Cuz lah ya nggak pake banyak nyipris langsung baca wkwk.
Tumben abangnya menelepon dan bertanya di mana dirinya. Apa abangnya mau ke sini? Rupanya jawaban
dari pertanyaannya terjawab sudah. Laki-laki dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung. Tubuh atletis yang dibungkus kemeja polos navy dengan lengan kemeja digulung sampai siku, juga celana bahan hitam itu masuk ke dalam butiknya. Pria tersebut beberapa kali menganggukkan kepalanya saat karyawan Lady menyapa.
Lady bangkit dari kursinya menyambut kedatangan abangnya. "Cepet banget sampainya, perasaan baru telepon, Bang. Ada apa? Tumben ke sini? Biasanya kalau nggak sama mbak Arum males," cibir Lady menempatkan badannya di samping Eru yang sudah duduk di sofa.
"Memang nggak boleh nyamperin adik sendiri," jawab Eru ketus.
"Yaelah, gitu aja sewot. Sensi ya, Sis?" ledek Lady berusaha membuat abangnya tersenyum. Namun sepertinya abangnya sedang tidak ingin bercanda. "Ada apa sih, Bang? Kelihatannya serius banget."
Sebelum menjawab pertanyaan Lady, Eru menghela napasnya lalu mengubah duduknya menyamping sampai mereka berhadapan. Eru menggenggam tangan Lady yang berada di pangkuan adiknya itu. "Dek, kalau pertunanganmu dibatalkan bagaimana?"
Keterkejutan tampak pada wajah bermake-up natural itu. Dari mana abangnya dapat pemikiran seperti itu dan kenapa tiba-tiba? Bukankah dia sudah merestui hubungannya dengan Seno. Apa abangnya mengetahui sesuatu? "Kenapa, Bang?" tanya Lady ragu-ragu.
"Dek, Abang tahu kamu cinta dia tapi sepertinya dia belum sepenuhnya menerimamu. Abang rasa sudah cukup kamu bertahan di sampingnya, sudah waktunya kamu lepaskan dia dan memulai yang baru."
"Maksud, Abang?" tanya Lady bingung. Apa yang sebenarnya abangnya ingin katakan. Apa sekarang abangnya menarik restu yang sudah ia berikan?
"Kamu tahu maksud Abang. Dia nggak pantes kamu perjuangkan, ini bukan masalah harta maupun jabatan, tapi karena dia nggak pernah menghargai usahamu. Abang lihat Seno juga nggak ada usaha lebih mendekat padamu. Mencoba membuka hatinya untukmu. Sudah cukup. Abang nggak mau lihat kamu terus bersedih, Dek."
"Bang, kan Abang sendiri yang bilang kejar sampai dapat. Sekarang ini Dy sedang berusaha, Bang. Kasih semangat dong jangan bikin down gitu."
Pria itu menghela napasnya saat mendengar ucapan adiknya. Ia bukan bermaksud menjatuhkan, hanya saja dia tidak ingin Lady membuang waktunya dengan sia-sia. Seno memang baik tapi, jika harus membuat adiknya terus menerus sakit, dirinya tidak akan segan-segan memberinya pelajaran. "Bukan gitu, Dek ...."
"Bang, please dukung Dy," pinta Lady dengan manjanya. Menurutnya ini jurus andalan untuk meluluhkan abangnya itu.
Huft! "Baik. Tapi Abang kasih waktu, sampai Seno tetap nggak berubah pertunangan kalian bubar." Dengan jelas dan lugas Eru memberi ultimatum untuk adiknya. Bukan ia tak setuju, hanya saja melihat adiknya seperti ini perasaannya ikut tersakiti. Ia tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang secara sepihak, karena itu Eru tak ingin Lady meneruskan hubungan yang tidak jelas seperti ini.
Lady menyentak genggam Eru di tangannya, wajahnya juga merengut. "Ck! Abang apaan sih, kayak debt collector nagih cicilan aja pake ngasih waktu."
"Lady! Abang nggak main-main, kamu tahu sendiri Abang seperti apa."
Tidak ada ekspresi bercanda seperti biasanya Eru tampilkan. Dan, Lady tahu jika abangnya serius dengan perkataannya. "Bang, please kali ini biar Dy sendiri yang putuskan. Aku tahu Abang khawatir melihat hubungan kami seperti ini, tapi ini sudah kesepakatan kami. Jadi tolong, Bang, kali ini jangan ikut campur. Dy mohon, Bang," pinta Lady dengan sungguh-sungguh. Ia ingin kali ini abangnya tidak ikut campur. Ia tak mau merepotkan keluarganya hanya karena urusan cintanya.
Kakak beradik itu saling menatap. Eru melihat kesungguhan dari tatapan Lady. Meskipun manja, tapi jika menginginkan sesuatu adiknya akan menjadi pribadi yang keras kepala dan pantang menyerah. Ia akan melakukan apa saja sampai dapat.
"Ya sudah kalau maumu begitu, tapi jika sudah lewat batas Abang nggak janji diam aja."
"Makasih, Bang."
Lady memeluk Eru begitu juga sebaliknya. Eru berharap pelukan yang ia berikan dapat menguatkan Lady. Jika seperti ini, baru ia sadari jika perempuan dalam dekapannya ini sudah dewasa, sudah waktunya mengambil keputusan sendiri tanpa ikutan campuran tangannya atau orangtua mereka. Adik kecilnya sekarang menjadi wanita dewasa yang tahu mana terbaik untuknya. Terkadang mengalami kepahitan dalam satu perjalanan hidup bisa membuatnya lebih baik.
Eru mengurai pelukan adiknya, menepuk-nepuk puncak kepala Lady. "Abang pulang dulu. Jika perlu sesuatu jangan sungkan telepon Abang." Eru beranjak dari kursinya dan mulai berjalan kearah pintu.
Lady mengangguk mengantar abangnya sampai depan dengan dirinya bergelayut di lengan Eru. Kebiasaan yang Lady sukar hilangkan dan kerap kali membuat orang-orang yang melihatnya salah paham, mereka pasti mengira jika mereka adalah sepasang kekasih.
Setelah kepergian Eru, Lady masuk ke ruangannya dan kembali memikirkan kata-kata abangnya. Haruskah dirinya menyerah padahal sudah sampai sejauh ini? Tapi ia sadar jika dirinya mulai lelah dengan hubungan yang tak menentu ini.
***
Seno masuk ke salah satu rumah makan di sekitaran kantor milik Eru, ia sudah terlambat dari waktu yang dijanjikan. Dengan tergesa-gesa ia langkahkan kakinya masuk, manik matanya menyusuri ruangan tersebut. Ah, rupanya di sana. Seno membawa kakinya berjalan ke arah orang yang ditujunya. Senyum manis ia lemparkan pada perempuan yang sudah menunggunya.
Perempuan yang sudah ia kenal sejak masa SMA, lalu mereka berpisah karena Asti meneruskan studinya di kota lain dan baru bertemu secara tidak sengaja di kantor Eru. Sejak itu perhatiannya teralih dari adik bos-nya. Seno sempat bingung dengan perasaan pada Lady. Dan bertemunya dia dengan Asti yang merupakan cinta pertamanya yang belum bersambut, membuat Seno melupakan perasaan tidak jelasnya terhadap Lady.
Katakan dia labil seperti ABG tapi itulah dia. Perasaan dan hatinya tak bisa ia perintah. Ini di luar dugaan, ketika ia belum berhasil mengetahui dengan jelas perasaannya pada Lady, Asti semakin mendekat padanya. "Sudah lama?" tanya Seno saat mendudukkan dirinya di kursi hadapan Asti.
Perempuan itu mendongak dari daftar menu yang di bacanya lalu tersenyum manis. "Nggak kok barusan," jawab Asti, "sudah makan? Kalau belum sekalian aja pesannya."
Setelah menentukan apa yang diinginkan, Seno memanggil karyawan rumah makan tersebut dan menyebutkan apa saja pesanan mereka. Sembari menunggu pesanan datang mereka saling bertanya kabar, kegiatan mereka. Meskipun mereka hidup dalam satu kota, karena kesibukan mereka sehingga jarang bisa bertemu. "As, ada yang mau aku katakan," ucap Seno ragu-ragu. Sebelum bertemu dengan Asti, ia sudah menyusun kata-kata yang ingin ia ucapkan. Mungkin dia sedang menggali lubang kuburnya sendiri saat dirinya mengambil keputusan ini.
"Apa?" Perempuan di depannya itu membasahi bibirnya yang di pulas lipstik warna nude, pandangan matanya menatap ke arah Seno dengan intens. "Kenapa, No? Apa yang ingin kamu katakan?" Asti menunggunya dengan rasa ingin tahu yang besar.
"Aku ... aku ... eumm ... begini."
"No, sebenarnya kamu mau bilang apa?" tanya Asti lembut.
Sosok perempuan ramah dan lemah lembut meski di dalamnya tersimpan kemandirian, membuat Seno susah menghilangkan bayang-bayang Asti. Tapi bodohnya dia yang tak mempunyai keberanian untuk mengatakan perasaannya. "Aku ...." Seno menggigit pipi bagian dalam di mulutnya. Mengapa berat sekali bibirnya mengucap saat ia ingin mengutarakan maksudnya.
"Kamu itu sebenarnya mau ngomong apa? Dari tadi kok aku aku terus."
"As, selama kita berteman aku merasa nyaman sama kamu, dekat denganmu aku bisa jadi diriku sendiri tanpa harus berpura-pura. Selama itu juga aku sebenarnya ...." Asti terlihat ikut tegang mendengar ucapannya.Mungkinkah Seno tidak salah tebak jika di mata perempuan itu, terlihat binar-binar cinta untuknya? Apakah perasaannya akan bersambut?
"Apa?" tanya Asti lirih. Terselip keinginan dalam hatinya jika Seno akan mengatakan cinta untuknya.
"Sebenarnya ...."
"Abang!"
Tbc.