2

1682 Kata
"Mau sampai kapan kau membentengi dirimu sendiri, Adelia?" Gerakan garpu dan pisau beradu itu terhenti. Kunyahan daging bumbu di dalam mulut Vina terhenti. Melirik pada putranya, lalu kembali pada putrinya. "Andhra, kita sedang makan. Nanti saja bertanya. Oke?" "Tidak, Mama," balas Andhra dingin. "Aku tidak benar-benar punya waktu bicara berdua dengan adikku. Jadi, aku akan bertanya sekarang. Meluruskan semua masalah sampai aku bisa tidur nyenyak." Adelia mendengus. Menahan senyum tipis tanpa arti. "Masalahku, itu menjadi masalahku. Kau tidak perlu mencemaskanku sampai sejauh itu." Vina menghela napas. Melihat interaksi kedua anaknya yang sering bersitegang, membuatnya waspada. "Kakak hanya ingin yang terbaik. Mengerti?" Adelia menunduk, menarik napas dengan senyum tipis. "Urus saja urusanmu sendiri. Paham?" Adelia tidak terkejut dengan garpu dan pisau yang sengaja dibanting lalu bersinggungan dengan piring yang nyaris tandas. Delana Andhra jelas terpancing. Melihat bagaimana sikap sang adik yang keras kepala, membuatnya terusik. "Adelia, kenapa kau harus keras kepala? Andhra hanya ingin yang terbaik." Adelia mengangguk. Menipiskan bibir menatap ibu, lalu pada kakak sulungnya. "Oke, saran itu bisa diterima kalau saja aku masih berumur tujuh belas, bukan dua puluh lima." Andhra balas mencibir. "Mama tidak seharusnya melepas Nanny itu untuk pergi dari sisi Adelia. Lihat dia, sangat liar dan tidak terurus." Tidak ada konotasi bermakna canda. Andhra benar-benar serius mengatakan bagaimana Adelia tumbuh menjadi perempuan liar dan susah diatur di usia dua puluh lima. Rahang Adelia mengeras. Geraman tertahan di tenggorokan gadis itu. Vina lantas menghela napas. Acara makan malam mereka berakhir panas malam ini. "Sayang, sudah. Jangan bertengkar. Habiskan makan malam kalian." Adelia menghela napas panjang. Melirik sang kakak sekali lagi, sebelum tersenyum tipis dan mengendik pada piring yang masih menyisakan separuh lauk. "Habiskan saja makan malammu. Bukankah, kau juga diajari tata cara makan yang baik dengan tidak menyisakan makanan pada piring?" Andhra mendengus masam. Bersidekap sembari mengendik dengan dagunya pada sang adik. "Aku terkejut sekarang. Benar-benar terkejut." *** "Aksa datang kemari?" Alis Adelia terangkat. "Tidak. Kami sudah bicara kemarin. Cukup banyak menurutku." "Aku rasa tidak," bibir Dira terlipat ke dalam. "Aksa bukan tipikal banyak bicara selain dengan orang-orang terdekatnya. Mungkin, dia hanya membalas pertanyaanmu sepatah atau dua patah kata?" Adelia berhenti melangkah. Memberikan dokumen yang ia ambil dari divisi keuangan pada Hana. "Entahlah. Aku lupa apa yang dia bicarakan." Dira berlari mengejar Adelia sampai ke dalam ruangan. Menemukan sang sahabat duduk di kursi, dan Dira menarik kursi lain untuknya duduk. "Dengar, aku minta maaf. Karena aku pikir, Aksa benar-benar tidak serius mencari pasangan hidup, dan malah pasangan kencan. Otak pria itu sepertinya sedang salto dari tempatnya." Adelia mendengus. "Bukannya, kau dan dia dekat?" "Kami dekat. Hanya saja, tidak seperti Arion Zura. Dia banyak bercerita pada pria nyentrik itu," balas Dira. Adelia menarik napas. Sebelum menghelanya kasar. "Kenapa dia lakukan ini? Apa dia sengaja membuat ide gila ini hanya untuk lari dari perjodohan, atau lari dari mantan kekasihnya?" Dira terpaku. Kepalanya menunduk sebentar setelah dia mengembuskan napas berat. "Tidak ada mantan kekasih," bisiknya. Adelia memberi reaksi dengan kening mengernyit. "Lantas?" "Hanya ingin membuktikan sesuatu, kurasa? Aku tidak terlalu tahu pasti. Seperti Aksa ingin bebas dari belenggu. Aku tidak tahu belenggu apa." Adelia memutar mata. "Lalu, kenapa aku? Kenapa kau mengenalkanku padanya? Aku saja tidak bisa mengurus diriku sendiri, dan kau memintaku mengurus pria itu juga?" "Bukankah, kau berusaha lari dari keluargamu dan kejaran Dexa Daro tanpa henti? Kenapa aku mengenalkanmu? Karena yang kau bicarakan, sama sekali bukan fakta sebenarnya. Kau tidak sedingin itu. Kau juga tidak sekaku itu." Ekspresi Adelia berubah pias. "Aku mengenalmu tidak dalam jangka bulan, tapi bertahun-tahun. Dan Adelia, kau hanya butuh udara. Butuh kehidupan lain. Kenapa tidak? Kalau pun ini kontrak, setidaknya Aksa tidak akan memukulmu selama kalian bersama." Kedua mata Adelia memicing tajam. "Kau tahu dia pria seperti apa?" Dira mengangguk skeptis. "Aku pun membenci sifat dia satu itu. Tapi, setelah Zura bilang padaku kalau Aksa butuh pelarian, aku tidak bisa berkata apa-apa." "Pelarian dengan bermain perempuan dan mabuk setiap malam di bar?" Dira mendesah berat. "Kalau dia tidak keberatan, kenapa dia tidak menikahi salah satu dari mereka. Memintanya untuk hidup bersama sampai beberapa bulan lamanya. Lalu, cerai. Dan berikan separuh harta. Selesai." Dira kembali mendesah. "Tidak semudah itu. Aksa tahu, perempuan-perempuan itu hanya pantas diajak bersenang-senang." Adelia meringis. "Dan aku?" Dira mengusap wajahnya tanpa bicara. "Kau mengenalkanku padanya, Dira. Itu berarti, ada sisi lain dimana kau percaya aku bisa mengatur kehidupannya. Kehidupan Devan Aksa yang berbanding terbalik denganku." Dira mendengus kecil. "Kehidupan kalian tidak ada bedanya, Adelia," dia bangun dari kursinya. "Kalau kau ingin tahu, itu alasan terbesar kenapa aku membawamu padanya. Suatu saat nanti, kau akan mengerti." Adelia menggeleng singkat. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, Dira." "Nanti malam, ulang tahun perusahaan keluarga Aksa. Kau bisa datang. Dan lihat semuanya. Kau pintar menilai situasi di sekitarmu, dan aku rasa dugaanmu tidak akan meleset kali ini." Dira mengulas senyum sembari melambaikan tangan. "Sampai jumpa nanti malam." *** "Selamat malam, Nona. Bisakah aku tahu, dengan siapa Anda datang malam ini?" Adelia tertahan di pintu masuk. Maniknya mengintip ke dalam. Menemukan aula telah ramai, dan dia menghela napas. "Aku datang sendiri. Aku mendapat undangan dari Arion Zura," balas Adelia. "Baik, silakan masuk." Pesta semacam ini tidak lagi asing di mata Adelia. Dia berkali-kali, bahkan ratusan kali datang ke acara seperti ini sejak dia kecil. Sampai dia remaja, dan sekarang bertumbuh menjadi wanita seutuhnya. Berbaur bersama situasi canggung. Lirikan sana-sini dari gerombolan perempuan yang tidak senang dengan penampilan tamu mencolok lain, dan sebagainya. Semua berbaur bersama udara di dalam aula ini. Adelia memilih untuk merapat pada meja minuman. Beberapa pelayan berdasi masih sibuk menyusun gelas beraneka warna untuk menjadi satu. Kemudian, memindahkan gelas kosong ke atas nampan. "Ingin anggur atau tidak, Nona?" "Tidak, aku akan minum ini," Adelia meraih gelas berisi jus nanas. Yang menyengat hidungnya kala dia menempelkan tepi gelas. Adelia ingin tersedak sekarang. Tubuhnya membeku tatkala mendapati sosok lain berdiri tidak jauh darinya, tengah bergabung bersama kolega lain. Tidak lupa dengan tangan lain yang melingkar di lengannya. Membuat Adelia kehilangan napasnya. "Kalian meninggalkan putra kalian di rumah?" "Oh, tenang saja. Ada asisten rumah tangga yang menjaganya," bisik suara halus itu sampai menyapa telinga Adelia. Adelia menegak habis minumannya. Tanpa sengaja membanting gelas itu ke atas meja, kemudian berbalik siap pergi. Sebelum pasangan itu menyadariny ada di sini, Adelia harus tenggelam. Dia tidak siap untuk berdebat. "Kenapa terburu-buru sekali? Siapa yang kau hindari?" Langkah Adelia tertahan. Mendengar suara yang sama seperti kemarin mereka duduk di meja yang sama. Tapi kali ini, terdengar lebih berat dan serak. Adelia menoleh. Menemukan Devan Aksa berdiri tidak jauh dibelakangnya dengan tangan memainkan tepi gelas kaca. "Tidak ada," balas Adelia acuh. Alis Aksa terangkat satu. Menatap ke sekitar mereka, dan tidak menemukan siapa pun mencolok selain tamu undangan dan tamu-tamu lain yang mendapat kehormatan untuk datang. "Lagipula, aku datang karena rekanmu, Arion Zura yang memintaku datang. Jadi, lebih baik aku pergi." "Aku sibuk," Aksa bersuara. Setelah menunduk cukup lama, menatap satu-persatu gelas yang terisi penuh. "Aku tidak sempat mengabari. Jadi, aku meminta Zura untuk menitipkan undangan melalui sekretarismu." Adelia terpaku sebentar. "Aku akan bertemu orang tuamu, lalu berpamitan pada mereka. Atau, aku tidak perlu lakukan itu dan langsung pergi dari sini?" Adelia sepintas melihat ekspresi kaku pria itu bertambah kaku. Saat kedua matanya menyipit, dan Adelia menahan napasnya selama beberapa detik berlalu. "Mereka belum turun dari kamar hotel di atas," kata Aksa masam. "Kenapa kau terburu-buru sekali?" "Pada dasarnya, aku tidak terlalu suka pesta membosankan ini." "Apa karena Aqilla Dira berhalangan hadir malam ini?" Adelia berdeham. "Dia biasanya pintar memecah suasana," ujar Adelia acuh. "Kau benar. Ini semua terasa hambar." Aksa menggaruk pangkal hidungnya. Menyeka sesuatu dari indera penciumannya kala dia mencium aroma jus anggur yang mencolok hidung. Dengan ringisan pelan, Aksa menoleh. Menemukan Arion Zura menatap ke arahnya dengan bahu terangkat. "Apa ada mantan kekasihmu di sini?" Kepala Adelia menggeleng. "Tidak ada." "Bagus. Aku pikir, ada. Sampai reaksi tubuhmu sekaku itu," sahut Aksa datar. Tanpa melepaskan tatapan matanya. "Gestur tubuh seseorang mudah sekali terbaca saat dia sedang gelisah, takut, atau bahagia sekali pun. Dan kau, ada di salah satunya." Adelia menyipitkan mata. "Apa selain sebagai pebisnis, kau juga menyambi pekerjaan sebagai cenayang?" Aksa mendengus. "Kalau itu membuat perasaanmu lebih baik, tidak masalah." Senyum Adelia perlahan-lahan pudar. Menemukan pria itu melangkah lebih dekat, nyaris memangkas jarak di antara mereka yang terbentang lebar sebelumnya. "Aksa, ibu dan ayahmu baru saja turun. Sapa mereka." Tepukan oleh Arion Zura pada bahunya menghentikan langkah Aksa mendekat. Dengan tarikan napas, Aksa menatap Adelia sekali lagi. Lalu, berbalik pergi. "Selamat malam, aku Zura." "Adelia," membalas uluran tangan itu dan mereka berjabat tangan sebentar. Zura mengangguk formal. "Nikmati pestanya. Sebentar lagi, Aksa akan menghampirimu. Tenang saja. Kau tidak akan sendiri malam ini." Adelia hanya diam. Membiarkan Zura berjalan pergi setelah Adelia menatap ke arah pintu masuk dari dalam hotel. Menemukan Aksa berjalan bersama perempuan paruh baya yang duduk di kursi roda dengan senyum tipis menahan sakit. Riasan pada wajah itu tidak bisa menyembunyikan derita yang sedang Devan Ara pendam. Tubuhnya kurus. Bahkan, untuk pakaian cantik malam itu terlihat jauh lebih longgar. Sedangkan, Devan Aria menyalami beberapa tamu. Bersama Ara yang tidak pernah melepas senyuman ramahnya pada tamu yang hadir. Dengan Aksa yang masih setia mendorong kursi roda itu sampai berhenti di depannya. Di hadapan Adelia. "Selamat malam," sapa Adelia. Canggung. "Malam," balasnya ramah. Tangan Ara saling meremas satu sama lain. "Siapa namamu?" "Adelia." Ara terpaku. "Hanya Adelia?" Adelia menarik napas. "Delana Adelia." "Ah, astaga. Bagaimana bisa aku melewatkan putri cantik dari keluarga Delana?" Suara tawa Devan Ara mengalun sampai ke telinga Adelia. Adelia mengangguk. Kembali melirik Aksa yang diam, menatap ibunya tanpa kata. "Nikmati pestanya," ujar Ara lembut. Menyentuh jemari Adelia dan menatapnya sendu. "Aku tidak tahu apa alasan Aksa membawaku sampai padamu. Ada yang ingin kalian bicarakan?" Aksa berdeham. Melepas tangannya pada dorongan kursi roda, lalu menatap mata ibunya yang bersinar malam ini. "Ibu, dia Adelia," Aksa mengambil napas banyak-banyak sebelum kembali bersuara. "—dia calon istriku." Pandangan Devan Ara lepas. Iris gelapnya memandang Adelia lekat-lekat. Sebelum Adelia menunduk, lalu berpaling menatap sekitarnya. Mendadak gemetar karena menahan amarah saat matanya bersirobok dengan mata lain dari seberang meja. Yang memandangnya sinis sekaligus penuh kemenangan mutlak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN