutup helm full face nya, membuatku terbebelak sesaat. “ Mau ikut sampai depan ?” Aku terdiam menatapnya. Sejak kapan dia ke sekolah menaiki motor se gede itu ? Setahuku, selama ini dia pulang pakai ojek. Mataku mengerjap berkali-kali. “ Mau nggak ?” tawarnya lagi. Aku tersentak, kemudian buru-buru mengangguk. Lumayan kan kakiku bisa sedikit beristirahat. Aku segera melangkah mendekat, berusaha menaiki motor Hesa dengan sedikit susah payah karena tingginya. Sebenarnya aku bisa dibilang lumayan tinggi dengan 160 cm, tapi tetap saja, aku tidak terbiasa menaiki motor gede seperti ini. Belum lagi rok yang kupakai yang membuatku semakin kesulitan. Aku bahkan harus berpeganggan pada pundak Hesa untuk bisa duduk miring di atas boncengan motor cowok itu. “ Pegangan,“ kata Hesa sembari melirik spion . Aku mengangguk, berpegangan pada sisi jaket kulit yang Hesa pakai. Hampir saja aku terjungkal ke belakang saat Hesa melajukan motornya dengan cepat. Untung saja aku sudah berpegangan kencang. Kuhela nafas panjang. Sekitar lima belas menit, motor berhenti di depan rumahku. “ Makasih,“ ucapku setelah turun dari motornya. Hesa hanya menoleh sebentar, kemudian kembali melesatkan motornya dengan kencang. Kugelengkan kepalaku sembari menatap motor itu hingga tak terlihat lagi.  *** Hari ini kami sedang menonton pertandingan basket antar kelas. Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai olah raga ini. Aku lebih suka kegiatan extreme seperti mendaki gunung, bungee jumping, atau menyelam. Dulu, sewaktu Mama belum bercerai dengan Papa, Papa sering mengajakku melakukan olah raga-olah raga yang menantang adrenalin. Papa tidak pernah membedakanku dengan anak laki-laki. Mungkin karena itu aku terkesan lebih tomboy dibanding anak perempuan pada umumnya. Apalagi jika dibandingkan dengan Mila. Sahabatku itu tidak bisa lepas dari bedak dan lip balm. Lihat saja isi tasnya. Namun karena kali ini yang tanding adalah kelas kami III IPA VS II B, Mila menarikku ke lapangan basket. “ Kita harus dukung kelas kita Sila,“ kata Mila saat menarikku mendekati lapangan. Dia sendiri sudah berpakaian ala cheerleader, dia memang salah satu anggota cheerleader di sekolah kami. “ III IPA pasti menang … III IPA pasti menang!!“ teriaknya bersama beberapa anggota cheerleader lain, bahkan sebelum para pemain masuk ke dalam lapangan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Demi mendukung kelasku, akhirnya aku ikut duduk berpanas-panasan bersama banyak penonton, yang kebanyakan berjenis kelamin perempuan. Mereka mulai menjerit-jerit dengan heboh saat satu persatu pemain memasuk lapangan. Mereka meneriaki nama-nama jagoannya. Aku sih tidak perduli. Aku hanya perlu duduk untuk memperlihatkan dukungan pada kelasku. Masalah menang atau kalah, aku tidak terlalu perduli. “ Sila …. ada cowok ganteng. “ Aku menoleh, dan mendapati Mila sudah berjongkok di sebelahku. Aku bahkan tidak menyadari kedatangan sahabatku. Telingaku mulai menangkap suara bisik-bisik di sekitarku. “ Ih … itu siapa sih. Aduh ganteng banget.“ “ Bukan anak kelas kita kan ? berarti dia anak III IPA.“ “ Itu no punggung 9 siapa ya. Keren anjirrr.“ Aku memicingkan mataku. Mila, di sebelahku sudah berdecak “ Ganteng beneran Sil. Lihat gak ? itu no punggung 9. Siapa sih ? “ “ Lho … kok dia ngobrol sama Imam, sama Ulin teman sekelas kita. Berarti dia teman sekelas kita dong, Sil. “ Mila mengoyang-goyangkan lenganku. Sementara aku sendiri masih menatap ke arah lapangan. “ Siapa sih Sil … kok aku baru lihat. Emang ada anak baru lagi ya di kelas kita ?” Mataku kini sudah membulat sempurna saat si nomor punggung 9 menoleh ke arahku, dan aku bisa melihat dengan jelas. Dia…..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN